Pramuka,
Gue Banget
Harun Mahbub ;
Wartawan Tempo
|
KORAN
TEMPO, 14 Agustus 2014
Di sebuah pojok di Cikini Raya, kami mendiskusikan sesuatu yang
"hilang" dari gerakan pramuka. Seminggu sekali, para pelajar memang
masih mengenakan seragam cokelat-cokelat, dengan kacu merah putih pada leher.
Bahkan, kurikulum terbaru telah mengamanatkan gerakan pramuka sebagai program
ekstrakurikuler wajib. Namun, siapa pun tahu, ia seperti pasien yang sekarat,
mencoba bertahan hidup dengan dukungan alat-alat medis di sekelilingnya.
Semasa masih duduk di bangku sekolah dasar di daerah pegunungan
di selatan Yogyakarta, saya dan
teman-teman satu angkatan selalu tak sabar menunggu Jumat sore yang istimewa
itu. Saat itu, Pramuka begitu asyik dan seru. Jumat berganti Jumat, hingga
saya akhirnya menapaki karier tertinggi di Pramuka sebagai Ketua Regu Banteng
di level Penggalang.
Cerita mulai berubah ketika saya melanjutkan pendidikan di
sekolah menengah pertama di kota. Pramuka mendadak jadi kegiatan yang tidak
menarik, juga tidak keren. Teman-teman satu angkatan juga menilai demikian.
Kami lebih suka bermain bola basket, sepak bola, main dingdong, atau
baris-berbaris. Saya menjumpai hal yang sama setiap pulang ke desa pada pekan
kedua dan keempat. Pramuka sepi peminat di kalangan remaja.
Di SMA, Pramuka semakin terasing dari kami, kaum ABG waktu itu.
Kami lebih memilih nge-band, bermain basket, atau ikut "cabang"
Pramuka, semacam kegiatan pencinta alam yang justru melampaui popularitas
Pramuka itu sendiri.
Tentu ini sangat disayangkan. Pramuka adalah sarana yang dahsyat
untuk pendidikan anak-anak Indonesia. Pramuka tak hanya menjanjikan olah
pikir dan raga, tapi juga hati. Saya masih ingat betul salah satu
"mantra" yang kami daraskan setiap mengawali kegiatan Pramuka
sekitar 25 tahun lalu: "suci dalam pikiran, perasaan, dan perbuatan".
Bukankah itu puncak dari pencapaian diri?
Dengan kondisi Pramuka hari ini, lantas apa yang harus
dilakukan? Intervensi negara berupa "paksaan" ikut Pramuka
sepertinya tidak cukup. Diskusi tentang Pramuka di Cikini Raya itu
menyepakati perlunya rebranding Pramuka. Itu memang keniscayaan di era pasar
ini. Para pemangku kepentingan harus melakukan konsolidasi dan merapikan
gerakan Pramuka, seraya menegaskan sasaran jangka pendek, menengah, serta
panjang.
Pramuka juga harus berfokus pada sasaran audiensnya. Target
pasarnya adalah anak-anak kita, yang sejak kecil sudah akrab dengan gadget,
sering curhat di media sosial, dan memastikan gaya hidupnya mengacu pada
tokoh idola di layar kaca.
Kalau tidak mau ditinggalkan., Pramuka harus mengalah dan
mengikuti kemauan mereka, atau dengan kata lain mengikuti selera pasar.
Selanjutnya, baru kemudian pelan-pelan memasukkan nilai-nilai mulia Pramuka
ke diri mereka. Nah, seturut pola pikir ini, cara agar generasi Twitter masa
kini tertarik pada Pramuka adalah menjadikannya simbol identitas dan
kebanggaan mereka. Istilah anak muda sekarang, PR-nya adalah bagaimana
menjadikan Pramuka itu "gue
banget".
Kesimpulannya, gerakan Pramuka harus memperkuat diri ke dalam,
kemudian memasarkan diri dengan cerdik. Masih butuh diskusi sangat keras dan
panjang untuk menurunkannya dalam program-program nyata berikut
pelaksanaannya. Tapi, jika dilakukan dengan ikhlas dan sungguh-sungguh oleh
berbagai pihak, anak-anak kita bisa jadi tak sabar menanti Jumat tiba. Selamat Hari Pramuka. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar