Kabinet
Nirpartai
Hifdzil Alim ;
Peneliti Pusat Kajian
Antikorupsi FH UGM
|
KORAN
TEMPO, 13 Agustus 2014
Calon presiden dan wakil presiden Joko Widodo-Jusuf Kalla telah
bersiap menyusun pemerintahannya. Kantor transisi-sebuah elemen tradisi baru
dalam pergantian pemerintahan-didirikan. Ada satu kepala staf dan empat
pembantu yang mengisi kantor itu. Rini Mariani Soemarno ditunjuk sebagai
kepala, dan Hasto Kristiyanto (PDIP), Akbar Faisal (Partai NasDem), Andi
Widjajanto, serta Anies Baswedan masing-masing berperan sebagai staf.
Meski kantor transisi adalah hal baru dalam percaturan
pemerintahan Indonesia yang memberikan optimisme atas cita-cita perubahan,
penunjukan persona yang mengisi kantor ternyata memanen kritik. Rini, sang
kepala staf, diisukan pernah terlibat dugaan korupsi pembelian jet tempur
Sukhoi. Ia juga dianggap pion dari Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri (Majalah Tempo, Edisi 11-17 Agustus,
halaman 29).
Ditambah lagi, diangkutnya unsur partai (PDIP dan Partai NasDem)
dalam gerbong kantor transisi, semakin menguatkan bahwa bakal pemerintahan
Joko Widodo sulit keluar dari kebiasaan politik lama untuk tidak
mengakomodasi interest partai politik. Rasa-rasanya, susah mengeluarkan
partai dari kepentingan pembentukan kabinet. Sebab, akarnya ada di
konstitusi.
Pasal 6A ayat (2) UUD NRI 1945 menjadi landasan hukum bagi
partai politik guna ikut campur dalam urusan pasang-bongkar kabinet. Pasal
itu mengatur, setiap calon presiden dan wakil presiden yang berada dalam satu
paket harus diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik.
Ketentuan ini membuka pintu terhadap pengaruh partai politik yang sangat
besar dalam kebijakan penyusunan kabinet.
Kartu pas menuju Istana diperoleh Jokowi-JK dari partai koalisi
yang terdiri atas PDIP, Partai NasDem, PKB, dan Partai Hanura. Secara
politik, capres dan wapres terpilih tersebut berutang kepada gabungan partai
itu. Ketika sudah terpilih, ada utang politik yang harus dibayar.
Sistem presidensial yang diterapkan di Indonesia tidak
benar-benar murni menegakkan kekuasaan presiden. Menteri, yang dalam Pasal 17
UUD NRI 1945 diperintahkan menjadi pembantu presiden, dan oleh karenanya
diangkat dan diberhentikan pula oleh presiden, tak sungguh-sungguh berasal
dari pilihan presiden. Eksistensi Pasal 6 ayat (2) UUD NRI 1945 menyebabkan
presiden terpilih "memperhatikan" masukan partai politik.
Akibatnya, menteri menjadi jabatan hasil kompromi antara presiden terpilih
dan semua partai penyokongnya.
Artinya, dengan demikian tidak ada upaya apa pun untuk
mengautoklaf penyusunan kabinet agar steril dari kepentingan partai? Jika
merujuk pada bunyi konstitusi, sepertinya berat menendang partai dari
perumusan komposisi menteri. Kecuali dibentuk prosedur yang bisa menempatkan
filter penyeimbang dalam menentukan jajaran pos para pembantu presiden itu.
Di Amerika Serikat, negara yang mengakui sistem presidensial,
filter penyeimbang pengisian kursi menteri dijalankan langsung oleh salah
satu pemegang kekuasaan legislatif. Pasal II ayat (2) Konstitusi Amerika
Serikat memberikan ruang bagi Senat untuk memberikan pertimbangan dan
konfirmasi atas rencana pembentukan kabinet oleh presiden. Ada bingkai checks and balances antara pelaksana
kekuasaan negara, khususnya antara kekuasaan eksekutif dan legislatif.
Sistem saling imbang dan saling awas terhadap penyusunan kabinet
terjadi antara presiden terpilih (eksekutif) dan Senat (legislatif). Senat
adalah lembaga perwakilan yang diisi oleh dua orang terpilih di setiap negara
bagian, wakil yang dipilih langsung oleh rakyat negara bagian. Pola seperti
ini bermakna, pembentukan kabinet diawasi langsung oleh rakyat melalui Senat,
bukan partai politik.
Tentu saja, Republik Indonesia bukanlah Amerika Serikat. Pola
pengisian calon menteri di kabinet Negeri Abang Sam itu tak serta-merta bisa
diterapkan. Supaya bisa diterapkan, harus ada amendemen konstitusi terlebih
dulu. Padahal jalan perubahan undang-undang dasar menempuh waktu dan kompromi
politik yang lama dan alot.
Di tengah derasnya arus kepentingan politik, memang tak mudah
mendirikan kabinet nirpartai, sebuah kabinet yang mengeliminasi pengaruh dan
kepentingan partai politik. Menggeser kepentingan partai dan kemudian
menggantinya dengan kepentingan rakyat dewasa ini bukanlah hal mudah. Partai
politik pasti tak akan terlalu ikhlas melepaskan kehendaknya.
Namun, walau kecil, harapan untuk mendirikan kabinet nirpartai
tetap harus tumbuh. Kabar baiknya, dalam dunia informasi dan telekomunikasi
yang mengglobal seperti sekarang, upaya alternatif melibatkan secara langsung
kehendak rakyat demi menggantikan kehendak dan pengaruh partai politik dalam
memberikan masukan calon kepada presiden terpilih cenderung cukup mudah.
Laman www.kabinetrakyat.org adalah contoh yang aktual. Dengan mengisi polling
calon menteri, sesungguhnya masyarakat dapat memberikan suaranya kepada para
calon menteri yang diinginkan. Hanya, yang tetap harus diingat, bila ingin
konsisten mendudukkan sistem presidensial, keputusan terakhir tetap ada di
tangan presiden. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar