Kamis, 14 Agustus 2014

Kebangkitan Teknologi Pangan (Lokal)

                     Kebangkitan Teknologi Pangan (Lokal)

Posman Sibuea  ;   Guru Besar Tetap di jurusan Teknologi Hasil Pertanian Unika Santo Thomas-Sumatera Utara, Pendiri dan Direktur Center for National Food Security Research
SINAR HARAPAN, 13 Agustus 2014
                                                
                                                                                                                                   

Hari Kebangkitan Teknologi Nasional (Hakteknas) merupakan salah satu hari bersejarah nasional yang diperingati setiap tahun pada 10 Agustus.

Tahun ini, Hakteknas diperingati untuk yang ke-19 kalinya, dengan mengangkat tema “Inovasi Pangan, Energi dan Air untuk Daya Saing Bangsa”. Tema itu sangat berkaitan dengan salah satu masalah yang tengah mengancam perjalanan bangsa ini dalam 10 tahun mendatang, krisis pangan.

Konsentrasi di bidang pangan ditujukan untuk meningkatkan nilai tambah hasil pertanian, sekaligus mengajak kita berkontemplasi sejenak melihat situasi terkini Indonesia yang masih jauh dari makna kemajuan sesungguhnya. Masyarakat Indonesia yang mengalami gizi buruk masih banyak. Aroma campur tangan asing begitu kental dalam pembangunan ketahanan pangan.

Kesan itulah yang segera tersirat saat melihat statistik nilai pangan impor negeri ini. Rendahnya penguasaan teknologi pangan lokal menyebabkan devisa negara senilai Rp 125 triliun terkuras setiap tahun guna mengimpor pangan. Nilainya jauh melampaui total anggaran sektor pertanian yang tahun ini hanya Rp 15,38 triliun.

Jika dana sebesar itu diinvestasikan bagi percepatan perbaikan teknologi budidaya, teknologi pascapanen, dan teknologi pengolahan pangan dan hasil pertanian, Indonesia akan merdeka dari penjajahan pangan impor.

Mengimpor Pangan

Pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY)-Boediono masih tetap konsisten dengan hobi barunya, mengimpor pangan. Data terkini dari Kementerian Pertanian (Kementan), ada tujuh komoditas pangan pokok yang harus diimpor.

 Itu belum termasuk garam, hortikultura, dan pangan olahan. Suatu saat–cepat atau lambat–kebiasaan yang tidak baik ini akan menuai rawan pangan yang sudah lama menjadi keprihatinan masyarakat pemerhati ketahanan pangan.

Komoditas gandum hampir seluruhnya impor untuk kebutuhan bahan baku roti dan mi. Porsi impor kedelai mencapai 70 persen. Krisis kedelai selalu menjadi kalender tahunan selama negeri ini menggantungkan kebutuhannya ke pasokan impor.

Para perajin tempe dan tahu yang sudah puluhan tahun menekuni usaha ini mengerang kesakitan karena berhadapan dengan defisit bahan baku. Harganya semakin mahal karena Amerika Serikat (AS), pemasok utama kedelai dunia, menghadapi kekeringan berkepanjangan yang sudah menurunkan hasil panen mereka.

Pemerintah cenderung memilih langkah gampang dengan mengimpor pangan jika terjadi kelangkaan pasokan. Ketergantungan yang tinggi terhadap impor seharusnya menyadarkan kita untuk terus berinovasi guna percepatan kebangkitan teknologi pangan dan hasil pertanian. Selain hasilnya untuk mencapai ketahanan pangan yang mandiri dan berdaulat, ini akan menciptakan lapangan pekerjaan baru di pedesaan.

Upaya pemerintah meningkatkan produksi beras nasional patut diapresiasi karena menyangkut hajat hidup orang banyak. Pemerintahan SBY sudah lama mencanangkan produksi beras nasional mesti surplus 10 juta ton pada 2014. Meski disadari upaya itu bukan perkara mudah, pemerintah tetap optimistis target itu dapat dicapai jika semua pihak mendukung sepenuhnya.

Namun, tumpahan perhatian ke komoditas padi ini hendaknya jangan membuat kita lantas alpa membangun komoditas pangan penting lain, yang saat ini masih diimpor. Tingginya ketergantungan terhadap impor dan rapuhnya kedaulatan pangan selama ini tak bisa dilepas dari minimnya perhatian pemerintah ke perbaikan inovasi dan teknologi pertanian. Indonesia kini tertinggal dalam inovasi di bidang pangan lokal.

Mendorong Inovasi

Cara pemerintah menjaga stabilitas ketersediaan pangan dengan membuka keran impor sesungguhnya adalah sebuah ironi. Fakta itu amat menyedihkan karena kita acap menyebut diri sebagai bangsa agraris yang mayoritas penduduknya memeras keringat di sektor pertanian.

Namun, mereka mengalami pemiskinan karena digilas kebijakan pangan pemerintah yang pro impor. Para petani sebagai konsumen bukannya menikmati manisnya harga pangan yang melonjak. Mereka justru dijerat harga kebutuhan pokok yang merangkak naik.

Cengkeraman pangan impor yang semakin kuat akan membahayakan ketahanan ekonomi nasional. Kini Indonesia makin sulit keluar dari ”perangkap pangan” (food trap) impor ciptaan kapitalisme global yang dimainkan negara maju. Enam komoditas pangan utama nonberas, yakni gandum, kedelai, jagung, daging sapi, daging ayam ras, dan telur ayam ras sangat bergantung kepada impor dan dalam kategori kritis.

Pemerintah semakin tidak mampu mengatasi persoalan itu. Dari waktu ke waktu, tidak ada perkembangan berarti yang dicapai anak bangsa di bidang teknologi dan inovasi pertanian untuk memasok pangan lokal yang cukup. Justru sebaliknya, keadaan malah makin parah karena rendahnya penguasaan teknologi pertanian di tingkat petani.

Karena itu, perlu upaya berkelanjutan untuk mendorong inovasi dan teknologi pertanian modern kepada pelaku usaha agribisnis. Ini guna menghasilkan produk pangan lokal yang berdaya saing tinggi.

Pada tahun politik ini, ruang impor pangan kian mudah diisi para mafia pangan yang hendak mendulang keuntungan. Hipotesisnya untuk meredam gejolak sosial akibat kian mahalnya harga pangan maka kebutuhan dasar ini harus tersedia dengan harga terjangkau. Impor menjadi pilihan ketimbang memproduksi lewat lahan petani lokal.

Sudah saatnya pemerintah membuat kebijakan baru untuk menetaskan produk “pangan untuk indonesia” atau pangkin. Produk ini harus berbasis sumber daya lokal, seperti sagu, pisang, sorgum, jagung, singkong, ubi jalar, dan umbi-umbian lain. Pangkin didorong untuk dapat menyubstitusi beras rakyat miskin (raskin). Laju konsumsi pangan nonberas berbasis sumber daya lokal ini akan terdongkrak dan jumlah raskin pada masa datang bakal semakin berkurang.

Dari perspektif kedaulatan pangan, pangkin berimplikasi ke meningkatnya percepatan penganekaragaman konsumsi pangan, seperti kontrak politik menteri pertanian (mentan) dengan Presiden SBY, yakni mewujudkan penganekaragaman konsumsi pangan berbasis sumber daya lokal yang beragam, bergizi, seimbang ,dan aman (B2SA). Tentu ini untuk mengurangi laju konsumsi beras sebesar 1,5 persen tiap tahun.

Konfigurasi kabinet pemerintahan hasil Pemilu 2014 diharapkan berkinerja kuat dalam pembangunan ketahanan pangan yang mandiri dan berdaulat. Kebangkitan teknologi pangan lokal menjadi kata kunci untuk mengerem laju pangan impor.

Program pangkin harus dirancang agar bisa bersinergi dengan upaya percepatan pengembangan agroteknoindustri pangan di pedesaan. Jadi, petani bisa menikmati nilai tambah dari hasil pertaniannya, sekaligus mengerem gelombang urbanisasi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar