Teladan
dari Presiden Bersepeda
Husnun N Djuraid ;
Dosen Universitas
Muhammadiyah Malang, Gemar bersepeda
|
SUARA
MERDEKA, 14 Agustus 2014
"Selama ini, banyak
gerakan tidak berjalan efektif karena tak ada contoh konkret dari para
pemimpin"
TATKALA
’’aktif’’ menjadi Gubernur DKI Jakarta, bersama wakilnya, Basuki Tjahja
Purnama (Ahok), Joko Widodo paling getol menentang kebijakan pemerintah pusat
soal mobil murah ramah lingkungan (low
cost green car-LCGC) karena dianggap sebagai penambah kemacetan Jakarta.
Polemik mengenai hal itu melibatkan Menteri Perindustrian MS Hidayat yang
ngotot terhadap program tersebut guna mendongkrak produksi mobil nasional.
Hidayat
didukung Wapres Boediono yang menganggap produksi mobil murah itu memberi
kesempatan masyarakat berpenghasilan rendah untuk memiliki mobil. Selama ini,
harga mobil di Indonesia mahal. Soal keberatan Jokowi-Ahok bahwa LCGC makin
memacetkan Jakarta, SBY berargumen mobil murah dan ramah lingkungan itu bukan
untuk warga kota besar melainkan masyarakat di kota-kota kecil dan pedesaan.
Realitasnya
kini mobil murah itu banyak dibeli orang kota, dan menyesaki jalan-jalan di
Jakarta dan kota besar lain. Bahkan sebagai penyumbang baru kemacetan. Data
Gaikindo menunjukkan, tahun ini produksi diprediksi 120 ribu unit, 10% dari
produksi mobil nasional, atau naik lipat dua lebih dibanding tahun
sebelumnya, yang ’’hanya’’ 51 ribu unit.
Tahun
lalu, baru dua merek yang masuk pasar dan tahun ini ada lima merek. Produsen
bergairah memproduksi karena ada insentif dari pemerintah sehingga harganya
pun bisa ditekan menjadi lebih murah. Selain menyumbang kemacetan, kehadiran
mobil jenis ini menghabiskan stok BBM bersubsidi.
Janji
pemerintah bahwa mobil tersebut menggunakan BBM nonsubsidi juga tidak
ditepati. Kini pemerintah termakan oleh kebijakannya sendiri. Anggaran
subsidi BBM terus membengkak, bahkan jatah subsidi tahun ini akan habis
sebelum tahun anggaran berakhir. Kondisi inilah yang mendorong pemerintah
membatasi konsumsi BBM subsidi pada jam/SPBU tertentu. Kebijakan ini
diberlakukan secara bertahap sebelum akhirnya diterapkan secara menyeluruh.
Belajar
dari pengalaman Jokowi menolak LCGC, apa yang akan dia lakukan setelah
menjadi presiden —andai MK menolak gugatan pasangan Prabowo-Hatta— karena
sudah ’’ditolong’’ kebijakan pemerintah sebelumnya yang membatasi kuota BBM
bersubsidi? Kebijakan soal BBM memang tidak populer karena dianggap
menyusahkan masyarakat yang sudah terlanjur dimanja subsidi. Padahal soal
subsidi itu sangat menyusahkan keuangan negara.
Kebijakan
pembatasan BBM bersubsidi adalah bagian dari upaya menyelamatkan keuangan
negara, meskipun masih harus dibuktikan. Belum lagi kerepotan masyarakat.
Mana yang lebih repot, BBM bersubsidi dibatasi yang menimbulkan kerepotan
untuk mendapatkannya, dibanding menaikkan harganya tapi konsumen mudah
mendapatkan.
Ditanya
soal kebijakan BBM, Jokowi lebih memilih opsi kedua: menaikkan harga tanpa
pengecualian. Subsidi yang sangat besar bisa dialihkan untuk kepentingan
lebih luas, misal membangun lebih banyak jalan baru, bukan dinikmati
segelintir orang kaya yang sudah terlanjur hidup enak disubsidi pemerintah.
Pernah
didengungkan gerakan bersepeda guna mengurangi konsumsi BBM sekaligus
mengurangi polusi udara. Namun gerakan itu belum mendapat sambutan luas
karena hampir tidak ada pemimpin memberi contoh. Tak ada salahnya gerakan
tersebut kembali dimasyarakatkan, dengan melibatkan presiden baru sebagai
teladan.
’’Sego
Segawe’’
Di
lingkup kecil kota/kabupaten, gerakan ini berhasil dilakukan Pemkot
Yogyakarta tahun 2008 melalui gerakan ’’Sego
Segawe’’ (sepeda kanggo sekolah, sepeda kanggo nyambut gawe=sepeda untuk
sekolah dan sepeda untuk bekerja). Gerakan ini digagas Wali Kota (waktu itu)
Herry Zudianto dilanjutkan penggantinya, Haryadi Suyuti. Haryadi membuat
jalur khusus sepeda, tempat parkir sepeda di kantor pemerintah dan fasilitas
lain yang memudahkan masyarakat bersepeda. Yang tak kalah penting adalah
contoh langsung dari pejabat Yogyakarta untuk ikut bersepeda.
Selama
ini, banyak gerakan yang tidak berjalan efektif karena tak ada contoh konkret
dari pemimpin, padahal masyarakat lebih mudah dipengaruhi oleh pemimpin.
Gerakan penghematan BBM misalnya, tak pernah berhasil karena tidak ada contoh
dari patron. Pejabat mengajak masyarakat hemat BBM tapi mereka ke mana-mana
naik mobil mewah yang boros BBM.
Andai
presiden berkampanye hemat BBM sambil bersepeda ke kantor, tentu diikuti
banyak orang, minimal pejabat pemerintah; menteri, gubernur, wali kota/bupati
dan jajarannya. Inilah peluang sekaligus harapan bagi presiden mendatang
untuk mau jadi pelopor hemat energi melalui bersepeda. Bagi Jokowi, bersepeda
bukan hal asing karena kerap dilakukan saat menjabat wali kota Solo. Bahkan
saat mendaftar sebagai capres ke KPU, dia ngonthel
bersama Jusuf Kalla.
Magnetnya
masih sangat kuat untuk memengaruhi masyarakat mau mengikuti apa yang dia
contohkan menghemat BBM melalui bersepeda. Kebijakan soal BBM, membatasi dan
menaikkan harga, adalah beleid yang
tak populer. Namun andai disertai gerakan penghematan secara konkret,
misalnya bersepeda, masyarakat lebih bisa menerima. Selamat bersepeda, Pak presiden. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar