Urbanisasi
dan Peningkatan Daya Beli
Said Zainal Abidin ;
Guru Besar STIA LAN dan
Mantan Penasehat KPK
|
KORAN
TEMPO, 14 Agustus 2014
Sebuah acara yang selalu ditunaikan secara tetap oleh warga Ibu
Kota dan kota-kota besar lainnya di Indonesia adalah mudik.
Tentu saja mudik merupakan pertanda meningkatnya pendapatan dan
kesejahteraan penduduk perkotaan. Bukan cuma itu, mudik juga petunjuk adanya
keterbukaan wilayah seiring dengan bertambah banyaknya jumlah penduduk kota
pada era modern. Dan salah satu ciri negara modern: jumlah penduduk kota yang
lebih besar daripada jumlah penduduk desa.
Arthur Lewis melihat arus urbanisasi ini sejalan dengan
pertumbuhan pembangunan di kota-kota, seraya menyediakan kesempatan kerja
dengan upah relatif lebih tinggi dibanding pendapatan rata-rata penduduk di
desa. Namun mengalirnya orang desa masuk kota pada akhirnya menyebabkan
tingkat upah di perkotaan makin turun, sementara nilai upah pada sektor
pertanian naik gara-gara tenaga kerja tersedot ke kota.
Namun urbanisasi di Indonesia, yang berlangsung lebih dari 20
tahun, tidak sepenuhnya dapat disamakan dengan pandangan Arthur Lewis ini.
Penduduk desa mengalir ke kota bukan sekadar karena tingkat upah yang
berbeda, tapi juga karena kekosongan kesempatan kerja yang makin parah di
daerah pedesaan.
Proses pemiskinan desa sudah lama terjadi. Pada era Orde Baru,
prioritas pembangunan diberikan kepada sektor industri-ekspor. Ada berbagai
fasilitas peringanan pajak ekspor dan impor, bahan baku dari luar negeri, dan
buruh murah. Yang terakhir ini jadi masalah besar. Buruh dengan gaji yang
rendah tidak dapat hidup tanpa ditunjang harga bahan makanan yang murah.
Karena itu, pemerintah menggunakan lembaga Bulog sebagai lembaga penjamin
bahan makanan dengan harga stabil pada tingkat rendah yang terjangkau buruh
murah dan pegawai miskin. Jika perlu dengan mengimpor beras dari luar negeri.
Akibatnya, harga bahan makanan tetap terjaga pada tingkat harga murah. Ini
berarti petani desa harus berkorban memberikan subsidi secara berkelanjutan
kepada sektor perkotaan, khususnya kepada buruh dan pegawai demi kemakmuran
industriawan-ekspor yang difasilitasi pemerintah.
Berbeda dengan pemerintah yang bila perlu dapat memotong subsidi
BBM dan lain-lain, petani tidak mempunyai kemampuan untuk mempengaruhi harga.
Karena kehidupan di sektor pertanian makin sulit, mereka akhirnya mengadu
nasib ke kota tanpa persiapan yang memadai. Cuma ikut kenalan yang pulang
mudik, sekadar ada di kota, tanpa arah, tanpa tujuan dan harapan. Karena itu,
kedatangannya bukanlah gejala modernisasi yang dapat dipandang dengan senyum,
melainkan penderitaan korban pemiskinan yang hidup di pedesaan.
Dilihat dari perspektif lain, pemiskinan desa juga merupakan
proses penurunan daya beli dalam negeri (decreasing
domestic purchasing power), yang pada gilirannya akan menekan daya saing
barang-barang ekspor dan minat investasi.
Padahal, sejarah pembangunan di hampir semua negara maju dengan
jumlah penduduk yang banyak selalu ditandai dengan peningkatan daya beli
dalam negeri secara meluas. Pembangunan di Jepang untuk peningkatan daya
saing pada bidang perdagangan dikenal dengan nama politik dumping-suatu
politik perdagangan yang sangat ditakuti dan dibenci lawan. Tapi bagaimana
mereka dapat menjual produk dengan harga yang mahal di dalam negeri dan murah
di luar negeri kalau daya beli dalam negeri tidak terlebih dulu dinaikkan?
Dengan daya beli dalam negeri yang tinggi, sebagian besar harga pokok dapat
ditanggulangi di dalam negeri. Di luar negeri, mereka dapat menjual barang
dengan harga murah.
Jangan harap investor asing akan masuk ke sebuah negara yang
daya beli dalam negerinya rendah. Sama dengan tidak ada orang yang akan
membuka restoran mewah di daerah pedesaan yang kumuh. Karena itu, upaya
meningkatkan daya beli dalam negeri, terutama di daerah pedesaan, adalah
sebuah keniscayaan dalam pembangunan.
Peningkatan daya beli dalam negeri melalui peningkatan
pendapatan petani desa dapat ditempuh antara lain dengan strategi yang mirip
dengan pump priming strategy yang pernah dilakukan J.M Keynes di Eropa pada
awal pertengahan abad ke-20.
Pemerintah dapat menyuntik daya beli dengan membeli produk hasil
pertanian, seperti beras, dengan harga yang tinggi dan menjualnya ke kota
dengan harga yang murah. Tentu saja hal itu disertai kontrol terhadap
spekulan. Uang yang disuntikkan ke desa tidak akan hilang, melainkan akan
berkembang lebih besar dan lebih cepat akibat multiplier effect yang relatif besar sebagai penyebab dari adanya
marginal propensity to consume yang
besar di kalangan petani miskin. Ini mendorong bertumbuhnya sektor industri
kecil di pedesaan. Kesempatan kerja akan terserap dan daya saing ekspor akan
meningkat. Ini sebuah strategi yang perlu dipertimbangkan pemerintah yang
baru. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar