Sabtu, 30 Agustus 2014

Konspirasi Melawan Konstitusi

Konspirasi Melawan Konstitusi

Wiwin Suwandi  ;   Pengamat Hukum Tata Negara Universitas Hasanuddin (Unhas), Peneliti Pusat Kajian Konstitusi Unhas
MEDIA INDONESIA, 28 Agustus 2014

                                                                                                                       


ANCAMAN terbesar negara demokrasi pascaotoritarianisme ialah kembalinya dominasi salah satu organ/lembaga negara. Oleh karena itu, amendemen UUD 1945 mendesain pemisahan antara cabang kekuasaan negara dan menempatkan lembaga negara secara setara.

Sejak dicetuskan berabad lampau, teori pemisahan kekuasaan (separation of power) bertujuan menghadirkan konsep saling kontrol dan menyeimbangi di antara tiga organ utama negara; eksekutif, legislatif, dan yudikatif. Konsep itu menghalangi munculnya supremasi organ di salah satunya. Separation of power sendiri muncul sebagai kritik atas tirani monarki di Eropa saat itu.

Separation of power memisahkan secara tegas mana wilayah eksekutif, legislatif, dan yudikatif. Antara satu organ tidak mencampuri urusan organ lainnya karena masing-masing memiliki `trah' keberadaannya. Legislatif merancang dan membentuk UU, eksekutif menjalankan UU itu, dan yudikatif yang akan mengadili atas pelanggaran terhadap UU itu. Dalam konsep negara hukum (nomokrasi), konstitusi adalah hukum tertinggi yang dipegang oleh lembaga yudikatif.

Membangkang

Tampaknya, prinsip itu yang tidak dipahami parpol dalam barisan Koalisi Merah Putih di DPR tatkala menggulirkan wacana pembentukan pansus pilpres pascaputusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang tetap menguatkan penetapan KPU terhadap hasil Pilpres 2014. Sekalipun berlindung di balik alasan konstitusional--terkait fungsi pengawasan--, sulit menghilangkan kesan jika pembentukan pansus itu hanya pelampiasan syahwat politik DPR yang tidak puas dengan putusan MK. Pansus semata sebagai skenario politik untuk `melawan' putusan MK. Bahkan, lebih jauh lagi jika tujuannya ingin memakzulkan presiden terpilih.

Menjadi penting untuk ditanyakan, apa alasan konstitusional membentuk pansus pilpres pascaputusan MK?

Tulisan ini mencoba menjawab itu dalam perspektif akademis. Pertama, DPR memang berwenang membentuk pansus, tetapi pansus bukanlah alat kelengkapan DPR. Pansus hanya dibentuk berdasarkan kejadian atau kondisi khusus kenegaraan, misalnya Pansus Pertamina yang dibentuk pada 2005 lalu untuk menyelidiki skandal penjualan kapal tanker Pertamina. Meski pembentukan pansus ini `salah alamat' mengingat masih ada kewenangan konstitusional DPR lainnya yang bisa digunakan, misal hak angket, pansus sah secara konstitusional jika diperkuat dengan alasan yang juga memenuhi syarat konstitusional. Posisi pansus sebetulnya lemah secara konstitusional karena hanya bergantung pada kepentingan pragmatis parpol di DPR, tidak sekuat hak angket, interpelasi, dan menyatakan pendapat yang memang diatur secara konstitusional sebagai hak yang melekat pada anggota DPR.

Masalahnya hingga saat ini belum ada rujukan pendapat yang sahih tentang syarat konstitusional dibentuknya pansus, karena semua sadar jika pansus adalah ranah subjektif dan kewenangan politik DPR. Berbeda halnya dengan tafsir `situasi genting dan memaksa' sebagai syarat keluarnya perppu yang syarat konstitusionalnya telah diatur MK dalam putusannya.Pansus belum memiliki pijakan konstitusional yang kuat sehingga rentan menjadi komoditas kepentingan bagi sejumlah parpol di DPR yang berseberangan.

Kedua, apa urgensi membentuk pansus pilpres jika alasannya hanya ingin membongkar kecurangan pilpres dan menegakkan keadilan substantif? Dalam teori negara hukum, keadilan substantif itu diwujudkan dalam putusan pengadilan. Itulah alat sah untuk mengukur keadilan, meski disadari ada yang merasa tidak adil akibat putusan itu. Tapi sebagaimana yang diungkap Aristoteles bahwa `keadilan adalah ketidakadilan itu sendiri'. Jadi jangan terjebak dan menjebak diri pada tafsir sempit keadilan, seakan-akan keadilan itu hanya milik satu kelompok saja.

Lagi pula bukankah putusan MK telah mementahkan tuduhan kecurangan itu? Kita berdebat dalam konteks negara hukum, dan hukum sudah berbicara-melalui MK- yang memutuskan bahwa tidak terjadi kecurangan yang bersifat terstruktur, sistematis, dan masif dalam pilpres. Jadi untuk apa lagi mempertanyakan sesuatu yang sudah jelas?

Ketiga, parpol Koalisi Merah Putih di DPR telah `menjebak' dirinya sendiri dalam tuduhan `konspirasi melawan konstitusi' tatkala kembali mempersoalkan penetapan hasil pilpres oleh KPU melalui pembentukan pansus. Ketika kita menyepakati konstitusi sebagai hukum tertinggi, kita tunduk pada konstitusi. MK sebagai lembaga pengawal konstitusi telah mengeluarkan putusannya. Melawan putusan MK sama dengan melawan konstitusi.

Keempat, jika tujuannya ingin memakzulkan presiden terpilih melalui jalur politik (pansus), Koalisi Merah Putih salah alamat. Pemakzulan tidak seperti zaman Presiden Abdurrahman Wahid yang dengan mudah dimakzulkan. UUD 1945 pascaamendemen sudah membatasi kekuasaan DPR da kekuasaan DPR dalam memakzulkan presiden. Ada mekanisme konstitusional mela lui MK, serta prosesnya panjang dan berliku.

Kelima, jika memang tujuannya untuk memakzulkan presiden terpilih, parpol Koalisi Merah Putih telah mengkhianati konstituennya.

Evaluasi

Hendaknya parpol yang tergabung dalam Koalisi Merah Putih secara bijak dan cerdas mengevaluasi diri atas kegagalan mereka dalam pertarungan pilpres. Hitunghitungan di atas kertas sebetulnya berpihak pada pa sangan Prabowo-Hatta jika dinilai dari jumlah perolehan suara pada pileg lalu. Namun, faktanya tidak demikian. Preferensi pemilih pada pilpres tidak sama dengan pileg. Dalam pilpres, rakyat melihat figur, bukan partai.

Saya mengusulkan sebuah solusi yang bijak. Pertama, partai yang tergabung dalam Koalisi Merah Putih lebih baik mendorong evaluasi atas UU politik; UU Parpol, UU MD3, UU Pileg, UU Pilpres, dan UU Penyelenggara Pemilu. Biang masalah pemilu yang berujung pada sengketa pilpres yang hanya mengulang cerita (masalah) yang sudah-sudah adalah akibat tidak terkonsolidasinya UU Politik yang sebetulnya terhubung satu sama lain. Masih banyak permasalahan seputar pemilu yang harus dievaluasi, baik sistem maupun perangkatnya.

Apalagi MK sudah memutus bahwa pemilu akan dilaksanakan secara serentak pada Pemilu 2019 dan pemilu setelahnya. Putusan itu `memerintahkan' DPR untuk segera mengevaluasi dan menyusun regulasi di bidang UU Politik. Banyak gagasan untuk mendorong itu. Misalnya dengan menyusun `kodifikasi UU Pemilu' seperti yang diwacanakan oleh Saldi Isra dan Didik Supriyanto. Kodifikasi ini memuat seluruh instrumen atau UU yang berkaitan dengan pemilu, agar tercipta harmonisasi sistem pemilu.

Kedua, dari pada terus menerus mengutuk keadaan, lebih baik partai yang tergabung dalam Koalisi Merah Putih memantapkan dirinya sebagai oposisi. Oposisi tidak akan merendahkan derajat partai, bahkan akan menjadi lebih terhormat karena akan menyeimbangkan demokrasi di parlemen. Kita memang bukan demokrasi parlementer, tetapi bukan berarti oposisi haram. Dalam sistem presidensial pun oposisi diperlukan untuk mengawasi program-program pemerintah agar tepat sasaran. Dengan menjadi oposisi, ada konsistensi ideologi perjuangan yang dibentuk dan dikawal. Siapa sangka, dengan menjadi oposisi, nasib akan berubah pada 2019 nanti.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar