Utopia
Negara Kemerdekaan nan Pluralis
Thomas Koten ; Direktur
Social Developoment Center
|
SINAR
HARAPAN, 14 Agustus 2014
Benedict
Anderson dalam buku monumentalnya, Imagined
Communication: Reflection on the Origin and Spread of Nationalism (1983),
menulis tentang kesamaan ciri suatu bangsa, yakni memiliki kejayaan yang sama
pada masa lalu dan memiliki keinginan yang sama saat ini, serta bercita-cita
yang sama akan kehidupan yang lebih baik di masa yang akan datang.
Pemikiran
itu terinspirasi oleh pemikiran Ernest Renan (1823-1892) yang mengatakan,
suatu bangsa adalah keinginan untuk hidup bersama dan kesepakatan untuk
berkorban.
Pemikiran
Renan itu juga menginspirasikan lahirnya pemikiran Otto Bauer (1881-1938),
politikus Austria yang mengatakan, suatu bangsa adalah suatu masyarakat yang
berkarakter sama, yang tumbuh dari suatu masyarakat yang bernasib sama.
Pemikiran-pemikiran
Renan dan Otto Bauer itulah yang menginspirasi pemikiran Bung Karno. Itu
terlihat dari banyak pemikiran Bung Karno yang selalu mengutip dan menyitir
pemikiran-pemikiran kedua akademikus itu, terutama pemikiran Renan.
Masalahnya,
saat kita merayakan Kemerdekaan Indonesia ke-69 tahun ini, apakah kita
sebagai bangsa—dalam keanekaragaman—ini tetap memiliki keinginan hidup
bersama—dan masih juga memiliki cita-cita yang sama, sekuat kita merebut
kemerdekaan pada 1945?
Jembatan Emas
Kemerdekaan
Masalah
di atas menjadi menarik untuk dikerling, ketika realitas politik dan sosial
Indonesia saat ini yang masih mengganjal kehidupan bersama, seperti masih ada
kelompok umat beragama yang kesulitan membangun rumah ibadah dan aktivitas
keagamaannya pun kerap diganggu kelompok sosial atau kelompok agama lainnya.
Di
samping itu, terlihat juga jurang kesenjangan antara kaum kaya dan kaum
miskin yang kian lebar, penguasaan sumber daya alam oleh pihak asing, serta
wabah korupsi yang terus merajalela di kalangan elite negeri.
Itu
tentu mengindikasikan semakin mengentalnya egoisme dan goyahnya semangat
kebersamaan atau rapuhnya kebhinekaan, serta masih salah urus negara oleh
para pemimpin.
Padahal,
Bung Karno sejak jauh hari telah menyadari tantangan tersebut, menyadari
karakter suku-suku dan kelompok di Indonesia yang begitu beraneka ragam
dengan membangun visi tentang perlunya pembangunan karakter bangsa yang
bernafaskan Pancasila. Perlu digarisbawahi, Pancasila hanya bisa bertahan
jika bangsa ini sanggup mempertahankan kebhinekaan dan melestarikan
pluralisme.
Sayang,
semangat kebhinekaan itu diindoktrinasi begitu rupa pada zaman Orde Baru,
sehingga “persatuan dan kesatuan” dibuat kelewat dominan, seperti dipaksakan,
yang berwujud pada tata pemerintahan yang sentralistik dan otoriter.
Kebhinekaan
tidak dibuat untuk diterima dan dipelihara secara sadar dengan penuh
kebanggaan oleh seluruh bangsa. Kebhinekaan dan keanekaragaman yang menjadi
kekayaan bangsa, dirasakan sebagai momok yang mengebiri ekspresi
keanekaragaman tersebut.
Tidak
heran, ketika roda Reformasi digulirkan dan demokratisasi digelar, kerusuhan
dan amokrasi membuncah. Solidaritas kehidupan antarwarga bangsa pun
berantakan pada awal Reformasi.
Untunglah
ketika negara gagal memberi ruang terbangunnya solidaritas struktural dan
fungsional, masyarakat dengan semangat kebersamaannya masih mampu membangun
solidaritas horizontal. Itulah yang menjadi modal perekat bagi langgengnya
kehidupan negara bangsa yang bernafaskan kebhinekaan.
Dalam
artikel pendeknya, What is a Nation? (1882), Renan mengatakan kebangsaan
harus dipahami sebagai suatu bentuk solidaritas moral yang dipupuk dan
dipertahankan melalui kesadaran sejarah yang khas. Tanpa kehendak dari
warganya untuk melanjutkan kehidupan bersama, suatu bangsa akan mengalami
disintegrasi dan tenggelan ditelan sejarah.
Pemikiran
Renan tersebut seperti disitir A Malik Gismar, kehendak sadar hari ini
merupakan titik temu dari evaluasi pengalaman kehidupan berbangsa di masa
lalu, dengan antisipasi atau proyeksi kehidupan berbangsa di masa depan. Masa
lalu dan masa depan ini bertemu dalam prestasi-prestasi atau situasi
kebangsaan hari ini.
Itulah
yang kemudian dikatakan Bung Karno, kemerdekaan adalah jembatan emas, di
seberangnya akan diwujudkan masyarakat adil dan makmur.
Di
depan pengadilan penjajah terhadap dirinya pada 1930, Bung Karno mengatakan,
perjuangan partainya adalah untuk membangkitkan dan menghidupkan keinsyafan
rakyat bahwa ia punya masa silam yang indah, masa kini yang gelap gulita, dan
janji-janji suatu masa depan yang melambai-lambai berseri-seri. Indonesia
yang kini merayakan kemerdekaan ke-69 tahun, yang telah melewati masa lampau
yang penuh perjuangan dan penderitaan itu, tepatnya menjadikan cita-cita
bersama masa depan sebagai acuan kebersatuan untuk maju.
Octavio
Paz, intelektual Meksiko dan pemenang hadiah Nobel, ikut menggunakan istilah
ini untuk menggambarkan suatu bangsa yang perekat persatuannya adalah masa
depan, bukan sejarah bersama masa lampau. Kebangsaan dijangkar pada
janji-janji masa depan yang bisa jadi sangat ilusif, namun sangat kuat dalam
membangkitkan imajinasi kolektif.
Apakah
situasi bangsa yang masih diliputi aneka persoalan, termasuk konflik yang
mencederai kebhinekaan itu masih menjadi energi untuk membangun masa depan
yang lebih baik, sesuai cita-cita kemerdekaan?
Catatan
Di
tengah berjubelnya pesoalan ekonomi, politik, dan sosial budaya di negeri ini
serta dibelenggu kapitalisme neoliberalisme itu, kini di bawah kepemimpinan
baru Indonesia pasca-Pilpres 2014, diharapkan kesanggupannya memperbaiki
nasib bangsa, terutama dalam semangat kebhinekaan, dengan menampilkan diri
sebagai pemimpin pluralis. Ini karena kebesaran bangsa bukan terutama
terletak pada kekayaan alam dan luasnya wilayah, melainkan pada kemajemukan
suku, agama, ras, dan budaya.
Sebuah
harapan akan masa depan yang lebih baik dalam kebersamaan di atas landasan
pluralisme, alias kebhinekaan yang telah menjadi ciri dan roh atau spirit
kebangsaan. Ini karena pluralisme alias kebhinekaan merupakan warisan
permanen sebagai pemberian alam (natural
endowment), atau anugerah Ilahi yang hanya diterima dengan penuh rasa
syukur.
Kewajiban
pemimpin baru adalah berjuang merajut kebersamaan itu dalam tugas-tugas
kemerdekaan dan kebangsaannya; bahwa Negara Kesatuan RI (NKRI) adalah
penjelmaan dari rajutan-rajutan nilai-nilai plural dalam kesatuan wawasan
politik kebangsaan. Para politikus juga harus menyadari, secara kultural
bangunan yang mendasari NKRI adalah penghormatan dan komitmen terhadap
pluralitas kultur dalam manajemen politik kebangsaan.
Dalam
konteks ini, persyaratan wawasan pluralitas bagi kepemimpinan nasional
tidaklah sekadar diharapkan, tetapi mutlak karena NKRI adalah proses
mencairnya pluralitas untuk membentuk sintetik-sintetik baru, dalam
nilai-nilai dan semangat kebersamaan itu. Jelas bahwa pemimpin bangsa selama
ini belum maksimal memimpin bangsa, dengan benar-benar berbasiskan kebangsaan
dan keragaman yang kental.
Karena
itu, ke depan, bagi pemimpin baru bukan saja sekadar diharapkan dapat
mengantarkan rakyat ke tingkat hidup yang lebih sejahtera, melainkan menuju
kepada kesejahteraan yang membahagiakan lahir-batin. Kesejahteraan
lahir-batin hanya dapat dirasakan dalam semangat kebersamaan yang selalu
menjunjung tinggi pluralisme dan kebhinekaan. Itulah yang merupakan utopia sebuah
negara kemerdekaan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar