Ijtihad
Guru untuk K13
Dian Marta Wijayanti ;
Guru SDN Sampangan 01
Semarang,
Assessor
Early Grade Reading Assessment USAID Jawa Tengah
|
SUARA
MERDEKA, 14 Agustus 2014
Menanti.
Inilah kata yang tepat untuk menggambarkan problematika pembelajaran
mengingat hingga saat ini buku Kurikulum 2013 (kalangan pendidikan kerap
menyebut K13) belum tersalurkan ke semua sekolah. Semua elemen pendidikan,
terutama guru, galau menghadapi hal itu. Namun bukan berarti mereka pasrah.
Justru mereka perlu berijtihad supaya kegiatan belajar mengajar tetap
berjalan.
Permasalahan
K13 bukan sekadar guru saja, namun yang paling utama adalah ketidaksiapan
pemerintah. Menurut Sekjen Federasi Serikat Guru (FSGI) Retno Listyarti
permasalahan itu mencakup ketidaksiapan penyelenggaraan K13 secara
keseluruhan. Namun yang membuat guru galau adalah keterlambatan buku yang
mengacaukan proses pembelajaran.
Di
Kota Semarang, meskipun UPTD sudah lama mendata pesanan dari masing-masing
sekolah, pendistribusian buku itu belum sampai ke semua sekolah, terutama SD.
Padahal, menurut kalender pendidikan, seharusnya kurikulum baru tersebut
mulai berlaku pada pertengahan Juli 2014. Kenyataannya ada kendala
pendistribusian.
Ibarat
orang ingin melakukan sesuatu, tentu yang dipersiapkan terlebih dahulu adalah
alat dan bahannya. Begitu pula dengan guru yang memerlukan perangkat buku K13
untuk menunjang keberhasilan pembelajaran. Namun apa yang terjadi jika buku
yang seharusnya sudah siap, tapi kabar kehadirannya pun masih simpang-siur
dan tak jelas? Tentu hal ini membuat guru gundah. Ketika mengikuti
sosialisasi kurikulum baru di kantor Dinas Pendidikan, guru memang telah
diberi bekal soft file buku guru dan buku siswa oleh fasilitator. Hal ini
dapat dijadikan alat belajar bagi guru sebelum melaksanakan pembelajaran.
Tapi kenyataan di lapangan tidak sesederhana itu. Bagi guru yang melek IT,
laptop dapat dijadikan teman selama pembelajaran.
Kenyataannya,
ada beberapa kendala seperti keterbatasan kemampuan mengoperasikan komputer
dan kepemilikan laptop. Selain itu, siswa juga tidak mungkin diberi file dan
satu per satu diminta membuka laptop, kemudian materi itu dijadikan wahana
belajar. Masalah lain adalah siswa tidak memiliki satu pegangan ”buku siswa”.
Padahal kurikulum baru tersebut lebih menekankan pemahaman siswa terhadap
materi melalui buku teks, yang hingga kini masih banyak yang belum sampai di
tangan satuan pendidikan.
Buku
K13 memang bukan satu-satunya sumber belajar namun tetap saja sangat penting
bagi guru untuk mempermudah pembelajaran supaya ”tidak tersesat”. Maka dari
itu, guru harus berijtihad menggali formula dan kreativitas agar pembelajaran
tetap berjalan.
Ijtihad Guru
Keterlambatan
buku paket untuk siswa dan guru menyebabkan guru kurang memiliki waktu untuk
menyusun rencana pelaksanaan pembelajaran (RPP) sebelum menyelenggarakan
proses pembelajaran. Namun, guru adalah ìdalangî dalam pendidikan sehingga
siap tak siap harus siap. Mereka harus berinovasi dan kreatif menjalankan
tugas.
Pertama;
guru yang melek IT dapat mencetak soft file buku guru dan buku siswa K13. Hal
ini dijadikan alternatif sampai buku pesanan tiba di sekolah. Namun
alternatif ini juga menanggung risiko jika dianggap ”plagiasi” atau memperbanyak
buku tanpa izin dari penerbit. Guru akan serbasalah jika penggandaan buku ini
dianggap menyalahi prosedur penggunaan buku teks.
Kedua;
guru dapat menyampaikan materi pada buku teks melalui media yang relevan.
Walaupun siswa belum memiliki buku personal, guru bisa berijtihad lewat media
apa saja yang relevan dengan materi pembelajaran. Ketiga; karena sistem
pembelajaran berbasis tema, khususnya di SD maka guru bisa mencari buku-buku
yang relevan pada materi sebagai bahan ajar. Ini menjadi penting karena
ketiadaan buku pokok, yaitu buku kurikulum terkini dari pemerintah. Keempat;
guru harus memacu intelektualitas dan mendalami kurikulum baru secara detail.
●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar