Visi
Maritim Presiden Terpilih
Darmawan ; Laksamana Muda TNI (Purn);
Ketua Bidang II Persatuan Purnawirawan Angkatan
Laut (PPAL)
|
KOMPAS,
18 Agustus 2014
SESAAT setelah ditetapkan sebagai pemenang Pemilu Presiden
2014 oleh Komisi Pemilihan Umum, Joko Widodo-Jusuf Kalla menyampaikan pidato
kemenangan di atas pinisi di Pelabuhan Sunda Kelapa. Kapalnya bernama Hati
Buana Setia. Konon sebagai ungkapan hati (tekad) yang memiliki alasan fundamental
membangun identitas sebagai negara maritim. Selebrasi ini tak sekadar unik,
tetapi juga mencipta harapan sekaligus menimbulkan pertanyaan: seberapa jauh
kemampuan Jokowi-JK dapat membangun negara maritim dalam lima tahun ke depan?
Ciri negara maritim antara lain memiliki kemampuan mengelola
laut sebagai sumber kesejahteraan bangsa dan menjadi poros perdagangan dunia.
Indonesia dapat menjadi poros maritim dunia. Namun, sejauh ini isu negara
maritim selalu digulirkan sebatas jargon dalam setiap kampanye dan seminar,
tanpa ada strategi aktualisasi pada kebijakan-kebijakan strategis. Seterusnya
menguap tiada beritanya ketika menemui momentum implementasi karena tidak
adanya imajinasi maritim dalam perspektif kepemimpinan nasional kita. Maritim
seharusnya tidak hanya dimaknai sebagai spektrum geografis negara kepulauan,
tetapi juga identitas bangsa berbudaya maritim yang dinamis, yang dapat
membangun bangsanya di atas kaki sendiri berdasarkan anugerah sumber daya
yang dimiliki.
Jika tekad Jokowi-JK menjadikan Indonesia poros maritim dunia
dapat diimplementasikan secara nyata, ini berarti terobosan strategis dalam
pembangunan nasional. Juga dapat dimaknai membangkitkan kembali pudarnya
mental budaya maritim dalam masyarakat Indonesia.
Selama ini, belum tergarapnya ekonomi kelautan secara optimal
dan rawannya wilayah laut Indonesia dari berbagai tindak kriminal dan
pelanggaran kedaulatan tak terlepas dari belum dijadikannya pembangunan
kelautan sebagai mainstream dalam pembangunan nasional. Ini sebagai akibat
budaya maritim kita telah tergerus oleh budaya kontinental-agraris. Oleh
karena itu, kepemimpinan nasional yang baru (DPR, DPD, dan presiden, hasil
Pileg dan Pilpres 2014) harus mempunyai dorongan politik kuat untuk mengubah
orientasi pembangunan dari land base oriented menjadi archipelagic base
oriented.
Jokowi-JK semestinya mempunyai kebijakan kelautan yang jelas,
bervisi ke depan, dan berwawasan global. Keunggulan komparatif sebagai negara
kepulauan harus dibangun dan dimanfaatkan sesuai dengan kompetensi dan produk
unggulan di setiap daerah dan kepentingan nasional. Ini adalah tantangan
besar karena implementasi mewujudkannya tidak sekadar berdasarkan tekad
seorang presiden terpilih, tetapi juga harus didukung oleh kemauan politik
DPR/DPD, gubernur, dan bupati. Masalahnya tidak sekadar membangun
pelabuhan-pelabuhan, industri perkapalan, atau meningkatkan kemampuan tangkap
para nelayan secara fisik, tetapi juga menyangkut peraturan dan
perundang-undangan yang selama ini tumpang tindih, ego sektoral, dan
menyangkut mata rantai simpul pertumbuhan ekonomi dari darat, pesisir, hingga
laut lepas.
Tantangan ke depan
Adagium bahwa Indonesia sebagai poros maritim dunia harus
dimaknai sebagai tekad Jokowi-JK menuntaskan jati diri bangsa sebagai
penghuni negara kepulauan untuk keluar dari paradigma kontinental-agraris ke
arah paradigma maritim yang rasional dan berwawasan global demi kesejahteraan
rakyat. Upaya pembangunan berorientasi maritim sebenarnya sudah dimulai sejak
Bung Karno dengan adanya Deklarasi Djoeanda 1957 dan munculnya konsep Wawasan
Nusantara.
Kemudian, pada era Soeharto, Indonesia memperoleh pengakuan
internasional tentang Hukum Laut 1982 (UNCLOS 82). Dilanjutkan pemerintahan
Presiden Abdurrahman Wahid melalui komitmen pembangunan kelautan dengan
dibentuknya Departemen Kelautan dan Perikanan serta dikembangkannya Dewan
Kelautan Indonesia. Semua itu menunjukkan gambaran fundamental pembangunan
berorientasi maritim, tetapi belum memberikan hasil signifikan bagi
kesejahteraan rakyat.
Bahkan, pada era Reformasi saat ini, dalam Rencana Pembangunan
Jangka Panjang Nasional 2005-2025, pemerintah telah membuat kebijakan untuk
mewujudkan Indonesia menjadi negara kepulauan yang mandiri, maju, kuat, dan
berbasis kepentingan nasional. Di antaranya dengan kembali memantapkan budaya
bahari dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional 2009-2014. Salah
satu prestasi implementasinya adalah pemberlakuan asas cabotage yang
berdampak signifikan dalam sistem pelayaran nasional. Namun, dalam persepsi
kewilayahan dan kultur maritim masih tumbuh kerancuan identitas karena yang
terbangun kemudian adalah sebagai bangsa agraris.
Paradigma masyarakat tentang laut cenderung berbeda dengan
realitas sehingga arah kebijakan pembangunan lebih condong seolah kelautan menjadi
sektor pinggiran (peripheral sector).
Kehadiran proyek Jembatan Selat Sunda, misalnya, mencerminkan nalar daratan
masih kuat. Penyebutan Indonesia sebagai negara maritim dalam kebijakan
pembangunan ekonomi nasional menjadi hambar. Sejarawan AB Lapian dalam
risetnya, Orang Laut, Bajak Laut, Raja
Laut (2009), menyatakan bahwa Indonesia disatukan oleh laut, bukan
dipisahkan oleh laut. Laut merupakan jembatan dan jalan raya (tol) yang
menyatukan wilayah-wilayah dan pulau-pulau yang jumlahnya lebih dari 17.800
di negeri ini. Dengan demikian, mental budaya maritim menjadi identitas
manusia Indonesia seutuhnya, yang menyatu dengan laut, bukan direduksi oleh
nalar daratan.
Harus diakui, ide Jokowi-JK menciptakan pemerataan dan
pertumbuhan pembangunan dengan membuat ”tol laut” merupakan ide cerdas
karena, dengan demikian, kesenjangan ekonomi di Indonesia timur dengan
Indonesia barat dapat direduksi. Namun, apakah ide itu akan semudah
implementasinya, ini menjadi tantangan besar. Perlu komitmen politik dan koordinasi
efektif semua pemangku kepentingan. Misalnya, meningkatkan kesejahteraan
nelayan tentu menyangkut keterpaduan antara pendidikan keahlian, teknologi,
finansial, dan industri.
Demikian juga transportasi kapal-kapal besar yang memasok
komoditas perdagangan dari wilayah barat ke timur atau sebaliknya tentu harus
diimbangi sarana prasarana pelabuhan yang memadai serta produktivitas
industri perkapalan yang kondusif. Tarif logistik akan murah jika barang yang
diangkut dari/ke setiap simpul punya hasil komoditas dan produk industri
seimbang. Demikian juga industri perkapalan, pemerintah harus bisa
menciptakan produktivitas dengan memberikan regulasi pajak yang efisien dan
modal dari bank dengan bunga rendah.
Saat ini bunga bank 12 persen, bandingkan dengan Singapura
yang memberikan bunga 4 persen, Malaysia 5 persen, atau Tiongkok yang hanya 1
persen. Negara-negara tersebut bukan negara kepulauan, tetapi kini menjadi
pusat perdagangan kuat karena iklim usaha industri maritim yang kondusif.
Sumbangan sektor maritim sejumlah
negara, seperti Jepang, Korea Selatan, Singapura, dan Tiongkok, mencapai 48
persen bagi PDB nasionalnya.
Badan koordinasi
Sebuah tekad Jokowi-JK, jika disertai kemauan politik yang
kuat, tentu akan memberikan hasil nyata. Cita-cita mewujudkan Indonesia
sebagai poros maritim dunia semestinya didasari pijakan kuat berupa Kebijakan
Maritim (Maritime Policy) sebagai
payung besar yang menaungi semua pemangku kepentingan.
Hal ini sangat dibutuhkan, dibangun berdasarkan pendekatan
kelembagaan yang mempunyai kewenangan tidak hanya aspek kewilayahan, tetapi
juga di bidang politik, ekonomi, keamanan, dan hubungan internasional serta
aspek legal kelembagaan yang lain. Artinya, suatu kebijakan tidak sekadar
hitam-putih sebagai desain tanpa komitmen politik, dalam bentuk undang-undang
misalnya, supaya implementasinya terpadu mencegah ego sektoral. Dengan
demikian, diperlukan Badan Koordinasi Maritim yang dapat menjalankan
program-program multisektor secara efektif atau dengan membentuk Kementerian
Koordinator Maritim.
Perlu tekad kepemimpinan kuat, seperti Gus Dur, misalnya, yang
berani membuat terobosan berdampak sistemik dengan membentuk Kementerian
Kelautan dan Perikanan. Namun, itu belum cukup. Memang tak mudah. Masalahnya,
suatu janji kampanye presiden terpilih tak sekadar manis diucapkan, tetapi
juga dapat membawa dampak pengingkaran terhadap demokrasi. Namun, dengan daya
imperatif kepemimpinan Jokowi-JK, diyakini dapat membawa perubahan signifikan
dalam pembangunan maritim.
Konsep poros maritim dunia harus didukung dengan kerja keras
dan memastikan semua program membumi dan dapat diwujudkan. Kesadaran mental
sebagai negara kepulauan perlu dibangkitkan kembali. Perlu dibuat branding
baru untuk terus mengingatkan masyarakat bahwa Indonesia negara maritim.
Branding baru itu ialah komitmen politik kepemimpinan nasional yang
berorientasi maritim. Semoga presiden terpilih dapat mewujudkannya. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar