Senin, 18 Agustus 2014

Kualitas Demokrasi Kita

Kualitas Demokrasi Kita

Luthfi Assyaukanie  ;  Pengajar di Graduate School of Diplomacy,
Universitas Paramadina, Jakarta
KOMPAS, 18 Agustus 2014
                                                


PERNYATAAN calon presiden Prabowo Subianto di Mahkamah Konstitusi bahwa pemilu Indonesia lebih buruk daripada Korea Utara memicu banyak reaksi dari masyarakat. Tidak sedikit yang menyesali pernyataan provokatif itu karena semua orang terdidik pasti tahu, Korea Utara adalah negara otoriter yang kualitas demokrasinya sangat rendah. Menurut Freedom House, Korea Utara adalah salah satu negeri paling buruk dalam hal kebebasan dan perlindungan terhadap hak-hak sipil.

Kesimpulan yang sama ditemukan Economist Intelligence Unit (EIU), lembaga yang memberikan peringkat demokrasi secara rutin. Menurut EIU, Korea Utara berada di peringkat bawah bersama negara-negara ”gagal”, seperti Suriah, Somalia, dan Sudan. Indonesia berada di peringkat tengah bersama India, Brasil, Argentina, dan Yunani.

Secara global, Indonesia adalah negara demokrasi ketiga terbesar di dunia dan negara paling demokratis di Asia Tenggara. Oleh karena itu, sebaiknya kita tidak menganggap serius pernyataan Prabowo di depan para hakim Mahkamah Konstitusi (MK) tersebut. Pernyataan itu lebih merupakan lontaran marah dan kecewanya karena kalah dalam pilpres pada 9 Juli silam.

Masalahnya baru serius jika pernyataan Prabowo itu diyakini sebagian besar rakyat Indonesia atau paling tidak oleh para pemilih Prabowo yang berdasarkan pilpres lalu jumlahnya hampir separuh penduduk negeri ini.

Pandangan masyarakat

Oleh karena itu, penting menanyakan, apakah rakyat Indonesia setuju dengan pernyataan Prabowo bahwa kualitas demokrasi kita rendah? Apakah para pengikut Prabowo juga meyakini bahwa negeri kita lebih buruk daripada Korea Utara dalam hal penyelenggaraan demokrasi? Bagaimana sesungguhnya komitmen dan sikap rakyat Indonesia terhadap demokrasi?

Hasil survei terbaru Saiful Mujani Research and Consulting (SMRC) menjawab semua pertanyaan di atas. Survei yang dila- kukan setelah pilpres (21-26 Juli) itu mendapat beberapa temuan menarik. Pertama, sebagian besar rakyat Indonesia (57,3 persen) yakin bahwa demokrasi adalah sistem politik terbaik yang ki- ta miliki. Hanya 15,2 persen yang meyakini bahwa sistem demokrasi dan otoritarianisme tak ada bedanya. Sebanyak 5,5 persen yakin bahwa sistem pemerintahan otoriter bisa diterima pada situasi tertentu. Sisanya (22 persen) tidak menjawab.

Temuan ini menarik dicatat. Setelah 16 tahun Reformasi berjalan dengan segala persoalannya, keyakinan rakyat akan demokrasi masih kuat. Dari beberapa survei serupa yang dilakukan SMRC sebelumnya, ada kecenderungan bahwa keyakinan masyarakat akan demokrasi cenderung stabil. Pada survei Juni dan Desember 2012, misalnya, yang menjawab demokrasi sebagai sistem terbaik adalah 56 persen dan 55 persen. Angka tertinggi diperoleh menjelang pemilu, April 2014: 58 persen.

Yang menarik dari temuan survei itu adalah pemilih Prabowo memiliki keyakinan yang sama dengan sebagian besar rakyat Indonesia bahwa demokrasi, seberapa pun tak sempurnanya, tetap merupakan sistem terbaik. Jumlah pemilih Prabowo yang meyakini demokrasi bahkan lebih besar persentasenya (59 persen) ketimbang pemilih Jokowi (57 persen). Hanya ada 7 persen pemilih Prabowo dan 5 persen pemilih Jokowi yang bisa menerima sistem otoriter dalam situasi tertentu.

Jika kita urai berdasarkan partai politik, partai manakah yang paling besar dukungannya terhadap demokrasi? Jawabannya PKPI (100 persen), disusul Hanura (68 persen), PAN (64 persen), Gerindra (61 persen), PDI-P dan PKB (masing-masing 58 persen), Golkar (56 persen), Demokrat (54 persen), dan Nasdem (52 persen). Partai apakah yang paling rendah imannya terhadap demokrasi? Jawabannya PBB (15 persen), kemudian PPP (34 persen), dan PKS (44 persen).

Pertanyaan tentang demokrasi berdasarkan partai politik itu menarik kita cermati. Dari 12 partai nasional yang mengikuti pemilu, yang paling rendah komitmennya terhadap demokrasi adalah para pemilih partai Islam (PBB, PPP, dan PKS). Temuan ini mengingatkan kita pada tesis lama tentang ketidakcocokan Islam dan demokrasi. Para pengusung tesis ini berargumen bahwa semakin tinggi komitmen seorang Muslim pada ajaran agamanya, semakin tidak percaya dia dengan demokrasi.

Untungnya, jumlah pemilih partai Islam tidak besar di negeri ini. Pada pemilu legislatif lalu, suara semua partai Islam (PBB, PPP, dan PKS) jika digabungkan hanya 14,78 persen. Perolehan ini jauh lebih rendah daripada rata-rata perolehan partai Islam di negara Muslim yang mengalami transisi demokrasi. Di Mesir, misalnya, partai-partai Islam memperoleh lebih dari 60 persen suara pada pemilu pertama yang diselenggarakan setelah transisi politik di negeri itu.

Cukup puas

Temuan survei SMRC bahwa sebagian besar masyarakat kita merasa cocok dengan demokrasi patut disyukuri. Di tengah pesimisme tentang dukungan terhadap demokrasi di banyak negara berkembang, Indonesia membuktikan sebaliknya. Sebanyak 74,5 persen responden menjawab bahwa mereka ingin demokrasi tetap terawat di negeri ini. Ketika mereka ditanya, apakah demokrasi cocok untuk Indonesia, 75,7 persen menjawab cocok. Hanya 5,7 persen yang menjawab tidak cocok. Sisanya (18,6 persen) tidak mengerti dengan pertanyaan tersebut.

Pandangan masyarakat bahwa demokrasi cocok untuk Indonesia adalah sesuatu yang penting dan menjadi modal dasar bagi kita untuk terus merawat demokrasi di negeri ini. Salah satu kendala utama sulitnya demokrasi berkembang di negara-negara berpenduduk mayoritas Muslim adalah karena keterbelahan masyarakatnya dalam hal komitmen terhadap demokrasi. Umumnya mereka ragu ketika harus memilih antara demokrasi dan sistem pemerintahan Islam. Dalam menghadapi dilema ini, biasanya mereka mengedepankan sentimen agama sambil mengorbankan demokrasi. Berbeda dari banyak negara Muslim, rakyat Indonesia lebih memilih demokrasi dan menganggap tak ada pertentangan berarti antara Islam dan demokrasi.

Yang paling menggembirakan dari temuan survei itu adalah masyarakat Indonesia bukan hanya merasa cocok dengan demokrasi, melainkan mereka juga mengaku puas dengan pelaksanaan dan praktik demokrasi di negeri ini. Sebesar 65,1 persen mengaku cukup puas dengan pelaksanaan demokrasi. Hanya 1,5 persen yang tidak puas sama sekali, 19,9 persen mengaku kurang puas, dan 4,3 persen sangat puas. Sisanya tak menjawab.

Pengakuan ini sangat penting mengingat protes yang diajukan tim Prabowo ke MK tentang kecurangan dan buruknya pelaksanaan pilpres lalu. Pemilu (baik pileg maupun pilpres) adalah instrumen demokrasi dan salah satu tolok ukur penting kualitas demokrasi. Dengan segala kekurangannya, masyarakat merasa bahwa kualitas demokrasi kita sudah cukup baik. Secara umum, mereka puas dengan penyelenggaraan demokrasi di negeri ini.

Jadi, sebaiknya kita memang tak usah terlalu menganggap serius protes-protes yang dilakukan kubu Prabowo. Survei membuktikan bahwa rakyat semakin dewasa dan semakin percaya kepada demokrasi yang mereka jalani.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar