Reformasi
Pendidikan, Pekerjaan Besar Bangsa
Dwi Erianto dan Yuliana Rini
DY ; Wartawan/Litbang
Kompas
|
KOMPAS,
28 Agustus 2014
PERAN
pendidikan sangat strategis dalam membentuk bangsa. Sejarah kemerdekaan
nasional menunjukkan, kelompok intelektual berpendidikan tinggi mampu
menumbuhkan dan menggerakkan kesadaran berbangsa. Pembangunan kebudayaan
ataupun ekonomi bangsa pun diwujudkan melalui ranah pendidikan. Singkatnya,
pendidikan merupakan ”episentrum” perkembangan peradaban bangsa.
Namun,
pembangunan pendidikan di Indonesia ternyata mengalami persoalan
multidimensi, baik bersifat fundamental, struktural, maupun operasional. Dari
aspek fundamental, selama ini kebijakan pemerintah melihat capaian pendidikan
cenderung dari aspek kuantitas, antara lain angka partisipasi pendidikan
kasar dan murni, rata-rata lama sekolah, ujian nasional, dan hasil tes
internasional. Berdasarkan ukuran-ukuran itu, capaian pendidikan Indonesia
ada di bawah negara lain.
Untuk
mengejar proporsi statistik tersebut, langkah pemerintah justru kemudian
terjebak pada sindrom ”keluar dari ketertinggalan” negara lain. Kebijakan
diarahkan untuk meningkatkan daya saing anak Indonesia dengan menggunakan
berbagai standar internasional. Akibatnya, pendidikan saat ini justru
mempersulit peserta didik melihat realitas masalah masyarakat dan
keindonesiaan. Kebijakan pendidikan justru melahirkan generasi muda yang
tidak mampu memanfaatkan potensi kekayaan Indonesia dan kearifan lokal.
Salah
satu kebijakan yang dinilai tidak berkelanjutan tampak dari dampak perubahan
kurikulum pendidikan. Kesan ganti kurikulum tidak diimbangi dengan persiapan
yang memadai tidak bisa dielakkan. Selama era Reformasi, terjadi tiga kali
perubahan kurikulum, meliputi Rintisan Kurikulum Berbasis Kompetensi 2004,
Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan 2006, dan Kurikulum 2013 tematik
integratif.
Saat
ini, sebagian besar guru di sekolah disinyalir masih bertipe ”guru
tradisional” yang diposisikan sebagai pembimbing, pengajar, dan pelatih yang
menyiapkan peserta didik pada masa depan. Hanya sebagian kecil guru yang
bertipe guru profesional, yakni guru sebagai fasilitator yang mengondisikan
suasana dan proses pembelajaran berpusat pada murid sebagaimana tuntutan
kurikulum.
Selain
persoalan kesiapan guru dan distribusi buku teks, penerapan Kurikulum 2013
juga berisiko menambah beban belajar siswa. Akibatnya bisa diduga,
pelaksanaan kurikulum itu menjadi kurang efektif dan lebih terkesan menjadi
semacam proyek pemerintah.
Problem guru
Guru
sebagai ujung tombak pendidikan masih dibebani sejumlah masalah. Dari aspek
struktural, yaitu politik pendidikan, peserta forum diskusi menyoroti
desentralisasi pendidikan yang diwarnai ketimpangan. Ketidakmerataan sebaran
guru menjadi salah satu masalah struktural di dunia pendidikan.
Guru
dalam jumlah besar terkonsentrasi di ibu kota provinsi/kabupaten dan
kota-kota besar sehingga terjadi banyak kelebihan guru di daerah-daerah
tersebut. Sementara sekolah-sekolah di daerah pinggiran justru kekurangan
guru. Ketidakmerataan ini sulit diatasi karena kewenangan rekrutmen dan
penempatan guru ada di bawah pemerintah kabupaten/kota.
Dampak
desentralisasi pendidikan juga memunculkan fenomena politisasi guru. Guru
menjadi alat politik untuk meraih suara dalam pemilihan anggota legislatif
daerah atau kepala daerah. Akibatnya, sering terjadi korupsi, kolusi, dan
nepotisme untuk mendapatkan kedudukan atau penempatan di institusi pendidikan
daerah. Bukan rahasia lagi bahwa anggaran bidang pendidikan di daerah
merupakan salah satu lahan yang cukup menggiurkan.
Anggaran
pendidikan yang besarnya 20 persen dari APBN/APBD juga dinilai peserta forum
diskusi belum efektif meningkatkan mutu pendidikan. Anggaran untuk pendidik
yang mengambil porsi anggaran sangat besar (Rp 72,8 triliun untuk APBN 2014)
belum berdampak pada peningkatan mutu pembelajaran dan kualitas siswa.
Hal
ini terjadi karena profesionalitas guru masih diidentikkan dengan tunjangan
profesi. Guru berlomba ikut ujian sertifikasi untuk mendapatkan tunjangan,
tetapi alokasinya hanya segelintir yang memanfaatkan dana itu untuk mengikuti
kursus atau meningkatkan jenjang pendidikan.
Aspek
lain dari persoalan guru adalah profesionalitas. Kebijakan meningkatkan
profesionalitas guru, pertama-tama dilakukan dengan menaikkan remunerasi.
Namun, langkah ini belum secara sistematis diikuti tahap berikutnya yang
berimplikasi pada mutu dan kinerja, seperti peningkatan jenjang pendidikan
dan kualifikasi guru.
Dalam
hal ini, peran lembaga pendidikan tenaga kependidikan (LPTK) dinilai belum
mampu mendidik calon guru yang menguasai ilmu pedagogi sekaligus bidang ilmu.
Pengembangan LPTK terhambat diskriminasi, baik dari aspek anggaran maupun
penilaian. Contohnya, perguruan tinggi bidang pendidikan cenderung masih
dipandang sebelah mata oleh calon peserta didik dibandingkan perguruan tinggi
umum.
Budaya jalan pintas
Permasalahan
terakhir adalah aspek kultural, yakni budaya ”instan”, jalan pintas dalam
mengejar ijazah yang berdampak pada merebaknya kecurangan dan plagiarisme di
kalangan peserta didik. Segala macam cara dilakukan, mulai dari mencontek
saat ujian, jadi joki ujian, plagiarisme karya tulis, hingga membeli ijazah
”aspal”. Nilai kejujuran diabaikan demi mengejar status sosial berpendidikan.
Parahnya,
inisiatif kecurangan tak hanya datang dari peserta didik, tetapi kerap kali
juga melibatkan para pendidik hingga pejabat lingkup pendidikan nasional.
Kasus mencontek ”berjamaah” saat ujian nasional kerap mewarnai pemberitaan
media massa. Forum diskusi mengusulkan agar pemerintahan baru melakukan
reformasi pendidikan melalui beberapa hal.
Pertama,
mendefinisikan ulang implementasi arah pendidikan. Semangat pendidikan harus
dikembalikan untuk memberdayakan manusia Indonesia dan bukan semata
terperangkap jargon ”daya saing”. Dunia pendidikan harus lepas dari mental
post-colonial yang cenderung meninggalkan jati diri dan kearifan lokal.
Kedua,
reformasi LPTK. Hal tersebut dapat ditempuh dengan melakukan reorientasi
Pendidikan Profesi Guru (PPG). PPG harus diselenggarakan dengan mengubah pola
pendidikan keguruan yang bertumpu pada kombinasi dua pendekatan: pendekatan
berdasarkan riset (research-based
teacher education) dan berdasarkan pengalaman mengajar (school-based teaching experience). Dengan
demikian, produk pendidikan bisa lebih diimplementasikan dalam dunia kerja.
Ketiga,
untuk menyelesaikan ketimpangan ketersediaan guru, pemerintah perlu membuat
regulasi penempatan guru. Hal ini dapat berupa insentif yang mampu memotivasi
guru ataupun calon guru agar bersedia mengajar di tempat terpencil. Jika
perlu, melakukan evaluasi konsep desentralisasi guru. Pendirian Dewan
Pendidikan Nasional pun perlu mulai benar-benar dilaksanakan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar