Dilema
Subsidi BBM
Toto Subandriyo ; Pengamat Masalah Sosial Ekonomi,
Asisten
Administrasi Pembangunan Sekda Kabupaten
|
SUARA
MERDEKA, 28 Agustus 2014
BEBERAPA hari terakhir
kita menyaksikan antrean panjang kendaraan bermotor di stasiun pengisian
bahan bakar untuk umum (SPBU). Namun mulai Selasa (26/8) malam Pertamina
menyatakan tak lagi memangkas jatah BBM bersubsidi kendati hingga Rabu siang
kemarin masih terlihat antrean di beberapa SPBU. Antrean panjang di hampir
seluruh daerah itu buntut dari kebijakan pemerintah agar pemenuhan kebutuhan
solar dan premium bersubsidi tak melewati kuota 46 juta kiloliter (kl) hingga
31 Desember 2014.
Berkait kebijakan
awal, mulai 1 Agustus 2014 SPBU di Jakarta Pusat tidak diperbolehkan lagi
menjual solar bersubsidi. Kemudian, mulai 4 Agustus 2014 penjualan solar
bersubsidi di SPBU di Jawa, Sumatra, Kalimantan, dan Bali dibatasi hanya
pukul 08.00-18.00 untuk klaster tertentu. Pada tanggal itu pula, pemerintah
memotong 20% alokasi solar bersubsidi untuk lembaga penyalur nelayan
(SPBB/SPBN/SPDN/APMS). Khusus alokasi penyaluran solar bersubsidi untuk
nelayan diutamakan untuk kapal nelayan di bawah 30 gross ton.
Selanjutnya, mulai 6
Agustus 2014 semua SPBU yang berlokasi di jalan tol tidak boleh menjual
premium bersubsidi. Mulai 18 Agustus 2014 pemerintah c.q Pertamina mengatur
BBM bersubsidi sesuai alokasi untuk tiap SPBU dan lembaga penyalur lain.
Sebelumnya, pemerintah telah mengeluarkan berbagai kebijakan yang bertujuan
untuk mengurangi subsidi BBM. Antara lain pelarangan konsumsi BBM bersubsidi
bagi kalangan PNS dan BUMN/BUMD.
Kementerian ESDM juga
pernah mewacanakan larangan konsumsi BBM bersubsidi pada akhir pekan dan hari
libur yang diasumsikan dapat menghemat Rp 25 triliun (sekitar 6,5 juta
kiloliter). Ditinjau dari sistem penganggaran APBN, subsidi BBM termasuk
dalam pos belanja pemerintah pusat. Supaya APBN sebuah negara selalu dalam
kondisi sehat, seharusnya nominal alokasi anggaran subsidi, termasuk subsidi
BBM, makin menurun tiap tahun.
Namun publik bisa
melihat fakta sebaliknya di republik ini, yakni kemeningkatan anggaran
subsidi BBM yang sangat signifikan dari tahun ke tahun. Nominal tahun 2005
baru Rp 95,6 triliun namun tahun 2008 sudah melonjak menjadi Rp 139,1
triliun. Nominal subsidi BBM pada APBN-P 2014 makin membengkak hingga Rp
199,9 triliun.
Menurut Dr Joko Tri
Haryanto (2014), risiko pembengkakan konsumsi BBM domestik sepertinya akan
menjadi kenyataan. Berdasarkan keterangan Badan Pelaksana Hilir Minyak dan
Gas (BPH Migas), pembengkakan tersebut diprediksi mencapai 48,97 juta
kiloliter. Pelemahan nilai tukar rupiah, kenaikan konsumsi BBM domestik, dan
kegagalan target lifting migas selalu menjadi biang permasalahan.
Rata-rata penggunaan
konsumsi tahun 2013 naik 2,5% dibandingkan dengan 2012. Dari pagu subsidi
dalam APBN-P 2011 sebesar Rp 129,7 triliun, realisasinya melonjak menjadi Rp
165,2 triliun. Kenaikan juga terjadi pada tahun berikutnya. Jatah 2012 hanya
Rp 137,4 triliun namun kenyataannya
menjadi Rp 219,9 triliun. Hal yang sama terjadi pada tahun lalu, dari pagu Rp
199,9 triliun menjadi Rp 210 triliun.
Tidak Populer
Terkait dengan
persoalan kemembengkakan alokasi subsidi BBM, pemerintah menghadapi dilema
yang sangat sulit dipecahkan. agaimanapun BBM merupakan kebutuhan pokok
masyarakat, seperti halnya beras, gula, minyak goreng, dan bahan sembako
lainnya. Semua orang tahu bahwa komoditas tersebut merupakan komoditas
politik.
Secara politis
pemberian subsidi BBM merupakan representasi keberpihakan pemerintah terhadap
masyarakat miskin. Hal ini sejalan dengan tesis ekonom Joseph E Stiglitz,
penerima penghargaan Nobel Ekonomi 2001 dari AS. Menurut Stiglitz, alasan
pemberian subsidi adalah karena ada kegagalan pasar (market failure). Kegagalan pasar merupakan kondisi munculnya
masalah-masalah pembangunan akibat tak terpenuhinya asumsi-asumsi
pembangunan. Asumsi-asumsi tersebut antara lain kesamaan dalam akses sumber
daya ekonomi dan informasi.
Bagi rezim
pemerintahan dan negara mana pun, kebijakan menaikkan harga BBM selalu
dihindari. Secara politik kebijakan tersebut sangat tidak populer di mata
rakyat. Namun di sisi lain kemembengkakan subsidi BBM menjadi ”kanker” ganas
yang akan menggerogoti APBN dan
mendistorsi perekonomian bangsa.
Karena itu, komitmen
presiden terpilih, Joko Widodo yang akan memangkas subsidi BBM karena dinilai
tak produktif, perlu mendapat apresiasi. Kebijakan yang berujung pada
kenaikan harga BBM bersubsidi tersebut perlu dilakukan meskipun ia bakal
kehilangan popularitas di masyarakat. Menurut Jokowi, memang butuh keberanian
untuk menaikkan harga BBM. Jika ruang fiskal dan ruang anggaran tidak banyak,
memang kebijakan itulah yang harus dipilih (Koran Tempo, 23/8/14).
Sosiolog Franz Magnis
Suseno, merupakan salah satu tokoh yang pernah secara terbuka mendukung
rencana pemerintah dalam pengurangan subsidi BBM pada masa pemerintahan
SBY-Kalla. Dalam artikel yang dimuat pada harian nasional beberapa tahun
silam ia menegaskan pemerintah tidak perlu menunda-nunda pencabutan subsidi
BBM.
Anggaran itu
diharapkan dapat dialihkan untuk membiayai pembangunan di berbagai sektor. Di
antaranya pendidikan dasar selama 9 tahun tanpa dipungut biaya apa pun, dan
untuk membiayai sebagian besar fundamental asuransi kesehatan dasar wajib
untuk mempermudah akses pelayanan kesehatan dengan harga terjangkau, serta
pembangunan infrastruktur lainnya.
Secara normatif, ada
tiga alasan mengapa pencabutan/pengurangan subsidi BBM tidak perlu ditunda.
Pertama; minyak bumi terlalu bernilai untuk dimanfaatkan sebagai bahan dasar
berbagai produk industri, istilahnya daripada hanya dibakar. Kedua; jika
harga bensin murah maka industri tidak akan mengembangkan produk hemat energi
ataupun energi bukan fosil. Ketiga; murahnya harga minyak bumi akan
mempercepat habisnya cadangan minyak bumi tanpa ada kesempatan yang cukup
untuk mengembangkan energi alternatif. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar