Sejarah
dan Rekayasa Pemenang
Agus Dermawan T ; Pengamat Budaya dan Seni
|
KORAN
TEMPO, 30 Agustus 2014
Pada
1987, Basoeki Abdullah mencipta puluhan lukisan bertema wayang orang. Lukisan
berbahan pastel di atas kertas itu disiapkan untuk dijual, demi mencari dana
bagi keberangkatan delegasi kesenian Indonesia ke Festival Babilonia di Irak.
Dalam sejumlah lukisan, ia menggambarkan wajah Rahwana, Rama, sampai Buto
Cakil dengan semaunya sendiri. Artinya, berbeda dengan persepsi publik.
Bahkan, ketika menggambar Srikandi, wajahnya mirip dengan pedangdut Camelia
Malik. Saya menanyakan ihwal ini kepadanya, "Kok?" Basoeki
menjawab, "Di tanganku, wajah Drupadi sah untuk mirip dengan wajah ibumu!"
Dalam
kondisi mati kutu, saya dibawa Basoeki ke depan studionya, yang terletak di
sudut Jalan Sisingamangaraja, Kebayoran Baru, Jakarta. Di situ ia menunjukkan Patung Pemuda di persimpangan,
yang dibikin oleh pematung Moenir Pamoentjak. "Wajah patung itu alangkah
mirip dengan Ibnu," ujar dia. Ibnu Sutowo adalah Direktur Utama
Pertamina, yang mendanai pembuatan patung tersebut.
Dari
peristiwa kecil di atas, saya tiba-tiba percaya adagium klasik bahwa "sejarah
ditulis oleh para pemenang". Dan pemenang cenderung menjadi penguasa.
Sementara itu, penguasa adalah orang yang merasa sah untuk membuat apa saja,
berkaitan dengan eksistensinya. Yang menguntungkan bisa ditonjolkan, yang
melemahkan bisa dibikin kabur atau dihapuskan.
Bahwa
sejarah milik para pemenang, kitab Indonesia telah membuktikan
berulang-ulang. Cerita yang paling melekat adalah film Pengkhianatan G-30-S
PKI yang dibikin Arifin C. Noer pada 1982. Film ini oleh Orde Baru (dengan
bantuan ahli filsafat-sejarah Nugroho Notosusanto) secara tak seimbang
diskenariokan untuk melemahkan posisi Presiden Sukarno. Dan, sebaliknya, film
ini sangat meluhurkan peran Soeharto. Demi menguatkan kemenangan, film ini
dijadikan tontonan wajib televisi setiap 1 Oktober, sampai 1997.
Namun,
dari sekian banyak kisah "sejarah pemenang", yang paling
kontekstual sekarang adalah sosok Muhammad Yamin (1903-1962), yang pada 22
Agustus kemarin berhari jadi (Tempo,18-24
Agustus 2014). Yamin adalah pemikir kemerdekaan legendaris dan
multitalenta. Dari tangan Yaminlah tiba-tiba muncul wajah Gajah Mada, sang
pencetus Sumpah Palapa.
Padahal,
dari sejarah yang membentang sejak Gajah Mada wafat pada 1364, wajah
mahapatih ini tak pernah diketahui. Sampai pada suatu ketika, Yamin menemukan
pecahan celengan zaman Trowulan yang berbentuk kepala manusia. Tanpa argumen
arkeologis, Yamin menyatakan bahwa itu adalah kepala atau wajah Gajah Mada.
Yang
mengejutkan, setelah diusut-usut, raut muka yang terbentuk di keramik
celengan itu mirip dengan wajah Yamin sendiri. Henk Ngantung, yang melukis
wajah Gajah Mada versi Yamin pada 1950, menguatkan cerita ini. "Kata
Bung Karno, ketika Yamin berusia 45, dengan berat yang ditambah 17 kilo,
wajahnya sangat mirip dengan Gajah Mada." Bung Karno memang terkesan
oleh lukisan rekayasa ini, sehingga dimasukkan dalam buku Lukisan-lukisan dan Patung-patung Koleksi
Presiden Soekarno jilid I (1964).
Mungkin
lantaran mirip Gajah Mada, Presiden Sukarno berkenan mengangkat Muhammad
Yamin menjadi Menteri Pendidikan, Pengajaran, dan Kebudayaan pada Juli 1953. Dan
Yamin melegitimasi wajah itu ke dalam buku-buku sekolah. Lagi-lagi, Yamin
menjadi pemenang! ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar