Wajah
Pertelevisian
Arswendo Atmowiloto ; Budayawan
|
KORAN
JAKARTA, 29 Agustus 2014
Semenjak
dan selama Pemilu Presiden 2014 (pilpres) lalu, pertelevisian nasional
terbelah dan berhadapan secara frontal. Kini, setelah Mahkamah Konstitusi
mengumumkan pemenang pilpres, keterbelahaan masih terasakan.
Namun,
sesungguhnya pertelevisian republik ini bukan hanya pecah, tapi juga tak
jelas arah. Segala sesuatu bisa terjadi, tanpa ada kontrol sama sekali.
Antara lain, setiap orang bisa membuat siaran tersendiri. Caranya mudah.
Namanya TV Streaming, streaming television. Belum lagi soal siaran digital.
Pada dasarnya, pengelolaan pertelevisian menggunakan cara sederhana, terbuka,
dan memunyai riwayat. Selama ini, pertelevisian seluruh dunia mendasarkan
diri pada undang-undang atau ketentuan komunikasi yang berlaku di Amerika
Serikat 1934. Undangundang mengambil pola yang berlaku untuk radio pada tahun
1927.
Dari
sinilah muncil badan Federal Communications Commission (FCC), sebuah lembaga
yang independen. Walau tidak sama, di sini ada Komisi Penyiaran Indonesia
(KPI). Dari lembaga independen inilah segala kebijakan komunikasi, bukan
hanya televisi, dirumuskan. Misalnya, adab “preambule” terkemuka yang berbunyi bahwa udara adalah milik
bersama, tak bisa dikuasai dan dimiliki perorangan atau kelompok. Tugas
pemerintah mengadakan sistem penyiaran bagi seluruh masyarakat, secara cepat,
efisien, berskala nasional atau international. Itulah dasar-dasar kelahiran
televisi pendidikan, independen, atau di sini lebih dikenal pelayanan publik,
TVRI, televisi swasta niaga yang bersifat komersial. Namun, sudah sejak awal
pembagian atau pembatasan itu tak berlaku sepenuhnya. Semula, TVRI sebagai “the one and only”, satu-satunya
lembaga penyiaran masuk dalam departemen penerangan Orde Baru.
Statusnya
kemudian berubah-ubah sampai sekarang. TV dengan izin lokal kemudian menjadi
bersiaran nasional seperti SCTV (Surabaya) atau ANTV Lampung). Televisi
Pendidikan (TPI) pun bisa menjadi komersial seperti lainnya. Kepelikan
lembaga yang kini bernama MNC TV tersebut sampai sekarang masih diributkan.
Lembaga Pemirsa Dengan keadaan semrawut seperti tergambarkan tadi, segala
kemungkinan bisa terjadi. Perubahan dasar, sifat , kepemilikan, bahkan juga
pelanggaran masih akan bertabrakan.
Ini
bisa merepotkan dalam kerja sama dengan institusi lain seperti Lembaga
Sensor. Tayangan televisi nonberita perlu surat izin lolos sensor. Ketentuan
ini masih berjalan, walau pada kenyataannya tidak berlaku efektif. Ini kadang
tidak mengikat karena kekurangan tukang sensor dan kriterianya tidak baku.
Selain itu, tak ada jaminan bahwa setelah lolos sensor tak akan ditarik atau
diprotes. Repotnya, tayangan yang harus disensor banyak sekali. Ada lebih
dari 1.000 acara dalam sebulan. Contoh, sinetron saja dari 10 stasiun siar
mencapai 37 jam tajang setiap hari. Semua ini menggambarkan cara kerja yang
tidak sempurna, namun tetap dipertahankan. Tak jelas penanggung jawab akhir,
andai terjadi sesuatu. Contoh lain, kerja sama dengan KPI. Secara teori, KPI
bisa mengont r o l dan merekomendasikan tindakan tertentu.
Namun,
keberadaannya tertinggal jauh karena pertelevisian sudah menjadi industri.
KPI seolah menjadi “nenek cerewet” yang tak perlu didengar. Contoh nyata yang
menyakitkan ketika sebuah acara Empat Mata dianggap melanggar tata krama,
dengan enteng diganti Bukan Empat Mata. Sungguh penghinaan akan tata nilai
dan sebuah institusi resmi. Anehnya, acara tersebut berjalan aman sampai
sekarang. Baru pada acara yang lain, YKS, peringatan KPI dituruti karena
hilang dari udara. Boleh saja berganti acara asal tidak YKS Baru atau Bukan
YKS. Tayangan YKS diprotes karena menyajikan adegan tokoh komedi saat
dihipnotis bisa membayangkan wajah Benyamin Sueb (maaf ) sebagai anjing yang
lucu. Protes bermunculan dan opini masyarakat menghangat.
Namun,
sesungguhnya yang tak terselesaikan jenis acara hipnotis atau sihir dalam
tayangan tersebut. Apakah diperbolehkan? Apakah benar seseorang bisa
dihipnotis melihat “bakal calon pacar”, atau “merasa diri superman yang
mencoba terbang?” Atau ini hanya berlaku pada orang tertentu dalam situasi
tertentu juga. Sebab tanpa penjelasan tekstual (yang ditayangkan berjalan),
sama saja pembohongan publik yang luar biasa. Dalam kasus ini bukan hanya
seniman besar Benyamin yang dilecehkan, tapi seluruh akal sehat pemirsa.
Kemudian, kerja sama dengan khalayak yang namanya pemirsa, pendengar,
pemerhati, dan sejenisnya. Tata krama dunia pertelevisian mengandaikan tiga
unsur utama berjalan baik: penyelenggara siaran, pemerintah, dan penonton.
Pada
zaman Orba, TVRI masih membuat “lembaga pemirsa” meskipun diisi orang-orang
pemerintah. Lembaga seperti itu kini tak ada lagi. Maka, wajar bila
penyelenggara siaran (biasanya pemilik stasiun) makin leluasa dan rakus
karena tak ada ikatan apa pun yang membatasi atau mengatur. Pada saat yang
sama, peran pemerintah (Kementerian Komunikasi dan Informatika) justru
menambah galau dan kacau dengan Keputusan Menteri tentang Penyelenggaraan
Penyiaran Multipleksing secara Teresterial karena bertabrakan dengan
peraturan dan undang- undang sebelumnya. Lagi pula, mengapa diberlakukan
detik-detik menjelang kabinet sekarang bubar? Ternyata “lembaga pemirsa” lain
masih ada dan bersuara, yaitu Koalisi Independen untuk Demokrasi Penyiaran
(KIDP).
Institusi
ini keberatan. Ini memberikan harapan bahwa masih selalu ada tokoh-tokoh yang
memunyai perhatian sekaligus keberanian mempertanyakan hal-hal strategis
mengenai penyiaran yang seakan terlupakan. KIDP antara lain berisi Aliansi
Jurnalis Indonesia, Lembaga Bantuan Hukum Pers Indonesia, Pemantau Regulasi
dan Regulator Media Yogyakarta. Kemudian, Rumah Perubahan Lembaga Penyiaran
Publik Yogyakarta, Remotivi Jakarta, Yayasan Tifa Jakarta, Lembaga Studi Pers
dan Pembangunan, Media Link Jakarta, serta Masyarakat Cipta Media Jakarta.
Aktivitas mereka sekarang memiliki dasar dan mulia karena memperjuangkan
hak-hak penonton. Pokok masalah bukan hanya peraturan menteri yang memang
terasa “bau bisnis amis,” tapi juga dan terutama kemungkinan pengadaan
penyiaran yang kebablasan.
Saat
ini, setiap orang, kelompok, baik pengusaha atau bukan, bisa membuat siaran
secara streaming. Sekarang membuat program apa pun bebas luar biasa. Apa saja
bisa disiarkan dan dikomunikasikan. Semua itu belum ada tata krama pengaturan
dan nilai isinya. Ini mengerikan karena membuka kesempatan setiap orang
membuat program dengan paham dan ideologi apa saja. Fenomena “TV dukun” juga
sangat mengganggu.
Siaran
program pengobatan (alternatif) dikategorikan apa? Siaran, iklan, atau
provokasi karena mereka leluasa berkampanye! Pertelevisian terbelah terutama
karena tidak ada ketegasan yang boleh dan dilarang. KIDP bisa menjadi pijakan
menjelaskan kondisi pertelevisian negeri ini. Mereka harus berani berteriak. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar