Kamis, 07 Agustus 2014

Legalisasi Mafia Anggaran

Legalisasi Mafia Anggaran

Thontowi Jauhari  ;   Magister Ilmu Politik Universitas Diponegoro,
Mantan Anggota DPRD Jateng, Tinggal di Boyolali
SUARA MERDEKA, 05 Agustus 2014
                                                
                                                                                                                                   

UNDANG-UNDANG tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (UU MD3) yang ditetapkan DPR sehari menjelang Pilpres (8 Juli 2014), untuk menggantikan UU Nomor 27/2009, mengandung banyak kontroversi. Salah satunya, terdapat pasal yang terkandung maksud untuk melegalisasikan mafia anggaran. Hampir bisa dipastikan korupsi anggota DPR hasil Pemilu 2014 makin sistemik dan menggurita. Pasal 110 ayat (1) huruf e misalnya menyebutkan badan anggaran (banggar) bertugas menyinkronisasikan usulan program pembangunan daerah pemilihan (DP) yang diusulkan komisi di parlemen.

Pasal itu tidak terdapat dalam UU MD3 sebelumnya. Padahal, melihat Pasal 98 Ayat (2) tentang tugas komisi dalam bidang anggaran, tidak ada tugas komisi yang secara khusus mengusulkan program pembangunan DP. Tugasnya bersifat makro, yakni membahas dan menetapkan alokasi anggaran untuk fungsi, dan program kementerian/lembaga yang menjadi mitra kerja komisi (Huruf c). Itu artinya, ada agenda tersembunyi. Ketika komisi membahas dan menetapkan alokasi anggaran di kementerian/ lembaga yang menjadi mitra kerja komisi, telah ada pembahasan, dan bahkan keputusan tentang alokasi usulan program pembangunan di DP. Karena DP menyangkut beberapa anggota DPR yang mewakili daerah tersebut maka dapat disimpulkan bahwa usulan program pembangunan di DP menjadi hak tiap anggota DPR. Jadi, tugas banggar untuk menyinkronkan usulan program pembangunan DP yang diusulkan komisi, itu hanya semacam konfirmasi untuk memastikan adanya anggaran di DP. Banggar sendiri juga dapat memastikan distribusi anggaran untuk masing-masing wakil rakyat.

Praktik itulah yang saya sebut dengan legalisasi mafia anggaran. Mengapa? Selama ini, usulan program pembangunanan itu sebenarnya telah ada. Namun, tidak mempunyai ìdasar hukumî yang dapat memastikan keberadaan anggarannya. Kemunculan anggaran tersebut merupakan hasil bargaining dengan eksekutif ketika membahas angaran. Seperti adanya pagu anggaran DPPID (Dana Percepatan Pembangunan Infrastruktur Daerah (DPPID) dan Dana Penyesuaian Infrastrukur Daerah (DPID) merupakan bagian dari wujud hak usulan wakil rakyat atas dana program pembangunan di DP tersebut. Posisi DPR yang kuat dalam proses politik anggaran, menjadikan eksekutif tidak mampu menolak, bahkan larut dalam kemauan mereka, sehingga banyak yang berbuntut kasus. Kriteria pemberiannya yang tidak jelas, cenderung berisiko rangkap anggaran, dan membuat dana ini menjadi sasaran empuk koruptor. Boleh jadi, usulan anggaran pembangunan di DP nantinya disebut dana aspirasi.

Pada pertengahan 2010, Fraksi Golkar pernah mengusulkan agar tiap wakil rakyat diberi hak menyalurkan anggaran Rp 15 miliar di DP masing-masing. Juga agar dibangunkan rumah aspirasi dan sebagainya. Apa alasan Fraksi Golkar mengusulkan dana aspirasi DPR? Untuk mendorong pertumbuhan ekonomi daerah, pemerataan pembangunan, dan percepatan turunnya dana pembangunan ke daerah yang selama ini dirasakan masih kurang memuaskan. Alasan Pemerataan Pertanyaannya, jika alasannya untuk pemerataan, mengapa pembagian dana aspirasi dibagi secara merata per anggota DPR? Bukankah semestinya daerah yang maju tidak perlu dana aspirasi? Tentu, masih banyak pertanyaan yang bisa disampaikan. Dana Aspirasi DPR ini meniru pork barrel budget (anggaran gentong babi) di Amerika Serikat (AS). Itu adalah istilah dengan konotasi negatif yang dipakai untuk mengejek praktek bujeting pemerintah pusat (Federal) AS untuk proyekproyek di distrik anggota Congress (DPR) yang terpilih. Praktik inilah yang ingin ditiru DPR di Tanah Air, dan kemudian gagal menjadi keputusan karena diprotes banyak pihak. Masuknya pasal di UU MD3 tentang hak usulan program pembangunan di DP, dipastikan akan memuluskan usulan yang pernah tertunda tersebut. Alasan yang mereka gunakan, program tersebut merupakan amanat konstitusi. Maka, pasal tersebut perlu diuji secara materiil di Mahkamah Konstitusi, karena bertentangan dengan UUD 1945.

Pasal 18A Ayat (2) menyebutkan ”hubungan keuangan, pelayanan umum, pemanfaatan sumber daya alam dan sumber daya alam lainnya, antara pemerintah pusat dan pemda diatur dan dilaksanakan secara adil dan selaras berdasarkan undang-undang”. Pembagian anggaran program pembangunan DP berisiko tidak adil. Daerah yang tingkat kemiskinannya tinggi dan kemampuan keuangannya rendah kemungkinan menerima dana yang sama dengan daerah kaya. Apalagi jika nafsu memburu rente ekonomi para anggota DPR lebih menonjol dalam distribusi anggaran, maka pembagian dana hanya mendasarkan pada seberapa gepok duit (suap) yang diterima anggota DPR. Dalam konteks itulah praktik mafia anggaran makin mengokohkan diri. Tidakkah kita ingat, masalah keuangan negara dan pembagiannya sudah diatur dalam undang-undang tersendiri?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar