Kamis, 07 Agustus 2014

Urgensi Kolom Agama pada KTP

Urgensi Kolom Agama pada KTP

Moh Rosyid  ;   Dosen STAIN Kudus,
Pegiat Komunitas Lintas Agama dan Keyakinan Pantura Timur
SUARA MERDEKA, 04 Agustus 2014
                                                
                                                                                                                                   

"Amanat UU Nomor 1/PNPS Tahun 1965 memberi ajang luas bagi warga dalam memilih ragam agama"

DALAM diskusi mengenai visi dan misi capres 2014 bertajuk ”Masa Depan Kebebasan Beragama dan Kelompok Minoritas di Indonesia” di Jakarta pada 18 Juni 2014, Ketua DPP PPP Bidang Organisasi dan Pemantapan Ideologi, Irgan Chairul Mahfiz mengatakan, bila Prabowo-Hatta terpilih menjadi presiden-wakil presiden, mereka mempertahankan kolom agama dalam KTP.

Pertimbangannya, kebijakan itu bermakna positif sebagai identitas keyakinan bagi pemegang, menciptakan kenyamanan bagi yang ingin menunjukkan identitas keagamaannya, dan membangun suasana saling menghargai antarpemeluk agama. Penghapusan kolom agama justru bisa melukai perasaan umat beragama.

Adapun tim sukses Jokowi-JK, Musdah Mulia menegaskan bahwa bila terpilih Jokowi akan menghapus kolom agama pada KTP. Dikatakan Jokowi menyatakan persetujuannya sepanjang hal itu demi kesejahteraan rakyat (SM, 21/6/14). Kendati waktu itu capres itu kemudian membantah pernyataan tim suksesnya itu, masalah tersebut menjadi perbincangan hangat di jejaring media sosial.

Saya tak akan mengaitkan dengan visi misi capres namun an sich menganalisis urgensinya. Kendati KPU sudah mengumumkan hasil pilpres, diskursus tentang kolom agama bisa bergulir sampai kapan pun, siapa pun presidennya. Pertama; kolom agama kadang membawa petaka bagi pemilik bila ia berada di tengah konflik bernuansa SARA (terutama agama). Bahkan KTP yang menerakan agama mengakibatkan ia jadi sasaran tembak.

Kedua; ada kerancuan dari sono-nya. Mengacu Pasal 61 (2) UU Nomor 23 Tahun 2006 tentang Adminduk, berkait kolom agama bagi penduduk yang agamanya diakui sesuai ketentuan perundangan, atau bagi penghayat kepercayaan (biasanya kolom tak diisi apa-apa alias kosong), dalam praktik mereka tetap dilayani dan dicatat dalam database kependudukan.

Hal ini dialami oleh pemeluk agama lokal, seperti agama Adam bagi warga Samin (Sedulur Sikep), agama Kaharingan bagi warga Dayak, agama Sunda Wiwitan di tlatah Sunda, dan agama Parmalim bagi warga Sumatera Utara. Argumennya, Pasal 83 (1) menyebutkan database itu dibutuhkan untuk kepentingan perumusan kebijakan dalam bidang pemerintahan dan pembangunan.

Perbedaan atau pengakuan agama dan aliran kepercayaan oleh negara pada dasarnya wilayah akademik, bukan urusan birokrasi. Bahwa kemudian ditarik ke arah politik karena pemerintah takut jumlah agama menjamur dan pemerintah tak mampu melayani pemeluknya. Hal ini terbukti, tak semua umat 6 agama terlayani baik, misal soal penyediaan guru agama sebagaimana diamanatkan UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sisdiknas.

Pasal 12 (1) Huruf a UU itu mengamanatkan peserta didik berhak mendapat pendidikan agama sesuai dengan agama yang dianutnya dan dididik oleh guru yang seagama. Kita bisa melihat ketika terjadi pelanggaran atas regulasi itu, terbukti pemerintah juga tak berdaya. Undang-Undang Nomor 1/PNPS Tahun 1965 menyatakan agama yang dipeluk warga negara Indonesia adalah Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Buddha, dan Khonghucu. Tapi itu tidak berarti agama lain seperti Yahudi, Zoroastrian, Shinto, dan Tao dilarang. Penjelasan Pasal 1 UU itu secara tegas menyebutkan agama apa pun (bukan hanya agama tertentu yang 6 itu) di Indonesia boleh hidup, asalkan tidak melanggar perundangan.

Dengan demikian, amanat UU Nomor 1/PNPS Tahun 1965 memberi ajang luas bagi warga negara dalam memilih ragam agama. Adakah agama yang dipeluk warga negara (selain agama yang disebut secara eksplisit) bertentangan dengan perundangan? Untuk menjawabnya kita perlu melihat Pasal 29 UUD 1945 yang menyebutkan tiap orang bebas memeluk agama, dan beribadat menurut agamanya (Ayat 1) dan berhak atas kebebasan meyakini kepercayaan, menyatakan pikiran, dan sikap sesuai hati nuraninya (Ayat 2).

Revisi Teks

Kata ‘’menyatakan sikap’’itu kemudian diwujudkan dengan penulisan agama (selain 6 agama) di kolom KTP. Arah pokok pengisian kolom itu untuk memenuhi hak asasi tiap orang dalam bidang adminduk dan meningkatkan kesadaran penduduk dalam pelaksanaannya. Bila kita cenderung mengikuti dogma itu, berarti siapa pun presiden kita, wajib merevisi teks Pasal 61 (2) menjadi ‘’setiap agama warga negara yang tidak bertentangan dengan perundangan harus ditulis dalam kolom agama KTP pemiliknya’’.

Makna lain, negara tak boleh memaksa rakyat memilih satu di antara 6 agama yang tertera dalam perundangan, artinya boleh memeluk ‘’agama lainnya’’. Jadi, pengosongan kolom agama dalam KTP bagi pemeluk, selain 6 agama, pada dasarnya justru bertentangan dengan Pasal 29 UUD 1945.

Upaya merevisi Pasal 61 (2) itu pun dilindungi oleh UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM, terutama Pasal 4 yang menyebutkan hak warga negara berupa hak hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kebebasan pribadi, pikiran dan hati nurani, dan hak beragama.

Dewan HAM PBB pada 10 Juni 2008 meminta penjelasan dari perwakilan Indonesia dalam sidang pleno ke-8 di Palais de Nations, Jenewa, Swiss. Permintaan klarifikasi itu karena kebebasan beragama merupakan salah satu hak universal inalienable (tidak bisa dilenyapkan), inviolable (tak dapat diganggu gugat), dan non-derogable human rights (hak-hak asasi yang tak boleh dilanggar). Jadi, jangan membiasakan melanggar perundangan andai tak ingin dijuluki pelanggar hak asasi manusia.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar