Rabu, 27 Agustus 2014

Bendera Hitam

Bendera Hitam

Idrus F Shahab  ;   Wartawan Tempo
KORAN TEMPO, 27 Agustus 2014
                                                


Hari itu, suatu Minggu pagi di bulan Zulkaidah ini, Wak Lihun membuktikan dirinya sebagai perkusionis hebat. Di kawasan Condet yang masih diselang-selingi deretan pohon pisang, sawo, dan duku, Wak Lihun dan kawan-kawan berjalan sepanjang 30 meter sambil menari, menepuk marwas, mengantar mempelai pria muda ke rumah keluarga calon istrinya. Wak Lihun beserta delapan rekannya yang mengenakan seragam sarung langsung terjun ke lokasi ngarak. Mengarak pengantin, maksudnya.

Hari masih pagi, tapi matahari musim kemarau sudah membuat tubuh berkeringat dan kening berkerut tegang. Tapi, begitu Syarrul-leil dinyanyikan bareng-bareng, marawis ditepuk bergantian, suasana seketika menjadi riuh-rendah. Syarrul-leil mencairkan suasana, apalagi bila sinkopasi--tepukan jatuh di antara dua ketukan yang rumit dan gampang bikin orang terpeleset itu--mulai muncul.

Wak Lihun yang memegang hajir, gendang besar, itu kelihatan bermain dengan semangat 45. Wak Lihun memasuki usia uzur, dengan rambutnya yang memutih perak itu, tersenyum lebar, seolah-olah ingin memperlihatkan gigi di gusi kiri dan kanannya yang tanggal, seraya bergoyang dan berputar-putar. Menggendong dan memukul gendang besarnya di tengah rekan-rekan juniornya, Wak Lihun tak ubahnya seperti matahari yang dikelilingi planet-planet yang bergerak mengikuti garis orbitnya.

Wak Lihun, wajahnya secerah pagi itu. Baru kali ini ia terlepas dari batu besar yang selama ini mengimpit dadanya yang kerempeng. Seminggu ini, pikirannya melayang-layang dari masa lalu yang menenteramkan ke masa kini yang menggelisahkan, dan sebaliknya. Melihat tayangan pasukan berbendera hitam ISIS dengan kalimat syahadat di sisi atasnya serta sebuah lingkaran putih di tengah-tengahnya di layar televisi, ia teringat cerita Ustad Romli yang mengajarnya mengaji di langgar dekat rumahnya dulu.  

Setelah memproklamasikan kekhalifahan di sebagian wilayah Suriah dan Irak,  kelompok Islamic State of Iraq and al-Sham itu memang cepat sekali menjadi "musuh bersama" bagi kalangan main stream, sekaligus menjadi solidarity maker di antara kelompok garis keras. Namun hati Wak Lihun tidak bisa dibohongi, ada sesuatu yang ikut hanyut dalam dirinya, mungkin sebuah mimpi yang tak mudah padam, ketika kekhalifahan itu ditahbiskan.

Ia langsung teringat cerita Ustad Romli tentang khalifah Umar bin Abdul Aziz yang berhati-hati membedakan urusan pribadi dan pemerintahan. Khalifah meniup mati lentera, manakala salah seorang anaknya mengajaknya berbicara soal pribadi. Urusan pribadi tak boleh dibiayai dengan ongkos negara. Ada juga cerita tentang khalifah Umar bin Khattab yang merasa bersalah mendengar sebuah keluarga yang kelaparan pada masa pemerintahannya. Sebagai hukuman, ia menaruh sekarung gandum pada punggungnya, dan berjalan kaki ia mengantarkan sendiri kepada keluarga yang malang itu.

Wak Lihun menunggu cerita serupa dari khalifah ISIS Abu Bakar al-Baghdadi. Namun, yang muncul adalah cerita gerakan profetik bak Taliban yang hendak memberantas berhala dengan patung Buddha terbesar di Bamyan. Juga--ini terjadi pada ekstrem sebaliknya--cerita seperti Khmer Merah di Kamboja yang menghalalkan pembantaian warganya untuk membangun masyarakat baru tanpa kelas. Wak Lihun bingung.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar