Legalisasi
Mafia Anggaran
Thontowi Jauhari ; Magister Ilmu Politik Universitas Diponegoro,
Mantan Anggota DPRD Jateng, Tinggal di Boyolali
|
SUARA
MERDEKA, 05 Agustus 2014
UNDANG-UNDANG tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (UU MD3) yang
ditetapkan DPR sehari menjelang Pilpres (8 Juli 2014), untuk menggantikan UU
Nomor 27/2009, mengandung banyak kontroversi. Salah satunya, terdapat pasal
yang terkandung maksud untuk melegalisasikan mafia anggaran. Hampir bisa
dipastikan korupsi anggota DPR hasil Pemilu 2014 makin sistemik dan
menggurita. Pasal 110 ayat (1) huruf e misalnya menyebutkan badan anggaran
(banggar) bertugas menyinkronisasikan usulan program pembangunan daerah
pemilihan (DP) yang diusulkan komisi di parlemen.
Pasal itu tidak terdapat dalam UU MD3 sebelumnya. Padahal,
melihat Pasal 98 Ayat (2) tentang tugas komisi dalam bidang anggaran, tidak
ada tugas komisi yang secara khusus mengusulkan program pembangunan DP.
Tugasnya bersifat makro, yakni membahas dan menetapkan alokasi anggaran untuk
fungsi, dan program kementerian/lembaga yang menjadi mitra kerja komisi
(Huruf c). Itu artinya, ada agenda tersembunyi. Ketika komisi membahas dan
menetapkan alokasi anggaran di kementerian/ lembaga yang menjadi mitra kerja
komisi, telah ada pembahasan, dan bahkan keputusan tentang alokasi usulan
program pembangunan di DP. Karena DP menyangkut beberapa anggota DPR yang
mewakili daerah tersebut maka dapat disimpulkan bahwa usulan program pembangunan
di DP menjadi hak tiap anggota DPR. Jadi, tugas banggar untuk menyinkronkan
usulan program pembangunan DP yang diusulkan komisi, itu hanya semacam
konfirmasi untuk memastikan adanya anggaran di DP. Banggar sendiri juga dapat
memastikan distribusi anggaran untuk masing-masing wakil rakyat.
Praktik itulah yang saya sebut dengan legalisasi mafia anggaran.
Mengapa? Selama ini, usulan program pembangunanan itu sebenarnya telah ada.
Namun, tidak mempunyai ìdasar hukumî yang dapat memastikan keberadaan anggarannya.
Kemunculan anggaran tersebut merupakan hasil bargaining dengan eksekutif
ketika membahas angaran. Seperti adanya pagu anggaran DPPID (Dana Percepatan
Pembangunan Infrastruktur Daerah (DPPID) dan Dana Penyesuaian Infrastrukur
Daerah (DPID) merupakan bagian dari wujud hak usulan wakil rakyat atas dana
program pembangunan di DP tersebut. Posisi DPR yang kuat dalam proses politik
anggaran, menjadikan eksekutif tidak mampu menolak, bahkan larut dalam
kemauan mereka, sehingga banyak yang berbuntut kasus. Kriteria pemberiannya
yang tidak jelas, cenderung berisiko rangkap anggaran, dan membuat dana ini
menjadi sasaran empuk koruptor. Boleh jadi, usulan anggaran pembangunan di DP
nantinya disebut dana aspirasi.
Pada pertengahan 2010, Fraksi Golkar pernah mengusulkan agar
tiap wakil rakyat diberi hak menyalurkan anggaran Rp 15 miliar di DP masing-masing.
Juga agar dibangunkan rumah aspirasi dan sebagainya. Apa alasan Fraksi Golkar
mengusulkan dana aspirasi DPR? Untuk mendorong pertumbuhan ekonomi daerah, pemerataan
pembangunan, dan percepatan turunnya dana pembangunan ke daerah yang selama
ini dirasakan masih kurang memuaskan. Alasan Pemerataan Pertanyaannya, jika
alasannya untuk pemerataan, mengapa pembagian dana aspirasi dibagi secara
merata per anggota DPR? Bukankah semestinya daerah yang maju tidak perlu dana
aspirasi? Tentu, masih banyak pertanyaan yang bisa disampaikan. Dana Aspirasi
DPR ini meniru pork barrel budget (anggaran gentong babi) di Amerika Serikat
(AS). Itu adalah istilah dengan konotasi negatif yang dipakai untuk mengejek
praktek bujeting pemerintah pusat (Federal) AS untuk proyekproyek di distrik
anggota Congress (DPR) yang terpilih. Praktik inilah yang ingin ditiru DPR di
Tanah Air, dan kemudian gagal menjadi keputusan karena diprotes banyak pihak.
Masuknya pasal di UU MD3 tentang hak usulan program pembangunan di DP,
dipastikan akan memuluskan usulan yang pernah tertunda tersebut. Alasan yang
mereka gunakan, program tersebut merupakan amanat konstitusi. Maka, pasal
tersebut perlu diuji secara materiil di Mahkamah Konstitusi, karena
bertentangan dengan UUD 1945.
Pasal 18A Ayat (2) menyebutkan ”hubungan keuangan, pelayanan umum, pemanfaatan sumber daya alam dan
sumber daya alam lainnya, antara pemerintah pusat dan pemda diatur dan
dilaksanakan secara adil dan selaras berdasarkan undang-undang”.
Pembagian anggaran program pembangunan DP berisiko tidak adil. Daerah yang
tingkat kemiskinannya tinggi dan kemampuan keuangannya rendah kemungkinan
menerima dana yang sama dengan daerah kaya. Apalagi jika nafsu memburu rente
ekonomi para anggota DPR lebih menonjol dalam distribusi anggaran, maka
pembagian dana hanya mendasarkan pada seberapa gepok duit (suap) yang
diterima anggota DPR. Dalam konteks itulah praktik mafia anggaran makin
mengokohkan diri. Tidakkah kita ingat, masalah keuangan negara dan
pembagiannya sudah diatur dalam undang-undang tersendiri? ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar