Jumat, 29 Agustus 2014

Dilema Subsidi BBM

Dilema Subsidi BBM

Toto Subandriyo  ;   Pengamat Masalah Sosial Ekonomi,
Asisten Administrasi Pembangunan Sekda Kabupaten
SUARA MERDEKA, 28 Agustus 2014
                                                


BEBERAPA hari terakhir kita menyaksikan antrean panjang kendaraan bermotor di stasiun pengisian bahan bakar untuk umum (SPBU). Namun mulai Selasa (26/8) malam Pertamina menyatakan tak lagi memangkas jatah BBM bersubsidi kendati hingga Rabu siang kemarin masih terlihat antrean di beberapa SPBU. Antrean panjang di hampir seluruh daerah itu buntut dari kebijakan pemerintah agar pemenuhan kebutuhan solar dan premium bersubsidi tak melewati kuota 46 juta kiloliter (kl) hingga 31 Desember 2014.

Berkait kebijakan awal, mulai 1 Agustus 2014 SPBU di Jakarta Pusat tidak diperbolehkan lagi menjual solar bersubsidi. Kemudian, mulai 4 Agustus 2014 penjualan solar bersubsidi di SPBU di Jawa, Sumatra, Kalimantan, dan Bali dibatasi hanya pukul 08.00-18.00 untuk klaster tertentu. Pada tanggal itu pula, pemerintah memotong 20% alokasi solar bersubsidi untuk lembaga penyalur nelayan (SPBB/SPBN/SPDN/APMS). Khusus alokasi penyaluran solar bersubsidi untuk nelayan diutamakan untuk kapal nelayan di bawah 30 gross ton.

Selanjutnya, mulai 6 Agustus 2014 semua SPBU yang berlokasi di jalan tol tidak boleh menjual premium bersubsidi. Mulai 18 Agustus 2014 pemerintah c.q Pertamina mengatur BBM bersubsidi sesuai alokasi untuk tiap SPBU dan lembaga penyalur lain. Sebelumnya, pemerintah telah mengeluarkan berbagai kebijakan yang bertujuan untuk mengurangi subsidi BBM. Antara lain pelarangan konsumsi BBM bersubsidi bagi kalangan PNS dan BUMN/BUMD.

Kementerian ESDM juga pernah mewacanakan larangan konsumsi BBM bersubsidi pada akhir pekan dan hari libur yang diasumsikan dapat menghemat Rp 25 triliun (sekitar 6,5 juta kiloliter). Ditinjau dari sistem penganggaran APBN, subsidi BBM termasuk dalam pos belanja pemerintah pusat. Supaya APBN sebuah negara selalu dalam kondisi sehat, seharusnya nominal alokasi anggaran subsidi, termasuk subsidi BBM, makin menurun tiap tahun.

Namun publik bisa melihat fakta sebaliknya di republik ini, yakni kemeningkatan anggaran subsidi BBM yang sangat signifikan dari tahun ke tahun. Nominal tahun 2005 baru Rp 95,6 triliun namun tahun 2008 sudah melonjak menjadi Rp 139,1 triliun. Nominal subsidi BBM pada APBN-P 2014 makin membengkak hingga Rp 199,9 triliun.

Menurut Dr Joko Tri Haryanto (2014), risiko pembengkakan konsumsi BBM domestik sepertinya akan menjadi kenyataan. Berdasarkan keterangan Badan Pelaksana Hilir Minyak dan Gas (BPH Migas), pembengkakan tersebut diprediksi mencapai 48,97 juta kiloliter. Pelemahan nilai tukar rupiah, kenaikan konsumsi BBM domestik, dan kegagalan target lifting migas selalu menjadi biang permasalahan.

Rata-rata penggunaan konsumsi tahun 2013 naik 2,5% dibandingkan dengan 2012. Dari pagu subsidi dalam APBN-P 2011 sebesar Rp 129,7 triliun, realisasinya melonjak menjadi Rp 165,2 triliun. Kenaikan juga terjadi pada tahun berikutnya. Jatah 2012 hanya Rp 137,4 triliun namun  kenyataannya menjadi Rp 219,9 triliun. Hal yang sama terjadi pada tahun lalu, dari pagu Rp 199,9 triliun menjadi Rp 210 triliun.

Tidak Populer

Terkait dengan persoalan kemembengkakan alokasi subsidi BBM, pemerintah menghadapi dilema yang sangat sulit dipecahkan. agaimanapun BBM merupakan kebutuhan pokok masyarakat, seperti halnya beras, gula, minyak goreng, dan bahan sembako lainnya. Semua orang tahu bahwa komoditas tersebut merupakan komoditas politik.

Secara politis pemberian subsidi BBM merupakan representasi keberpihakan pemerintah terhadap masyarakat miskin. Hal ini sejalan dengan tesis ekonom Joseph E Stiglitz, penerima penghargaan Nobel Ekonomi 2001 dari AS. Menurut Stiglitz, alasan pemberian subsidi adalah karena ada kegagalan pasar (market failure). Kegagalan pasar merupakan kondisi munculnya masalah-masalah pembangunan akibat tak terpenuhinya asumsi-asumsi pembangunan. Asumsi-asumsi tersebut antara lain kesamaan dalam akses sumber daya ekonomi dan informasi.

Bagi rezim pemerintahan dan negara mana pun, kebijakan menaikkan harga BBM selalu dihindari. Secara politik kebijakan tersebut sangat tidak populer di mata rakyat. Namun di sisi lain kemembengkakan subsidi BBM menjadi ”kanker” ganas yang akan menggerogoti  APBN dan mendistorsi perekonomian bangsa.

Karena itu, komitmen presiden terpilih, Joko Widodo yang akan memangkas subsidi BBM karena dinilai tak produktif, perlu mendapat apresiasi. Kebijakan yang berujung pada kenaikan harga BBM bersubsidi tersebut perlu dilakukan meskipun ia bakal kehilangan popularitas di masyarakat. Menurut Jokowi, memang butuh keberanian untuk menaikkan harga BBM. Jika ruang fiskal dan ruang anggaran tidak banyak, memang kebijakan itulah yang harus dipilih (Koran Tempo, 23/8/14).

Sosiolog Franz Magnis Suseno, merupakan salah satu tokoh yang pernah secara terbuka mendukung rencana pemerintah dalam pengurangan subsidi BBM pada masa pemerintahan SBY-Kalla. Dalam artikel yang dimuat pada harian nasional beberapa tahun silam ia menegaskan pemerintah tidak perlu menunda-nunda pencabutan subsidi BBM.

Anggaran itu diharapkan dapat dialihkan untuk membiayai pembangunan di berbagai sektor. Di antaranya pendidikan dasar selama 9 tahun tanpa dipungut biaya apa pun, dan untuk membiayai sebagian besar fundamental asuransi kesehatan dasar wajib untuk mempermudah akses pelayanan kesehatan dengan harga terjangkau, serta pembangunan infrastruktur lainnya.

Secara normatif, ada tiga alasan mengapa pencabutan/pengurangan subsidi BBM tidak perlu ditunda. Pertama; minyak bumi terlalu bernilai untuk dimanfaatkan sebagai bahan dasar berbagai produk industri, istilahnya daripada hanya dibakar. Kedua; jika harga bensin murah maka industri tidak akan mengembangkan produk hemat energi ataupun energi bukan fosil. Ketiga; murahnya harga minyak bumi akan mempercepat habisnya cadangan minyak bumi tanpa ada kesempatan yang cukup untuk mengembangkan energi alternatif.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar