Motivasi
Buruk Revisi UU MD3
Marwan Mas ; Guru Besar Ilmu Hukum
Universitas 45, Makassar
|
MEDIA
INDONESIA, 30 Agustus 2014
BEGITU cerdiknya
Koalisi Merah Putih yang mengusung revisi UU Nomor 27 Tahun 2009 tentang MPR,
DPR, DPD, dan DPRD (UU MD3) yang tanpa masukan dan pengawasan rakyat langsung
saja mengetukkan palu di saat perhatian rakyat tersita untuk mengikuti
pemilihan presiden. Proses pembahasan luput dari sorotan publik dan media
seperti pembahasan RUU yang lain. Akibatnya, perdebatan dan pembahasannya
tidak diwarnai proses diskursus di ruang publik sebagai syarat uji sahih
suatu perubahan undang-undang.
Bagi publik, tidak
sulit meraba adanya motivasi buruk sebagian besar anggota DPR di balik
pengesahan beleid tersebut. Setidaknya bisa diduga bahwa motif untuk
melindungi diri dari pemeriksaan aparat hukum lantaran banyaknya anggota DPR
periode 1999-2014 yang terjerat kasus korupsi. Mengakhiri periode yang
sebagian masih berlanjut ke periode berikutnya diduga menjadi motif untuk
berlindung dari kemungkinan lebih banyak lagi yang berpotensi diperiksa
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Indikasi ke arah itu sudah terbaca karena
sejumlah nama sudah di tangan KPK yang diduga terlibat kasus korupsi
proyekproyek yang didanai APBN.
Wajar jika publik
mendukung uji materi UU Nomor 17 Tahun 2014 tentang MD3 yang baru disahkan
itu, termasuk pengujian secara formil sebab proses pembahasannya secara
konstitusional bertentangan dengan konstitusi. Uji materi diajukan Partai
Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) yang meminta agar Pasal 84, Pasal 97,
Pasal 104, Pasal 109, Pasal 115, Pasal 121, dan Pasal 152 UU MD3 terkait
pimpinan DPR yang tidak lagi berasal dari partai pemenang pemilu dinyatakan
tidak memiliki kekuatan hukum yang mengikat. PDIP juga meminta agar MK
mempercepat proses persidangan sebelum pelantikan anggota DPR 1 Oktober 2014,
serta mengeluarkan putusan sela untuk menunda pemberlakuan UU MD3 agar tidak
ada upaya membuat produk turunan.
Diskriminasi
Perlakuan yang sama di
hadapan hukum (equality before the law)
yang ditegaskan dalam Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 yang berlaku secara
universal di negara hukum dan demokrasi lagi-lagi diingkari anggota DPR. DPR
mengubah ketentuan keterwakilan rakyat di posisi pimpinan DPR yang tidak lagi
berdasarkan pengumpul suara terbanyak pemilu legislatif, tetapi harus dipilih
dalam sidang paripurna. Perubahan prinsip keterwakilan rakyat itu menodai
prinsip keterwakilan proporsional secara adil sebagai konfigurasi peringkat
pilihan rakyat.
Sikap diskriminasi
anggota DPR melalui kewenangan legislatifnya dilakukan dengan menempatkan
dirinya sebagai institusi yang lebih tinggi ketimbang penyelenggara negara
yang lain, apalagi jika dibandingkan dengan rakyat kebanyakan. Itulah yang
juga digugat Dewan Perwakilan Daerah (DPD) agar pasal-pasal yang
mendiskriminasikan lembaga DPD dihapus karena mencederai kesejajaran
kedudukan lembaga perwakilan rakyat. Seharusnya dalam merevisi UU MD3,
anggota DPR tidak mengabaikan substansi amar putusan MK Nomor 92 Tahun 2012
yang mengatur kesetaraan DPR dan DPD dalam setiap proses legislasi.
Begitu pula pasal yang
mengatur prinsip keterwakilan perempuan pada pimpinan alat kelengkapan DPR
dihapus. Hal itu dapat menyebabkan suara kaum perempuan tera baikan, bahkan
akan memengaruhi proses pengambilan keputusan. Motivasi buruk itu harus
dikoreksi karena memproteksi diri secara berlebihan, bahkan memprakarsai satu
mata rantai birokrasi yang elitis dan berbeda dengan institusi negara yang
lain.
Hak-hak istimewa yang
diberikan kepada anggota DPR terlalu jauh mengangkangi hak-hak konstitusional
rakyat.Itu akan semakin meruntuhkan ketidakpercayaan publik terhadap wakil
mereka di parlemen.Hak anggota DPR yang `terlalu istimewa' dapat menimbulkan
kecemburuan penyelenggara negara lain yang keberadaannya sama-sama diatur
dalam UUD 1945. Apalagi tidak ada klausul dalam UUD 1945 yang mengatur
perlindungan dari proses hukum.
Lemahkan antikorupsi
Meski ketentuan
proteksi diri yang diskriminasi itu tidak menutup pintu penyelidikan sama
sekali, nuansanya sangat berlebihan. Maka itu, Perkumpulan Masyarakat
Pembaharuan Peradilan Pidana mengajukan pula uji materi terhadap Pasal 245 UU
MD3 yang mengatur bahwa anggota DPR yang dipanggil untuk pemeriksaan
penyidikan harus mendapat persetujuan Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD). Pasal
itu dianggap sebagai bentuk diskriminasi dan impunitas anggota DPR di depan
hukum. MKD merupakan alat kelengkapan baru sebagai pengganti Badan Kehormatan
DPR. Memang ditegaskan jika dalam tempo 30 hari MKD tidak memberi jawaban,
aparat penegak hukum bisa langsung memanggil anggota parlemen untuk dimintai
keterangan dalam rangka penyelidikan.
Namun, pasal tersebut
akan membuat penyidik tidak leluasa untuk memanggil anggota DPR yang
nyata-nyata mengingkari asas persamaan di hadapan hukum. Anggota DPR
menempatkan dirinya sebagai warga elite yang sangat sulit dijangkau proses
hukum. Bagi KPK, ketentuan itu memang tidak berlaku karena UU Nomor 30 Tahun
2002 tentang KPK berlaku khusus (lex
specialis), tetapi akan menjadi masalah bagi penyidik kepolisian dan
kejaksaan.
Syarat meminta izin
dikecualikan jika anggota DPR tertangkap tangan atau terli bat kasus pidana
berat seperti terorisme dan korupsi. Itu merupakan konsekuensi dari kondisi
tertangkap tangan, sebab tidak mungkin anggota DPR berkelit karena sudah
ditemukan barang bukti sebagai bukti permulaan yang cukup selain pelakunya
yang tertangkap tangan. Akan tetapi, terkait ketentuan terlibat pelanggaran
pidana berat, bisa saja menimbulkan perbedaan tafsir antara penyidik, publik,
dan MKD sebagai penafsir untuk dikeluarkannya izin pemeriksaan.
Berdasarkan pengalaman
selama ini, begitu banyak kasus yang menimpa anggota DPR dilaporkan ke Badan
Kehormatan DPR, tetapi tidak jelas tindak lanjutnya, malah hilang begitu
saja. Begitu pula siapa yang mengawasi MKD mengingat anggotanya dipilih di
antara anggota DPR. Masih kuat di tubuh parlemen adanya semangat membela
kawan sendiri yang diduga terlibat kasus hukum. Pasal tersebut begitu kental
aroma pelemahan upaya pemberantasan korupsi, sehingga membuka celah bagi
wakil rakyat untuk menyalahgunakan wewenangnya.
UU MD3 disusun agar
zona nyaman anggota dewan tidak terusik oleh proses hukum.Itulah produk hukum
yang tiba-tiba disahkan dengan menutup mata dan menyumbat telinga yang
menyebabkan pembahasannya tidak diwarnai proses diskursus publik. Negara
harus memastikan tidak ada satu institusi yang bisa seenaknya mengatur
dirinya sendiri dengan mengabaikan daulat rakyat.Masih segar dalam ingatan rakyat
tentang janji anggota legislatif saat kampanye yang akan mendukung penegakan
hukum dan pemberantasan korupsi, tetapi begitu gampang dilupakan. Maka itu,
uji materi pasal-pasal UU MD3 yang bermasalah itu merupakan keniscayaan untuk
menyetop motivasi buruk. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar