Socrates,
Robin, dan Kierkegaard
Ahmad Sahidah ;
Dosen Universitas Utara
Malaysia
|
KORAN
TEMPO, 14 Agustus 2014
Kematian Robin Williams, bintang film terkenal Hollywood,
menyentak orang ramai. Keterkejutan ditunjukkan oleh rekan artis dan seluruh
penggemar di seantero dunia. Malah, Barack Obama turut menyatakan dukacita
yang mendalam.
Kematiannya bukan akhir. Sabuk yang menjerat lehernya adalah
pemantik khalayak untuk mengingatnya kembali sebagai sosok yang luar biasa
dalam karier film dan kehidupan pribadinya. Sejauh ini, dua karya sinema, Dead Poet Society dan Good Will Hunting, dianggap sebagai
wujud dari kepiawaian terbaik pemeran nenek genit dalam Mrs. Doubtfire ini.
Orang ramai bertanya di media sosial mengapa komedian sebesar
Robin mengakhiri hidup dengan cara bunuh diri? Tindakan ini seolah-olah
berlawanan dengan kemasyhuran dan kemakmuran yang dimilikinya. Sebenarnya
Robin tak menutupi keadaan dirinya yang pernah ketagihan alkohol dan heroin.
Malah, pemeran Theodore Roosevelt
dalam film Night at the Museum itu
sempat berkelakar bahwa orang yang
mengisap narkotik adalah bukti kemurahan Tuhan kepada orang yang mempunyai
uang.
Lalu, apa kaitannya dengan Socrates, filsuf Yunani yang mati
karena meneguk racun? Sementara guru Plato ini memilih mati karena dituduh
meracuni pemikiran pemuda Athena, dalam Dead
Poets Society, John Keating, guru yang diperankan oleh Robin, dihukum
karena dianggap telah menyebabkan kematian muridnya, Neil. Ide dan kata
melalui puisi telah menjadikan salah satu muridnya tahu apa yang diinginkan
dalam hidupnya dan menolak keinginan bapaknya untuk menjadi dokter. Tragis!
Sejatinya, kalau Neil berhasil menyelami ide dasar gurunya, ia
bisa berkompromi, menjadi dokter, tapi "bengal", sebagaimana sang
guru. Adakah Robin Williams begitu menjiwai watak Keating dan merasa berdosa
kepada Neil?
Kalau merujuk pada karya agung Emile Durkheim, Suicide, tindakan bunuh diri bisa
dipicu oleh masalah sosial dan eksistensial. Secara sosial, kehidupan Robin
William tidak bermasalah. Kesaksian tetangganya menunjukkan bahwa ia adalah
orang yang hangat. Lihatlah ketika ia memerankan seorang nenek dalam Mrs
Doubtfire agar bisa tinggal bersama ketiga anaknya. Betapa menyentuh dan
memantik kelucuan. Selain itu, secara psikologis, tak ada informasi bahwa ia
berasal dari keluarga yang secara genetik memiliki kecenderungan bunuh diri.
Lalu, mengapa tiba-tiba ada orang mempersoalkan kekosongan orang
Barat dari agama sebagai pemantik bunuh diri? Tentu cetusan ini bentuk
ketergesa-gesaan, mengingat ada orang bunuh diri dengan meledakkan bom
sebagai wujud pemahaman keagamaan yang menyeluruh, meski sebenarnya keliru.
Bagaimanapun, bunuh diri adalah jalan yang mudah untuk mengatasi
"kegalauan". Karena itu, alasan eksistensialisme, seperti kecemasan
(angst), perlu ditelusuri.
Bayangkan, ia bukan sekadar berkelakar, bukan cuma kaya sehingga
menikmati heroin, tapi juga dermawan. Tak mungkin orang suka berderma kalau
hatinya tak baik. Namun, seperti kata Søren Kierkegaard, hierarki eksistensi itu dimulai dari estetika kesenangan (arak dan
narkotik) dan etik (kedermawanan). Dan Robin mungkin sedang menuju
lompatan iman (religius). Sayangnya, kita tak sempat mendengar kepercayaan
apa yang dia raih sehingga memilih kematian dengan cara tragis. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar