Menanti
Bukti Janji Jokowi
Mochammad Sayyidatthohirin ; Peraih Beasiswa Bidikmisi
IAIN Walisongo Semarang
|
HALUAN,
29 Agustus 2014
Masa kepemimpinan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) tinggal menghitung
hari. Berdasarkan pengumuman hasil rekapitulasi Komisi Pemilihan Umum (KPU)
pada 22 Juli kemarin dan keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang menolak
gugatan pasangan calon presiden (capres) Prabowo Subianto-Hatta Rajasa,
menetapkan pasangan Joko Widodo-Jusuf Kalla sebagai pemenang Pemilihan
Prsiden (Pilpres) 2014.
Artinya, setelah momentum
pelantikan Presiden-Wakil Presiden Jokowi-JK pada 20 Oktober mendatang,
keduanya telah sah menjadi Presiden Indonesia ketujuh secara konstitusional.
Secara otomatis, Presiden Jokowi akan menggantikan rezim SBY dan bertanggungjawab
memimpin Indonesia setidaknya hingga lima tahun ke depan.
Perlu diingat, bagaimanapun
juga, terpilihnya Jokowi sebagai presiden ketujuh Republik Indonesia (RI)
bukan hanya berasal dari jerih payah serta usaha sendiri beserta kelompok
koalisi, serta para relawannya. Tapi yang menjadi kunci utama kesuksesannya
adalah suara rakyat Indonesia.
Ya, suara rakyatlah yang
telah menentukan keberuntungan nasibnya, sehingga dia menjadi orang
nomor wahid di Indonesia untuk periode 2014-2019. Tanpa suara rakyat,
berbagai usaha serta segala upayanya, bagaikan menegakkan tali yang basah,
alias akan tiada artinya.
Pada hakikatnya, rakyat mau
memilih Jokowi karena mereka memiliki harapan besar yang diamanatkan
kepadanya. Harapan itu tidak lain adalah supaya mensejahterakan rakyat.
Hingga rakyat mau menyerahkan nasibnya dengan merelakan suaranya untuk
Jokowi karena mereka yakin dan percaya bahwa dia mampu memimpin Indonesia
hingga lima tahun ke depan dengan baik.
Dengan karakter merakyatnya,
rakyat sangat berharap dia mampu merubah nasib bangsa Indonesia menjadi lebih
baik, maju, dan sejahtera. Harapan besar itu muncul atas dasar sejumlah janji
Jokowi ketika berkampanye yang tujuan utamanya adalah untuk mensejahterakan
rakyat Indonesia.
Beberapa janji tersebut
meliputi aspek pendidikan, pertanian, kelautan, energi, dan administrasi
birokrasi. Jokowi berjanji akan memajukan dan memperbaiki Indonesia bermula
dari aspek-aspek itu. Dan Jokowi pun harus mampu membuktikannya kepada rakyat
apabila dia masih inggin rakyat yakin dan percaya padanya.
Sebenarnya dengan menjabat
Presiden RI, Jokowi mengemban tugas dan tanggung jawab besar yang harus
diselesaikannya. Tanggung jawabnya tidak hanya seperti ketika menjabat
sebagai rakyat biasa, walikota, atau gubernur, melainkan lebih berat dari
pada itu semua.
Selain berkewajiban memenuhi
semua janjinya, dia juga harus bisa menyelesaikan berbagai macam persoalan
yang menjadi pekerjaan rumah (PR) Jokowi dari peninggalan rezim SBY dan
presiden-presiden sebelumnya.
Diantaranya pendidikan yang
belum menjamin hak kepada setiap waga negara, meningkatnya kemiskinan,
meningkatnya hutang Indonesia kepada pihak asing sejak zaman Soeharto hingga
sekarang, politik yang carut marut, krisis kepercayaan pemimpin, supremasi
hukum tebang pilih, serta masalah beberapa aset negara dikuasai asing,
seperti; PT. Free Port, Exon mobil, minyak Natuna dan masih banyak lagi.
Semuanya itu harus diselesaikan
Presiden Jokowi di masa kepemimpinannya nanti. Salah satu tantangan besar
baginya adalah membeli kembali kantor Indosat, sesuai janjinya ketika dalam
debat capres. Sebab, di satu sisi dia merupakan usungan PDI-P. Padahal, PDI-P
adalah partai milik Megawati. Megawati adalah pelaku penjualan aset Indosat.
Sedangkan di sisi lain, sebagai presiden dia harus mensejahterakan rakyatnya,
salah satunya dengan memenuhi janjinya mengenai pembelian kembali Indosat.
Ditambah lagi, Jokowi tidak
akan bisa membelinya kembali kecuali jika Singapura mau menjualnya.
Persoalannya, akankah Singapura mau menjual kembali Indosat untuk Indonesia?
Asumsinya, apabila mau, paling tidak Singapura akan menjualnya dengan harga
yang tinggi. Itu atas dasar pertimbangan Indosat merupakan salah satu aset
terpenting Indonesia karena menyimpan sangat banyak sekali data informasi
bangsa Indonesia di dalamnya. Mau tidak mau, jika Indonesia tidak mau
dirugikan berlarut-larut, maka harus membelinya kembali.
Tentunya untuk bisa membuktikan
itu semua tidak semudah mengedipkan mata atau pun membalikkan telapak tangan.
Sangat diperlukan perjuangan besar dan kekuatan ekstra. Sebab, bangsa
Indonesia adalah bangsa yang sangat plural, beranekaragam, dan berwilayah
sangat luas yang tersebar dari Sabang hingga Merauke.
Indonesia memiliki problematika
kehidupan yang sangat kompleks. Maka, untuk bisa mensejahterakan rakyatnya,
seorang presiden harus menjadi sosok yang cerdas dan profesional.
Dengan didasari semangat juang
1945, Jokowi harus mampu bekerja keras secara masif untuk membuktikan
janji-janjinya. Sebab, perjuangan pada saat ini tidak lebih sulit bila
dibandingkan dengan perjuangan para pejuang dahulu ketika berusaha merebut
kemerdekaan dari belenggu para penjajah. Padahal, di setiap detik nyawanya
terancam melayang oleh peluru yang siap menembus dada mereka, sehingga bisa
menggugurkan perjuangannya kapan saja. Namun, demi meraih kemerdekaan,
mereka satukan niat dan tekad berjuang hingga titik darah penghabisan.
Sebagai presiden, selain harus
memiliki kecerdasan intelektual dan emosional, setidaknya Jokowi juga harus
memiliki kecerdasan spiritual. Sebab, bila seorang pemimpin hanya
mengandalkan kecerdasan intelektual dan emosional untuk mengurus rakyat
tanpa diiringi kecerdasan spiritual, maka bagaikan sayur tanpa bumbu.
Implikasinya, tidak mengherankan
jika pemimpin itu bukannya mampu memberantas para koruptor, akan tetapi
malah terlibat menjadi koruptor. Hal itu dikarenakan kecerdasan
spiritual berperan sangat urgen dalam kehidupan sehari-hari. Urgensinya
seolah-olah tidak dapat dinafikan, sehingga kecerdasan spiritual menjadi
suatu keniscayaan bagi seorang pemimpin, khususnya Jokowi.
Jangan sampai dalam kepemimpinannya
nanti Jokowi menunjukkan kegagalan dalam memimpin Indonesia sehingga mengecewakan
dan menyengsarakan rakyat. Jika ini terjadi, maka bisa membahayakan nasib
bangsa Indonesia, terutama bagi Jokowi sendiri karena rakyat bisa jadi akan
mengkudetanya. Maka dari itu, jangan sampai Jokowi menjadi sosok pemimpin
yang lihai mengobral janji tanpa realisasi. Karena pemimpin semacam itu
sudah menjamur di negeri ini, dan itu tidak dibutuhkan rakyat Indonesia.
Sudah saatnya Indonesia
dipimpin seorang yang amanah dan realistis supaya tidak “menyakitkan” hati
rakyat. Jangan sampai karena dia merupakan tokoh usungan partai Megawati,
lantas dia menjadi robot PDI-P sehingga peristiwa penjualan aset negara akan
terulang kembali, bahkan lebih dari itu.
Disamping itu, jangan sampai
posisinya sebagai presiden hanya menjadi alat bagi orang-orang yang berkepentingan
individualis. Jokowi harus meletakkan kepentingan rakyat di atas
kepentingannya sendiri dan kelompoknya. Sebab, berjuta-juta orang menyerahkan
nasibnya kepadanya agar memperoleh kesejahteraan, bukan kesengsaraan.
Sebagai pemimpin, ada dua
firman Allah yang bisa menjadi pengingat bagi Jokowi. Pertama, Surat
Al-A’rof: 176 tentang kemurkaan Allah atas orang yang hanya pintar bicara
tanpa ada implementasi yang riil. Kedua, Surat Al-Nisa’: 58 tentang menjadi
orang yang amanah dan berlaku adil.
Semoga dengan berakhirnya
pemerintahan SBY dan digantikan oleh Jokowi, segala keterpurukan dan
kesengsaraan bangsa Indonesia segera berakhir dan digantikan dengan
kemakmuran dan kesejahteraan.
Semua itu tidak akan tercapai
kecuali jika Jokowi menjadi presiden yang bijaksana, amanah, realistis,
dan ikhlas dalam mengemban amanat rakyat demi memperjuangkan kepentingan
umat, bukan kepentingan pribadi, keluarga, partai, maupun kelompoknya
sendiri. Dengan begitu, maka Indonesia akan menjadi negara yang aman,
sejahtera, maju, dan unggul, baldatun
tyoyyibatun warobbun ghofur. Wallahu a’lam bi al-showab. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar