Urgensi
Kolom Agama pada KTP
Moh Rosyid ; Dosen STAIN Kudus,
Pegiat Komunitas Lintas Agama dan Keyakinan Pantura Timur
|
SUARA
MERDEKA, 04 Agustus 2014
"Amanat UU Nomor
1/PNPS Tahun 1965 memberi ajang luas bagi warga dalam memilih ragam
agama"
DALAM diskusi mengenai visi dan misi capres 2014 bertajuk ”Masa Depan Kebebasan Beragama dan
Kelompok Minoritas di Indonesia” di Jakarta pada 18 Juni 2014, Ketua DPP
PPP Bidang Organisasi dan Pemantapan Ideologi, Irgan Chairul Mahfiz
mengatakan, bila Prabowo-Hatta terpilih menjadi presiden-wakil presiden,
mereka mempertahankan kolom agama dalam KTP.
Pertimbangannya, kebijakan itu bermakna positif sebagai
identitas keyakinan bagi pemegang, menciptakan kenyamanan bagi yang ingin
menunjukkan identitas keagamaannya, dan membangun suasana saling menghargai
antarpemeluk agama. Penghapusan kolom agama justru bisa melukai perasaan umat
beragama.
Adapun tim sukses Jokowi-JK, Musdah Mulia menegaskan bahwa bila
terpilih Jokowi akan menghapus kolom agama pada KTP. Dikatakan Jokowi
menyatakan persetujuannya sepanjang hal itu demi kesejahteraan rakyat (SM,
21/6/14). Kendati waktu itu capres itu kemudian membantah pernyataan tim
suksesnya itu, masalah tersebut menjadi perbincangan hangat di jejaring media
sosial.
Saya tak akan mengaitkan dengan visi misi capres namun an sich menganalisis urgensinya.
Kendati KPU sudah mengumumkan hasil pilpres, diskursus tentang kolom agama
bisa bergulir sampai kapan pun, siapa pun presidennya. Pertama; kolom agama
kadang membawa petaka bagi pemilik bila ia berada di tengah konflik bernuansa
SARA (terutama agama). Bahkan KTP yang menerakan agama mengakibatkan ia jadi
sasaran tembak.
Kedua; ada kerancuan dari sono-nya.
Mengacu Pasal 61 (2) UU Nomor 23 Tahun 2006 tentang Adminduk, berkait kolom
agama bagi penduduk yang agamanya diakui sesuai ketentuan perundangan, atau
bagi penghayat kepercayaan (biasanya kolom tak diisi apa-apa alias kosong),
dalam praktik mereka tetap dilayani dan dicatat dalam database kependudukan.
Hal ini dialami oleh pemeluk agama lokal, seperti agama Adam
bagi warga Samin (Sedulur Sikep),
agama Kaharingan bagi warga Dayak,
agama Sunda Wiwitan di tlatah
Sunda, dan agama Parmalim bagi
warga Sumatera Utara. Argumennya, Pasal 83 (1) menyebutkan database itu
dibutuhkan untuk kepentingan perumusan kebijakan dalam bidang pemerintahan
dan pembangunan.
Perbedaan atau pengakuan agama dan aliran kepercayaan oleh
negara pada dasarnya wilayah akademik, bukan urusan birokrasi. Bahwa kemudian
ditarik ke arah politik karena pemerintah takut jumlah agama menjamur dan
pemerintah tak mampu melayani pemeluknya. Hal ini terbukti, tak semua umat 6
agama terlayani baik, misal soal penyediaan guru agama sebagaimana
diamanatkan UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sisdiknas.
Pasal 12 (1) Huruf a UU itu mengamanatkan peserta didik berhak
mendapat pendidikan agama sesuai dengan agama yang dianutnya dan dididik oleh
guru yang seagama. Kita bisa melihat ketika terjadi pelanggaran atas regulasi
itu, terbukti pemerintah juga tak berdaya. Undang-Undang Nomor 1/PNPS Tahun
1965 menyatakan agama yang dipeluk warga negara Indonesia adalah Islam,
Kristen, Katolik, Hindu, Buddha, dan Khonghucu. Tapi itu tidak berarti agama
lain seperti Yahudi, Zoroastrian, Shinto, dan Tao dilarang. Penjelasan Pasal
1 UU itu secara tegas menyebutkan agama apa pun (bukan hanya agama tertentu
yang 6 itu) di Indonesia boleh hidup, asalkan tidak melanggar perundangan.
Dengan demikian, amanat UU Nomor 1/PNPS Tahun 1965 memberi ajang
luas bagi warga negara dalam memilih ragam agama. Adakah agama yang dipeluk
warga negara (selain agama yang disebut secara eksplisit) bertentangan dengan
perundangan? Untuk menjawabnya kita perlu melihat Pasal 29 UUD 1945 yang
menyebutkan tiap orang bebas memeluk agama, dan beribadat menurut agamanya
(Ayat 1) dan berhak atas kebebasan meyakini kepercayaan, menyatakan pikiran,
dan sikap sesuai hati nuraninya (Ayat 2).
Revisi Teks
Kata ‘’menyatakan sikap’’itu kemudian diwujudkan dengan
penulisan agama (selain 6 agama) di kolom KTP. Arah pokok pengisian kolom itu
untuk memenuhi hak asasi tiap orang dalam bidang adminduk dan meningkatkan
kesadaran penduduk dalam pelaksanaannya. Bila kita cenderung mengikuti dogma
itu, berarti siapa pun presiden kita, wajib merevisi teks Pasal 61 (2)
menjadi ‘’setiap agama warga negara
yang tidak bertentangan dengan perundangan harus ditulis dalam kolom agama
KTP pemiliknya’’.
Makna lain, negara tak boleh memaksa rakyat memilih satu di
antara 6 agama yang tertera dalam perundangan, artinya boleh memeluk ‘’agama
lainnya’’. Jadi, pengosongan kolom agama dalam KTP bagi pemeluk, selain 6
agama, pada dasarnya justru bertentangan dengan Pasal 29 UUD 1945.
Upaya merevisi Pasal 61 (2) itu pun dilindungi oleh UU Nomor 39
Tahun 1999 tentang HAM, terutama Pasal 4 yang menyebutkan hak warga negara
berupa hak hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kebebasan pribadi, pikiran dan
hati nurani, dan hak beragama.
Dewan HAM PBB pada 10 Juni 2008 meminta penjelasan dari
perwakilan Indonesia dalam sidang pleno ke-8 di Palais de Nations, Jenewa,
Swiss. Permintaan klarifikasi itu karena kebebasan beragama merupakan salah
satu hak universal inalienable
(tidak bisa dilenyapkan), inviolable
(tak dapat diganggu gugat), dan non-derogable
human rights (hak-hak asasi yang tak boleh dilanggar). Jadi, jangan
membiasakan melanggar perundangan andai tak ingin dijuluki pelanggar hak
asasi manusia. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar