Kompleksitas
Masalah Kartu Indonesia Pintar
Darmaningtyas ; Pengamat Pendidikan
|
KORAN
TEMPO, 29 Agustus 2014
Salah
satu program unggulan presiden terpilih Joko Widodo (Jokowi) adalah Kartu
Indonesia Pintar (KIP). Program ini mengadopsi Kartu Jakarta Pintar (KJP)
yang sudah diterapkan di Jakarta sejak 2013. KJP dimaksudkan untuk memberi
bantuan personal kepada anak-anak dari golongan miskin agar tetap bersekolah
tanpa mengalami hambatan mengenai pakaian seragam, sepatu, tas, atau bahkan
transportasi.
KJP
ini melengkapi bantuan operasional sekolah (BOS) dari pemerintah untuk SD-SMP
ataupun bantuan operasional pendidikan (BOP) untuk sekolah-sekolah negeri.
BOS dan BOP merupakan bantuan pendanaan untuk institusi (sekolah), sedangkan
KJP merupakan bantuan yang bersifat personal.
Prinsip
program KIP tidak berbeda dengan KJP. Yang berbeda adalah cakupannya saja,
yaitu bantuan personal untuk anak-anak orang miskin agar dapat membeli
peralatan sekolah yang bersifat personal, seperti pakaian seragam, sepatu,
transportasi, dan uang saku.
Karena
KIP mencakup seluruh wilayah Indonesia, program ini memiliki kompleksitas
yang lebih tinggi. Jika KJP hanya mencakup sekitar 332.465 murid miskin, KIP
mungkin bisa mencapai 5 juta jiwa. Dengan cakupan yang lebih luas dan jumlah
yang lebih besar itu, ada dua konsekuensi logis yang akan terjadi: 1)
diperlukan kecermatan dalam identifikasi calon penerima KIP agar tepat
sasaran; 2) dana yang diperlukan jauh lebih tinggi, bisa sepuluh kali lipat
dari dana KJP 2013 sebesar hampir Rp 1 triliun.
Besaran
KJP antar-tingkat satuan pendidikan berbeda-beda, disesuaikan dengan unit
cost/tahun/satuan pendidikan. Sebagai contoh, SD/SDLB/MI unit cost per tahun
sebesar Rp 2.160.000 sehingga besaran KJP per bulan Rp 180.000. Perhitungan
unit cost itu sebatas pada komponen transportasi ke dan dari sekolah,
pembelian buku, alat tulis, tas sekolah, baju, sepatu sekolah, serta tambahan
makan dan minum.
Implementasi
KIP tidak jauh berbeda dengan KJP, yang merupakan bantuan personal. Dengan
demikian, keberadaan KIP tidak perlu dipertentangkan dengan BOS yang
diberikan oleh pemerintah dan BOP yang diberikan oleh pemda dan selama ini
mampu menggratiskan biaya pendidikan dasar ataupun menengah (di beberapa
daerah). BOS dan BOP tetap berjalan dan tidak terganggu oleh keberadaan KIP
karena penerima manfaat BOS dan BOP adalah institusi (sekolah), sedangkan
penerima KIP adalah pribadi.
Problem
terbesar dari KIP ini adalah masalah penyediaan dana yang cukup besar,
bergantung pada banyaknya anak dari keluarga miskin. Namun masalah sumber
dana tidak perlu dipersoalkan asalkan pemerintah memiliki komitmen/kebijakan
yang jelas terhadap BBM. Jauh lebih positif dan jelas hasilnya bila
pemerintah memotong subsidi BBM dan kemudian mengalihkannya untuk biaya
pendidikan gratis 12 tahun dan implementasi KIP. Hanya, yang perlu diingat,
besaran KIP tidak boleh sama di seluruh wilayah Indonesia, mengingat
harga-harga, termasuk biaya transportasi daerah-daerah di kepulauan, jauh
lebih mahal dibanding di Jawa dan Bali.
Karena
itu, perlu ada pemetaan harga-harga barang di setiap wilayah kepulauan.
Kecuali itu, masyarakat perlu diedukasi agar tidak menyalahgunakan uang KIP
untuk kepentingan konsumsi. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar