Darurat
Infrastruktur Publik
Masdar Hilmy ; Intelektual Publik;
Dosen Program Pascasarjana Universitas Islam
Negeri Sunan Ampel
|
KOMPAS,
18 Agustus 2014
JIKA Anda menjadi bagian dari mata rantai arus mudik pada
Lebaran tempo hari, Anda pasti menjadi saksi betapa tidak layaknya
infrastruktur publik kita. Hal ini tecermin dari banyaknya jalan berlubang
dan bergelombang, minimnya rambu dan penerangan, sempitnya jalan, putusnya
jembatan, dan lain-lain.
Kemacetan yang mengular dan jatuhnya korban kecelakaan jelas
berawal dari buruknya penataan infrastruktur publik kita. Sejumlah ruas jalan
bahkan sangat membahayakan bagi para pengendara. Jika tidak hati-hati,
kematian mengintai siapa pun yang melintasinya.
Saya mengilustrasikan jalan raya sebagai rimba belantara yang
tak bertuan, kejam dan pembunuh berdarah dingin. Keselamatan harus dipikul
oleh setiap individu pengendara, bukan tanggung jawab negara. Di jalan raya
berlaku hukum Darwinisme sosial; yang kuat menggilas yang lemah. Hal ini
dibuktikan dengan banyaknya korban kecelakaan di kalangan pengendara sepeda
motor. Di luar faktor ketertiban dan ketaatan pengendara terhadap rambu-rambu
lalu lintas, faktor kerusakan dan ketidaklayakan infrastruktur publik juga
jelas tidak bisa diremehkan.
Mentalitas rente
Kerusakan dan ketidaklayakan infrastruktur publik berawal dari
terlalu dominannya mentalitas rente pada setiap kebijakan publik. Keuntungan
ekonomis di kalangan penyelenggara negara adalah ”mantra” sakti yang justru
menggerus kualitas infrastruktur publik kita. Akibatnya, standar kelayakan
dan kenyamanan hidup di ruang publik terabaikan.
Analisis terhadap kebijakan pembangunan hanya berhenti pada
margin keuntungan ekonomi belaka, tidak sampai pada analisis dampak
lingkungan, pemeliharaan, dan keberlanjutan dari sebuah kebijakan publik.
Ambruknya Jembatan Kutai Kartanegara (dan ambrolnya Jembatan Comal?) harus
dilihat dari perspektif ini.
Selain itu, terlalu dominannya mentalitas rente dalam
kebijakan publik dapat dilihat dari disharmoni antara modus produksi ekonomi
di satu sisi dan pengadaan serta pemeliharaan infrastruktur publik di sisi
lain. Di satu sisi, pemerintah—daerah maupun pusat—terlalu terobsesi dengan
pertumbuhan ekonomi, tetapi mereka emoh memikirkan ketersediaan dan kesiapan
infrastrukturnya. Akibatnya, para pengguna jalan raya yang mayoritas adalah
masyarakat awam sering kali menjadi ”tumbal” dari ngawur-nya penerapan
kebijakan publik yang tak research-based.
Wujud ketidakseimbangan produksi ekonomi secara kasatmata
dapat dilihat dari pertumbuhan jumlah otomotif yang beredar di ruang publik,
sementara itu tidak ada perkembangan signifikan pada ketersediaan
infrastruktur jalan raya. Perkembangan jumlah otomotif terjadi layaknya deret
ukur, sementara perkembangan jalan raya seperti deret hitung.
Sebagai contoh, sebuah perusahaan otomotif memproduksi 16.000
sepeda motor per hari! Tentu saja jumlah ini sangat mencengangkan. Jumlah ini
hanya berasal dari satu jenis kendaraan dan dari satu perusahaan otomotif.
Bagaimana dengan perusahaan-perusahaan lain? Dalam waktu lima atau sepuluh
tahun mendatang, dapat dipastikan jalan raya kita tidak bisa dilewati oleh
kendaraan bermotor.
Parahnya, kemacetan dianggap sebagai hal biasa atau rutinitas
belaka. Bahkan, yang lebih konyol, kemacetan adalah indikator meningkatnya
taraf hidup masyarakat! Di sisi lain, pemerintah terkesan tidak mau
memikirkan secara serius ketersediaan infrastruktur jalan raya yang bebas
dari kemacetan dan dapat mencegah kematian sia-sia. Di Jakarta saja, setiap
tahun terdapat 24 persen pertambahan kendaraan bermotor, sementara
pertumbuhan jalan hanya 0,01 persen. Belum lagi kerusakan jalan yang selalu
terjadi setiap tahun. Kelayakan jalan di Kabupaten Tangerang, misalnya, hanya
mencakup 40 persen. Sisanya, 60 persen, dalam kondisi memprihatinkan.
Dengan rasio yang sangat tidak berimbang di atas, yang
terbayang di benak kita tentu saja adalah kekacauan, keruwetan, dan kemacetan
di mana-mana. Meski demikian, bangsa ini terlalu kenyal—untuk tidak
mengatakan bebal!—terhadap segala bentuk keruwetan di ruang
publik. Ini pula yang sering kali menjadi anekdot dan bahan
olok-olok oleh sejumlah teman ekspatriat ketika menggambarkan mentalitas
bangsa ini di
ruang publik.
Jangan harap ada perubahan mendasar dalam hal perbaikan
kualitas ruang publik kita jika tak ada revolusi mental secara masif dan
menyeluruh, baik di tingkat elite maupun akar rumput.
Paradigma baru
Dalam konteks pelayanan publik, ketersediaan infrastruktur
publik yang aman, nyaman, dan memadai merupakan hak setiap warga negara yang
wajib disediakan oleh negara. Kekayaan negara yang berasal dari berbagai
sumber, termasuk pajak dan retribusi serta kekayaan alam, menjadi basis
argumentasi bagi negara untuk menunaikan segala kewajibannya (Undang-Undang
Nomor 25 tahun 2009 tentang Pelayanan Publik). Tak ada ruang sejengkal pun
bagi negara untuk menghindar dari tanggung jawab dan kewajibannya dalam hal
penyediaan infrastruktur publik yang aman, nyaman, dan memadai. Inilah
paradigma baru pelayanan publik bagi negara modern.
Jika negara mengelak menyediakan infrastruktur publik yang
aman, nyaman, dan memadai, ia akan menjadi ”musuh bersama” bagi warganya.
Dalam ungkapan Thomas Meyer (The Theory
of Social Democracy, 2007), infrastruktur publik yang justru menimbulkan
ketidaknyamanan, kecelakaan, bahkan kematian sia-sia di kalangan penggunanya
dapat digambarkan sebagai ”kejahatan publik” (public evils). Dalam perspektif ”negara kesejahteraan”, negara
bisa dituntut secara hukum jika infrastruktur publik telah menyebabkan
kerugian, bahkan kematian, di kalangan penggunanya.
Meminjam Habermas (Time
of Transitions, 2006: 102), keberadaan infrastruktur publik mestinya
berperan sebagai focal topics, di mana semua persoalan masyarakat bisa
diidentifikasi, diurai, dan disempurnakan oleh pihak-pihak berwenang.
Ketersediaan infrastruktur publik yang aman, nyaman, dan layak harus menjadi
kebutuhan dasar setiap warga negara yang mencakup tidak saja jalan raya dan
jembatan, tetapi juga berbagai fasilitas ikutannya, seperti rambu-rambu,
penerangan, pematusan (sewage), dan
tempat istirahat. Hal yang sama berlaku untuk infrastruktur publik lainnya,
seperti bandara, dermaga, taman publik, rumah sakit, sekolah, serta sarana
olahraga dan rekreasi.
Selain itu, penataan semua infrastruktur publik tidak boleh
bersifat ad hoc, tambal sulam, terlebih berbasis rente atau keuntungan. Di
bawah kepemimpinan baru, negeri ini harus mampu menceraikan mentalitas rente
dari penataan infrastruktur publik, baik pada level pengadaan maupun
pemeliharaan. Hanya dengan cara demikian, paradigma baru pelayanan publik
dapat tercipta. Pada saat itu pula, kehadiran negara di ruang publik
benar-benar dapat dirasakan manfaatnya bagi perbaikan kualitas hidup setiap warganya.
Memasuki usianya yang ke-69, inilah paradigma baru pelayanan publik yang
layak kita usung bersama sekaligus relevan dengan kebutuhan Indonesia ke
depan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar