Jejak
Prof Tjahja
Jalal ; Penggiat Keberlanjutan
|
KORAN
TEMPO, 30 Agustus 2014
Pada
25 Agustus 2014, bangsa ini kehilangan Prof Dr Surna Tjahja Djajadiningrat,
guru besar Institut Teknologi Bandung dan Ketua Dewan Pertimbangan Program
Penilaian Peringkat Kinerja Perusahaan dalam Pengelolaan Lingkungan (Proper)
Kementerian Lingkungan Hidup.
Kepada
Pak Naya, begitu panggilan akrabnya, kita berutang banyak sekali. Pada akhir
1980-an dan awal 1990-an, ketika pembangunan berkelanjutan masih dianggap
sebagai subversi, Pak Naya dengan keberanian luar biasa terus membawa pesan
soal itu. Dia terus menggedor kesadaran bangsa ini bahwa tata cara kita dalam
membangun itu tidaklah tepat.
Salah
satu caranya adalah memberi pengantar dalam buku-buku terjemahan dari luar
negeri, seperti State of the World yang disunting oleh Lester Brown.
Penerjemahan buku-buku yang berisikan ide pembangunan berkelanjutan ke dalam
bahasa Indonesia sangatlah penting, agar publik di sini mampu mencerna
gagasan itu dengan cepat. Pengantar dari Pak Naya sedemikian fasihnya
bertutur soal ide besar buku-buku itu. Penjelasannya kerap berisi konteks
Indonesia, yang menjadikan buku-buku itu segera akrab dengan benak pembacanya.
Dia
juga kerap membicarakan hal-hal mengenai pembangunan berkelanjutan di dalam
dan di luar kampus. Pak Naya sangat aktif memberi pengajaran soal bagaimana
analisis mengenai dampak lingkungan dijalankan. Dia juga masuk ke dalam
birokrasi, terutama di departemen yang mengurusi pertambangan dan energi.
Energi intelektualnya dicurahkan untuk mendorong sektor yang tadinya terkenal
sangat kotor menjadi lebih memperhatikan lingkungan. Kebijakan-kebijakan yang
dibuatnya menunjukkan rekam jejaknya yang jelas.
Belakangan,
dia mengurusi perusahaan-perusahaan di luar sektor pertambangan dan energi,
dengan menjadi ketua Dewan Pertimbangan Proper. Dia selalu memberi
masukan-masukan yang bernas untuk mendorong kemajuan pengelolaan lingkungan.
Dia tahu persis bahwa, tanpa membuat perusahaan berubah, mustahil kondisi
keberlanjutan yang dicita-citakan Indonesia bisa dicapai.
Dalam
sebuah seminar tentang pembangunan berkelanjutan pada 2013, Pak Naya
mendiskusikan soal skala dan kecepatan pengelolaan lingkungan yang diperlukan
untuk membalikkan kondisi di Indonesia masih cenderung destruktif. Dia
kemudian bertutur soal konsep ekonomi hijau, dan menegaskan bahwa ekonomi
harus dibuat melek ekologi. Proses ekonomi yang selama ini linier-yang
berakhir di tempat sampah-harus diubah menjadi siklikal, seperti
proses-proses di alam, yang tak menghasilkan sampah sama sekali. Ekonomi
dalam konsep itu ditempatkan sebagai pelayan kepentingan sosial dan
lingkungan, sehingga keberlanjutan bisa diraih.
Kini,
Pak Naya telah meninggalkan kita semua. Namun, jelas dia telah menunjukkan
jalan yang harus diambil oleh bangsa ini, bila kita semua ingin melanjutkan
kehidupan. Dia telah mengajarkan, memberi contoh, dan menginspirasi banyak
sekali orang di Indonesia, sehingga keberlanjutan tak lagi dianggap sebagai
pemikiran subversif.
Keberlanjutan
bukan berarti anti-pembangunan, melainkan pembangunan yang hakiki. Dengan
banyaknya orang yang mempercayai dan bekerja untuk itu, jelas bahwa kerja Pak
Naya akan terus dilanjutkan oleh generasi baru yang menapaki jejaknya. Tjahja
itu tak akan padam. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar