Jumat, 15 Agustus 2014

Teladan dari Presiden Bersepeda

                              Teladan dari Presiden Bersepeda

Husnun N Djuraid  ;   Dosen Universitas Muhammadiyah Malang, Gemar bersepeda
SUARA MERDEKA, 14 Agustus 2014
                                                
                                                                                                                                   

"Selama ini, banyak gerakan tidak berjalan efektif karena tak ada contoh konkret dari para pemimpin"

TATKALA ’’aktif’’ menjadi Gubernur DKI Jakarta, bersama wakilnya, Basuki Tjahja Purnama (Ahok), Joko Widodo paling getol menentang kebijakan pemerintah pusat soal mobil murah ramah lingkungan (low cost green car-LCGC) karena dianggap sebagai penambah kemacetan Jakarta. Polemik mengenai hal itu melibatkan Menteri Perindustrian MS Hidayat yang ngotot terhadap program tersebut guna mendongkrak produksi mobil nasional.

Hidayat didukung Wapres Boediono yang menganggap produksi mobil murah itu memberi kesempatan masyarakat berpenghasilan rendah untuk memiliki mobil. Selama ini, harga mobil di Indonesia mahal. Soal keberatan Jokowi-Ahok bahwa LCGC makin memacetkan Jakarta, SBY berargumen mobil murah dan ramah lingkungan itu bukan untuk warga kota besar melainkan masyarakat di kota-kota kecil dan pedesaan.

Realitasnya kini mobil murah itu banyak dibeli orang kota, dan menyesaki jalan-jalan di Jakarta dan kota besar lain. Bahkan sebagai penyumbang baru kemacetan. Data Gaikindo menunjukkan, tahun ini produksi diprediksi 120 ribu unit, 10% dari produksi mobil nasional, atau naik lipat dua lebih dibanding tahun sebelumnya, yang ’’hanya’’ 51 ribu unit.

Tahun lalu, baru dua merek yang masuk pasar dan tahun ini ada lima merek. Produsen bergairah memproduksi karena ada insentif dari pemerintah sehingga harganya pun bisa ditekan menjadi lebih murah. Selain menyumbang kemacetan, kehadiran mobil jenis ini menghabiskan stok BBM bersubsidi.

Janji pemerintah bahwa mobil tersebut menggunakan BBM nonsubsidi juga tidak ditepati. Kini pemerintah termakan oleh kebijakannya sendiri. Anggaran subsidi BBM terus membengkak, bahkan jatah subsidi tahun ini akan habis sebelum tahun anggaran berakhir. Kondisi inilah yang mendorong pemerintah membatasi konsumsi BBM subsidi pada jam/SPBU tertentu. Kebijakan ini diberlakukan secara bertahap sebelum akhirnya diterapkan secara menyeluruh.

Belajar dari pengalaman Jokowi menolak LCGC, apa yang akan dia lakukan setelah menjadi presiden —andai MK menolak gugatan pasangan Prabowo-Hatta— karena sudah ’’ditolong’’ kebijakan pemerintah sebelumnya yang membatasi kuota BBM bersubsidi? Kebijakan soal BBM memang tidak populer karena dianggap menyusahkan masyarakat yang sudah terlanjur dimanja subsidi. Padahal soal subsidi itu sangat menyusahkan keuangan negara.

Kebijakan pembatasan BBM bersubsidi adalah bagian dari upaya menyelamatkan keuangan negara, meskipun masih harus dibuktikan. Belum lagi kerepotan masyarakat. Mana yang lebih repot, BBM bersubsidi dibatasi yang menimbulkan kerepotan untuk mendapatkannya, dibanding menaikkan harganya tapi konsumen mudah mendapatkan.

Ditanya soal kebijakan BBM, Jokowi lebih memilih opsi kedua: menaikkan harga tanpa pengecualian. Subsidi yang sangat besar bisa dialihkan untuk kepentingan lebih luas, misal membangun lebih banyak jalan baru, bukan dinikmati segelintir orang kaya yang sudah terlanjur hidup enak disubsidi pemerintah.

Pernah didengungkan gerakan bersepeda guna mengurangi konsumsi BBM sekaligus mengurangi polusi udara. Namun gerakan itu belum mendapat sambutan luas karena hampir tidak ada pemimpin memberi contoh. Tak ada salahnya gerakan tersebut kembali dimasyarakatkan, dengan melibatkan presiden baru sebagai teladan.

’’Sego Segawe’’

Di lingkup kecil kota/kabupaten, gerakan ini berhasil dilakukan Pemkot Yogyakarta tahun 2008 melalui gerakan ’’Sego Segawe’’ (sepeda kanggo sekolah, sepeda kanggo nyambut gawe=sepeda untuk sekolah dan sepeda untuk bekerja). Gerakan ini digagas Wali Kota (waktu itu) Herry Zudianto dilanjutkan penggantinya, Haryadi Suyuti. Haryadi membuat jalur khusus sepeda, tempat parkir sepeda di kantor pemerintah dan fasilitas lain yang memudahkan masyarakat bersepeda. Yang tak kalah penting adalah contoh langsung dari pejabat Yogyakarta untuk ikut bersepeda.

Selama ini, banyak gerakan yang tidak berjalan efektif karena tak ada contoh konkret dari pemimpin, padahal masyarakat lebih mudah dipengaruhi oleh pemimpin. Gerakan penghematan BBM misalnya, tak pernah berhasil karena tidak ada contoh dari patron. Pejabat mengajak masyarakat hemat BBM tapi mereka ke mana-mana naik mobil mewah yang boros BBM.

Andai presiden berkampanye hemat BBM sambil bersepeda ke kantor, tentu diikuti banyak orang, minimal pejabat pemerintah; menteri, gubernur, wali kota/bupati dan jajarannya. Inilah peluang sekaligus harapan bagi presiden mendatang untuk mau jadi pelopor hemat energi melalui bersepeda. Bagi Jokowi, bersepeda bukan hal asing karena kerap dilakukan saat menjabat wali kota Solo. Bahkan saat mendaftar sebagai capres ke KPU, dia ngonthel bersama Jusuf Kalla.

Magnetnya masih sangat kuat untuk memengaruhi masyarakat mau mengikuti apa yang dia contohkan menghemat BBM melalui bersepeda. Kebijakan soal BBM, membatasi dan menaikkan harga, adalah beleid yang tak populer. Namun andai disertai gerakan penghematan secara konkret, misalnya bersepeda, masyarakat lebih bisa menerima. Selamat bersepeda, Pak presiden.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar