Kamis, 28 Agustus 2014

Tragedi Gaza dan Kegagalan DK PBB

Tragedi Gaza dan Kegagalan DK PBB

Desra Percaya  ;   Duta Besar/Wakil Tetap RI pada PBB di New York
JAWA POS, 28 Agustus 2014
                                                


SEJAK dimulainya agresi militer Israel awal Juli lalu, masyarakat internasional terus menyaksikan berlanjutnya tragedi kemanusiaan di Gaza. Upaya mediasi Mesir untuk dicapainya gencatan senjata telah menemui jalan buntu. Akibatnya, konflik berlanjut dan korban terus bertambah.

Sementara itu, kebutuhan Israel atas keamanan dapat dipahami. Namun, hal itu tidak dapat dijadikan sebagai pembenar dilakukannya pelanggaran hukum internasional dan pembunuhan terhadap penduduk sipil, khususnya perempuan dan anak-anak.

Mengapa Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa (DK PBB) gagal bertindak? Opsi apa yang tersedia dan bagaimana prospek perdamaian selanjutnya?

Kegagalan DK PBB

Sesuai dengan Piagam PBB, DK memiliki tanggung jawab utama untuk memelihara perdamaian dan keamanan internasional. Keputusannya juga mengikat secara hukum. Oleh karena itu, kegagalan atau keberhasilan DK dalam melaksanakan tanggung jawab utama berdampak luas terhadap umat manusia.

Dalam sejarah, DK memiliki catatan buruk karena gagal melaksanakan tanggung jawabnya sehingga terjadi ’’pembiaran’’ kejahatan kemanusiaan dan pelanggaran hukum internasional. Misalnya, di Rwanda (1994) dan Srebrenica (1995). Konflik yang semakin runcing dan meluas di Syria dewasa ini juga menambah daftar kegagalan DK.

Enam pertemuan DK untuk membahas situasi di Gaza gagal menghasilkan langkah nyata untuk menghentikan agresi Israel karena adanya ancaman veto dari anggota tetap (P5). Kondisi tersebut tidak hanya menambah korban jiwa dan kerugian material, tetapi juga merusak tata pergaulan internasional yang berpijak pada penghormatan hukum internasional, hukum HAM internasional, dan prinsip penyelesaian konflik secara damai. Bahkan, itu menimbulkan instabilitas dan mendorong radikalisme di beberapa kawasan.

Ketika mengulas DK, pada umumnya publik diarahkan kepada gambaran sebuah organ yang solid dan memiliki landasan moral yang tinggi. Pada kenyataannya, dinamika politik di DK jauh dari suasana ideal yang memungkinkan pelaksanaan tanggung jawabnya dilakukan secara efektif.

Mekanisme pembuatan keputusan yang mensyaratkan adanya persetujuan P5 (suara negatif berarti veto) sering menyulitkan organ itu untuk mengambil keputusan secara cepat dan decisive. Veto, atau ancaman penggunaannya, sering dimanfaatkan anggota tetap untuk kepentingan nasional masing-masing atau membela sekutunya. Tidak salah jika sejarawan Gabriel Kolko berpandangan bahwa veto menjadikan PBB sebagai panggung politik kekuatan (Stephen C. Schlesinger, 2004).

Selektivitas dan standar ganda akan terus diterapkan dalam merespons berbagai tantangan keamanan dunia yang muncul. Dengan motif penggunaan veto seperti itu, peran DK dikorbankan. Dari institusi yang pembentukannya didasarkan kepada keinginan untuk menghentikan konflik internasional menjadi sebuah alat untuk melumpuhkan sistem internasional yang telah disepakati bersama.

Hak veto memang merupakan peninggalan Perang Dunia II yang tidak demokratis dan tidak sesuai dengan realitas dunia internasional dewasa ini. Kekuatan veto yang anakronistis dan secara moral tidak dapat dipertanggungjawabkan harus dihapus (Joseph E. Schwartzberg, 2014). Tidak mengherankan bahwa upaya untuk mereformasi DK, termasuk menghapus veto, dimulai sejak 1993. Namun, upaya tersebut tidak mengalami kemajuan karena adanya perbedaan yang tajam antar berbagai kelompok kepentingan, termasuk anggota tetap.

Dalam kondisi seperti ini, otoritas DK dipertanyakan. Bagaimana DK dapat memenuhi mandatnya untuk menghentikan pembunuhan masal, kejahatan atas kemanusiaan, genosida, kejahatan perang, atau agresi di seluruh dunia yang masih mungkin terjadi pada masa depan?

Terlepas dari realitas dan tantangan di atas, kegagalan DK untuk bertindak di Gaza tidak boleh dijadikan alasan untuk berdiam diri.

Opsi yang Lain

Selama DK tidak dapat menghentikan agresi Israel, mayoritas negara yang bergabung dalam Gerakan Nonblok (GNB) dan Organisasi Kerja Sama Islam (OKI), termasuk Indonesia, memegang peran penting sebagai penjaga moral, kelompok penekan politik, serta pembela hak-hak Palestina di forum PBB. Posisi prinsipnya sangat jelas, mendukung kemerdekaan Palestina dan menentang berlanjutnya pendudukan Israel.

Kelompok politik itu juga terus meningkatkan desakan untuk dihentikannya agresi militer Israel, disepakatinya gencatan senjata, dimulainya perundingan damai, serta disalurkannya bantuan kemanusiaan, dan rekonstruksi untuk Gaza. Beberapa negara yang memiliki hubungan diplomatik dengan Israel bahkan telah memanggil pulang duta besarnya.

Sementara desakan kepada DK untuk menjalankan tanggung jawabnya terus disuarakan, langkah apa yang dilakukan di luar forum DK? Setidaknya terdapat empat opsi tindakan.

Opsi pertama adalah penyelenggaraan sesi khusus Majelis Umum (MU) PBB dalam kerangka uniting for peace. Dengan keanggotaannya yang universal, forum tersebut bermanfaat untuk mengangkat tragedi Gaza pada level yang lebih tinggi. Resolusi yang dihasilkan memang tidak legally binding, namun dapat digunakan sebagai dasar untuk merekomendasikan upaya dan respons bersama dari mayoritas negara anggota PBB terhadap krisis Gaza.

Opsi kedua ialah memperkuat perlindungan terhadap rakyat Palestina. PBB mengakui Israel sebagai kekuatan pendudukan (occupying power) di Palestina. Sesuai dengan Konvensi Jenewa 1949, pendudukan harus bersifat sementara dan kekuatan pendudukan harus melindungi penduduk sipil.

Guna memperkuat perlindungan penduduk sipil itu, penduduk Palestina, terutama di Gaza, perlu ditempatkan ke dalam sistem perlindungan internasional di bawah PBB. Masyarakat internasional juga perlu mendukung inisiatif penyelenggaraan pertemuan high contracting parties Konvensi Jenewa 1949 sebagai langkah simbolis untuk menekan Israel mematuhi konvensi dimaksud.

Opsi ketiga ialah menuntut akuntabilitas Israel. Dewan HAM PBB telah mengadakan sidang khusus guna membahas agresi Israel pada akhir Juli lalu. Sesi tersebut membentuk komisi penyidik untuk menyelidiki berbagai dugaan pelanggaran hukum kemanusiaan dan hukum HAM internasional oleh Israel.

Tuntutan pertanggungjawaban Israel, khususnya criminal accountability para pejabat Israel yang terlibat dalam perencanaan dan pelaksanaan agresi serta pembunuhan terhadap rakyat sipil Palestina, merupakan mekanisme deterrent yang dapat mencegah terjadinya tragedi serupa pada masa depan. Pemerintah Palestina juga telah menegaskan kembali keinginannya agar Mahkamah Pidana Internasional (ICC) dapat melaksanakan yurisdiksi di wilayah Palestina dengan memanfaatkan mekanisme yang tersedia pada Statuta Roma. Hasil kerja Komisi Penyidik tentu dapat membantu pelaksanaan tugas ICC.

Opsi keempat adalah boikot Israel. Penerapan langkah itu memang sangat kompleks. Sebab, dalam era globalisasi, perusahaan multinasional mempunyai cabang, anak perusahaan, saham di perusahaan lain, atau beroperasi di berbagai wilayah dunia. Walaupun dampak boikot mungkin masih sangat kecil, langkah tersebut merupakan tindakan simbolis yang sangat berarti seperti yang telah dilakukan Uni Eropa.

Proses Perdamaian

Proses perdamaian Israel-Palestina sudah semestinya dilakukan secara komprehensif dan mencakup seluruh inti permasalahan. Yaitu, isu perbatasan, keamanan, pengungsi, Jerusalem, permukiman, dan sumber air.

Format dan struktur proses perdamaian yang selama ini didominasi satu negara juga harus ditinjau kembali. Mediator harus pihak yang dipercaya dan kredibel serta adil dan imparsial. Oleh karena itu, terdapat keperluan untuk menghidupkan kembali mediasi oleh Quartet (AS, Rusia, Uni Eropa dan PBB). Keterlibatan empat pihak secara berimbang memungkinkan perundingan lebih fokus dan memperhatikan aspirasi pihak-pihak yang bertikai secara adil dan fair.

Dengan menyimak dinamika di DK PBB, politik internal di Israel dan Palestina serta perkembangan situasi di kawasan Timur Tengah dan global, tampaknya perdamaian Israel-Palestina masih jauh dari kenyataan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar