Agenda
Perburuhan Presiden Baru
M Hadi Shubhan ; Dosen Hukum Perburuhan dan
Filsafat Hukum pada Program Pendidikan Doktor (S3) Fakultas Hukum Universitas
Airlangga
|
KOMPAS,
29 Agustus 2014
DALAM
beragam pemaparan visi dan misinya menyangkut bidang perburuhan, Jokowi-JK
mengusung isu kerja layak, upah layak, dan hidup layak. Meskipun sangat
singkat, visi dan misi perburuhan Jokowi-JK ini justru sangat fundamental,
filosofis, dan empiris. Ketiga hal tersebut merupakan masalah dasar yang
menjadi akar penyebab dari masalah-masalah perburuhan lain.
Jika
Jokowi-JK dalam pemerintahan barunya nanti mampu mengurai tiga isu perburuhan
ini, masalah perburuhan lainnya akan dengan sendirinya terselesaikan.
Demikian pula sebaliknya, jika Jokowi-JK gagal mengimplementasikan visi dan
misi ini, masalah perburuhan akan menjadi batu sandungan roda pemerintahan
Jokowi.
Perburuhan
memiliki arti sangat strategis dalam menggerakkan roda perekonomian negara.
Selama ini buruh telah memberikan kontribusi yang afirmatif dalam posisinya
sebagai ”bahan bakar” mesin perekonomian. Namun, kondisi kehidupan buruh
masih memprihatinkan.
Dalam
dua dekade terakhir, buruh mengalami degradasi yang luar biasa atas kelayakan
hidupnya. Salah satu indikator terdegradasinya kehidupan buruh yang layak
adalah upah yang tergerus nilai riilnya.
Sekadar
gambaran, upah minimum DKI Jakarta pada 1996 ada pada angka sekitar Rp
150.000 dan uang sebesar Rp 150.000 ini dapat untuk membeli beras lebih
kurang 300 kilogram (harga beras waktu itu sekitar Rp 500 per kilogram).
Adapun pada 2014, upah minimum pekerja DKI Jakarta Rp 2,4 juta, tetapi
ironisnya uang sebesar Rp 2,4 juta itu saat ini hanya bisa membeli beras 200
kilogram (dengan harga beras pada kisaran Rp 11.000 per kilogram).
Cukup untuk tidak mati
Dari
ilustrasi perbandingan nilai riil upah tersebut, dapat ditarik benang merah
bahwa upah buruh dalam dua dekade terakhir telah turun cukup signifikan.
Alih-alih buruh dapat hidup layak, untuk bertahan hidup saja mereka harus
penuh perjuangan yang sangat berat. Upah yang saat ini diterima oleh buruh
itu tidak cukup untuk hidup, tetapi hanya cukup untuk tidak mati.
Kondisi
upah buruh yang tidak layak itu sepenuhnya merupakan kesalahan negara dan
bukan kesalahan pengusaha sehingga menjadi tanggung jawab negara. Ada dua
kesalahan besar yang dilakukan negara yang membuat upah buruh sangat tidak
layak selama ini, sementara jika dinaikkan secara signifikan, pengusaha akan
tidak mampu membayarnya. Kesalahan ini terjadi secara kumulatif dari
pemerintahan presiden yang satu ke presiden yang lain dan dari menteri tenaga
kerja satu ke menteri tenaga kerja lainnya.
Kesalahan
pertama, negara telah membuat sistem pengupahan yang menghasilkan upah buruh
murah. Sistem pengupahan yang murah itu tecermin dari kebijakan melalui
peraturan perundang-undangan yang dikeluarkan pemerintah, baik oleh presiden
maupun oleh Menakertrans. Penghitungan nilai upah minum kabupaten didasarkan
pada survei kebutuhan hidup layak (KHL). Komponen KHL sudah ditentukan dalam
Permenakertrans No 13/2012 yang mengatur komponen KHL jumlahnya ”hanya 60”.
Dengan
basis KHL yang ”hanya” 60 komponen, disurvei berkali-kali pun akan
menghasilkan indeks yang tetap minim dan pada gilirannya akan dihasilkan KHL
yang rendah sehingga penetapan UMP-nya pun rendah. Hal ini disebabkan
komponen-komponen itu tidak merefleksikan suatu kebutuhan hidup yang layak.
Berdasarkan kajian akademik, untuk menghasilkan komponen layak, semestinya
ada banyak komponen yang dimasukkan ke dalam KHL.
KHL
yang menghasilkan angka kebutuhan hidup yang minim tidak bisa disalahkan jika
para gubernur kepala daerah yang menambah angka UMP sekian puluh persen di
atas KHL. Para gubernur sadar bahwa hasil survei KHL itu sangat minim. Jadi,
dapat dipahami dua tahun lalu, ketika baru diangkat sebagai Gubernur DKI
Jakarta, Jokowi melakukan terobosan dengan menambah tidak kurang dari 30
persen dari KHL. Demikian pula kepala daerah lainnya yang saat ini mengikuti
kebijakan Gubernur Jokowi itu.
Kesalahan
kedua, eksekusi kebijakan secara umum
yang menyebabkan ekonomi berbiaya tinggi. Ekonomi berbiaya tinggi menguras
anggaran perusahaan, yang berujung pada ketidakmampuan perusahaan untuk
membayar upah yang layak untuk buruh.
Hal-hal
yang menyebabkan pengusaha merogoh anggaran lebih dalam antara lain
disebabkan infrastruktur yang buruk serta sistem bongkar muat di pelabuhan
yang lama dan rumit. Belum lagi biaya siluman yang harus dikeluarkan
pengusaha, baik untuk upeti oknum maupun untuk biaya perizinan yang
seharusnya bebas biaya. Beban-beban yang seharusnya tidak perlu ditanggung
pengusaha mengakibatkan beban membayar upah buruh menjadi tergerus dengan
beban-beban itu. Akibatnya, ketika harus membayar upah buruh yang layak,
pengusaha banyak yang tidak kuat.
Jika
kebijakan sistem pengupahan dan eksekusinya sudah diperbaiki, upah layak
bukan menjadi utopia bagi buruh. Jika upah buruh sudah layak, kehidupan buruh
juga menjadi layak. Penghidupan buruh sudah layak akan berimbas pada
keharmonisan hubungan antara pengusaha dan buruh dan, dengan sendirinya,
produktivitas akan linier meningkat. Banyak demonstrasi buruh yang terjadi
selama ini adalah disebabkan persoalan upah yang tak layak serta soal hak
normatif lainnya.
Penguatan pengawasan
Agenda
terakhir agar Jokowi dapat mengimplementasikan visi dan misinya di bidang
perburuhan adalah penguatan lembaga pengawasan ketenagakerjaan.
Karut-marutnya masalah perburuhan, seperti tentang penyumberluaran, pekerja
kontrak, dan pemutusan hubungan kerja terletak pada tidak ditegakkannya
ketentuan dan aturan hukum perburuhan.
Norma
materiilnya sudah lengkap dan jelas. Namun, ketika pengusaha melanggar norma
itu, pegawai pengawas ketenagakerjaan membiarkannya bahkan ketika buruh
melaporkannya pula, mereka tidak menindaklanjutinya. Walhasil, pelanggaran
norma perburuhan semakin lama semakin menggunung dan tinggal menunggu waktu
terjadinya peledakan bom waktu revolusi perburuhan tersebut. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar