Upaya
Meredam Militan IS
Chusnan Maghribi ; Alumnus Hubungan Internasional FISIP
Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY)
|
SUARA
MERDEKA, 05 Agustus 2014
"Andai gerak Islamic State
di Irak kian tak terbendung, AS dan NATO akan mengambil langkah militer"
DI tengah kesibukan parlemen Irak yang kini diketuai Salim
Al-Jubouri memilih presiden dan perdana menteri (PM) baru, yang ternyata juga
tidak mudah akibat ketiadaan soliditas di antara tiga kekuatan politik utama
(Syiah, Sunni, dan etnis Kurdi), negeri itu makin dirundung masalah. Negeri
yang kesohor dengan hikayat Abu Nawas itu menghadapi ancaman keamanan yang
semakin nyata, berupa gerak maju kelompok militan Islamic State of Iraq and Syria (ISIS) atau Islamic State of Iraq and Levant (ISIL), yang kini berubah
menjadi Islamic State (IS). Gerakan
mereka kini makin sulit diredam. Kelompok militan bersenjata pimpinan Abu
Bakr al-Baghdadi dan pentolan Al-Qaedah Ayman al-Zawahiri terlihat makin kuat
di Irak, dengan menguasai banyak wilayah, di antaranya Mosul, Tikrit,
Falujjah, Tal Afar, Rawa, Beiji, Ramadi, Saadiyah, Jalawla, Al-Qa’im, dan
Haditha. Bahkan mereka tengah berupaya keras merangsek menuju ibu kota
Baghdad. Di kota Mosul, Islamic State malah menyita uang tunai sebanyak 400
juta dolar AS di bank-bank di kota itu.
Ini mengindikasikan betapa aparat keamanan Irak kewalahan
menghadapi agresivitas militan mereka. Karenanya, Presiden Amerika Serikat
(AS) Barack Hussein Obama pada pertengahan Juni 2014 memberi sinyal kepada PM
Irak Nouri al-Maliki supaya tidak mencalonkan diri untuk kembali menjadi
perdana menteri karena dinilai telah gagal total mengatasi kelompok militan
tersebut. Bahkan pada 25 Juli lalu para petinggi North Atlantic Treaty Organization (NATO) menggelar pertemuan
darurat di Brussel Belgia khusus untuk membahas ancaman Islamic State di negara tersebut. Lantas, bagaimanakah
sesungguhnya Islamic State? Apakah
keberadaan mereka di Irak akan memaksa AS dan NATO melancarkan serangan udara
terhadap wilayah kedaulatan Irak terutama wilayah-wilayah basis atau yang
dikuasainya? Islamic State adalah
sebuah kelompok perlawanan bersenjata kaum Sunni di Irak.
Kelompok tersebut didirikan oleh ulama Irak bernama Abu Bakr
al-Baghdadi. Eksistensi mereka di Irak kini menjadi kian kuat lantaran para
loyalis Saddam Hussein ikut bergabung. Seiring dengan perjalanan waktu,
setelah seluruh pasukan AS hengkang dari Irak tahun 2013, perlawanan Islamic State ditujukan kepada
pemerintah Irak yang dikuasai kaum Syiah yang mayoritas. Ketergabungan Ayman
al-Zawahiri dalam Islamic State
membuat perlawanan kelompok bersenjata yang dicap sebagai kelompok teroris
itu semakin ganas dan brutal. Kelompok ini sering melancarkan serangan bunuh
diri yang senyatanya mematikan terhadap pemerintah dan warga Syiah di Irak.
Negara Islam Belakangan mereka terlibat perang dalam perang saudara
berdarah-darah dan berkepanjangan di Suriah. Di Suriah pun, Islamic State berperang dengan membawa
bendera Sunni. Mereka membela kaum Sunni Suriah yang menurut versinya
ditindas oleh pemerintahan Bashar al-Assad yang Syiah. Serangan bunuh diri
mematikan juga kerap dilakukan oleh anggota Islamic State di Suriah. Islamic
State di Negeri Syam itu kini sudah hampir 100 persen mengontrol dan
menguasai Provinsi Aleppo di dekat Laut Tengah. Kota Aleppo menjadi basis
utama kelompok perlawanan mereka terhadap rezim Bazhar al- Assad. Islamic
State bertujuan mendirikan sebuah negara Islam yang berbasis wilayah Bulan
Sabit yang mencakup teritorial Sunni di Irak, Suriah ataupun Libanon. Akhir
Juni lalu mereka mendeklarasikan berdirinya Kekhalifahan Islamiyah yang
membawahi seluruh umat Islam.
Karenanya, sangatlah masuk akal bila PM Maliki meminta AS
bersama NATO untuk segera mengambil tindakan tegas dengan melancarkan seragan
udara ke Irak guna meredam gerak maju kelompok militan tersebut. Para analis
memastikan, andai gerak maju Islamic State di Irak kian tak terbendung, AS dan
NATO akan mengambil langkah militer dengan misalnya melancarkan serangan
udara terbatas untuk menghancurkan posisi-posisi strategis Islamic State di Irak. Andai beberapa
hari ke depan perkembangan keamanan di Irak dipandang oleh AS semakin
memprihatinkan lantaran makin merajalelanya kebrutalan anggota Islamic State, cepat atau lambat
militer AS bersama NATO akan terpaksa kembali ke Irak. Kali ini bukan untuk
mencari senjata kimia Irak —yang ternyata tidak ditemukan— sebagaimana
dilakukannya saat menginvasi Irak Maret 2003 (sewaktu Irak di bawah presiden
Saddam Hussein), melainkan untuk meredam militan Islamic State dengan menghancurleburkan basis mereka yang
tersebar di Irak. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar