Kebangkitan
Teknologi Pangan (Lokal)
Posman Sibuea ;
Guru Besar Tetap di
jurusan Teknologi Hasil Pertanian Unika Santo Thomas-Sumatera Utara, Pendiri
dan Direktur Center for National Food Security Research
|
SINAR
HARAPAN, 13 Agustus 2014
Hari Kebangkitan Teknologi Nasional (Hakteknas) merupakan salah
satu hari bersejarah nasional yang diperingati setiap tahun pada 10 Agustus.
Tahun ini, Hakteknas diperingati untuk yang ke-19 kalinya,
dengan mengangkat tema “Inovasi Pangan, Energi dan Air untuk Daya Saing
Bangsa”. Tema itu sangat berkaitan dengan salah satu masalah yang tengah
mengancam perjalanan bangsa ini dalam 10 tahun mendatang, krisis pangan.
Konsentrasi di bidang pangan ditujukan untuk meningkatkan nilai
tambah hasil pertanian, sekaligus mengajak kita berkontemplasi sejenak
melihat situasi terkini Indonesia yang masih jauh dari makna kemajuan
sesungguhnya. Masyarakat Indonesia yang mengalami gizi buruk masih banyak.
Aroma campur tangan asing begitu kental dalam pembangunan ketahanan pangan.
Kesan itulah yang segera tersirat saat melihat statistik nilai
pangan impor negeri ini. Rendahnya penguasaan teknologi pangan lokal
menyebabkan devisa negara senilai Rp 125 triliun terkuras setiap tahun guna
mengimpor pangan. Nilainya jauh melampaui total anggaran sektor pertanian
yang tahun ini hanya Rp 15,38 triliun.
Jika dana sebesar itu diinvestasikan bagi percepatan perbaikan teknologi
budidaya, teknologi pascapanen, dan teknologi pengolahan pangan dan hasil
pertanian, Indonesia akan merdeka dari penjajahan pangan impor.
Mengimpor Pangan
Pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY)-Boediono masih tetap
konsisten dengan hobi barunya, mengimpor pangan. Data terkini dari
Kementerian Pertanian (Kementan), ada tujuh komoditas pangan pokok yang harus
diimpor.
Itu belum termasuk garam,
hortikultura, dan pangan olahan. Suatu saat–cepat atau lambat–kebiasaan yang
tidak baik ini akan menuai rawan pangan yang sudah lama menjadi keprihatinan
masyarakat pemerhati ketahanan pangan.
Komoditas gandum hampir seluruhnya impor untuk kebutuhan bahan
baku roti dan mi. Porsi impor kedelai mencapai 70 persen. Krisis kedelai
selalu menjadi kalender tahunan selama negeri ini menggantungkan kebutuhannya
ke pasokan impor.
Para perajin tempe dan tahu yang sudah puluhan tahun menekuni
usaha ini mengerang kesakitan karena berhadapan dengan defisit bahan baku.
Harganya semakin mahal karena Amerika Serikat (AS), pemasok utama kedelai
dunia, menghadapi kekeringan berkepanjangan yang sudah menurunkan hasil panen
mereka.
Pemerintah cenderung memilih langkah gampang dengan mengimpor
pangan jika terjadi kelangkaan pasokan. Ketergantungan yang tinggi terhadap
impor seharusnya menyadarkan kita untuk terus berinovasi guna percepatan
kebangkitan teknologi pangan dan hasil pertanian. Selain hasilnya untuk
mencapai ketahanan pangan yang mandiri dan berdaulat, ini akan menciptakan
lapangan pekerjaan baru di pedesaan.
Upaya pemerintah meningkatkan produksi beras nasional patut
diapresiasi karena menyangkut hajat hidup orang banyak. Pemerintahan SBY
sudah lama mencanangkan produksi beras nasional mesti surplus 10 juta ton
pada 2014. Meski disadari upaya itu bukan perkara mudah, pemerintah tetap
optimistis target itu dapat dicapai jika semua pihak mendukung sepenuhnya.
Namun, tumpahan perhatian ke komoditas padi ini hendaknya jangan
membuat kita lantas alpa membangun komoditas pangan penting lain, yang saat
ini masih diimpor. Tingginya ketergantungan terhadap impor dan rapuhnya
kedaulatan pangan selama ini tak bisa dilepas dari minimnya perhatian
pemerintah ke perbaikan inovasi dan teknologi pertanian. Indonesia kini
tertinggal dalam inovasi di bidang pangan lokal.
Mendorong Inovasi
Cara pemerintah menjaga stabilitas ketersediaan pangan dengan
membuka keran impor sesungguhnya adalah sebuah ironi. Fakta itu amat
menyedihkan karena kita acap menyebut diri sebagai bangsa agraris yang
mayoritas penduduknya memeras keringat di sektor pertanian.
Namun, mereka mengalami pemiskinan karena digilas kebijakan
pangan pemerintah yang pro impor. Para petani sebagai konsumen bukannya
menikmati manisnya harga pangan yang melonjak. Mereka justru dijerat harga
kebutuhan pokok yang merangkak naik.
Cengkeraman pangan impor yang semakin kuat akan membahayakan
ketahanan ekonomi nasional. Kini Indonesia makin sulit keluar dari ”perangkap
pangan” (food trap) impor ciptaan kapitalisme global yang dimainkan negara
maju. Enam komoditas pangan utama nonberas, yakni gandum, kedelai, jagung,
daging sapi, daging ayam ras, dan telur ayam ras sangat bergantung kepada
impor dan dalam kategori kritis.
Pemerintah semakin tidak mampu mengatasi persoalan itu. Dari
waktu ke waktu, tidak ada perkembangan berarti yang dicapai anak bangsa di
bidang teknologi dan inovasi pertanian untuk memasok pangan lokal yang cukup.
Justru sebaliknya, keadaan malah makin parah karena rendahnya penguasaan
teknologi pertanian di tingkat petani.
Karena itu, perlu upaya berkelanjutan untuk mendorong inovasi
dan teknologi pertanian modern kepada pelaku usaha agribisnis. Ini guna
menghasilkan produk pangan lokal yang berdaya saing tinggi.
Pada tahun politik ini, ruang impor pangan kian mudah diisi para
mafia pangan yang hendak mendulang keuntungan. Hipotesisnya untuk meredam
gejolak sosial akibat kian mahalnya harga pangan maka kebutuhan dasar ini
harus tersedia dengan harga terjangkau. Impor menjadi pilihan ketimbang
memproduksi lewat lahan petani lokal.
Sudah saatnya pemerintah membuat kebijakan baru untuk menetaskan
produk “pangan untuk indonesia” atau pangkin. Produk ini harus berbasis
sumber daya lokal, seperti sagu, pisang, sorgum, jagung, singkong, ubi jalar,
dan umbi-umbian lain. Pangkin didorong untuk dapat menyubstitusi beras rakyat
miskin (raskin). Laju konsumsi pangan nonberas berbasis sumber daya lokal ini
akan terdongkrak dan jumlah raskin pada masa datang bakal semakin berkurang.
Dari perspektif kedaulatan pangan, pangkin berimplikasi ke
meningkatnya percepatan penganekaragaman konsumsi pangan, seperti kontrak
politik menteri pertanian (mentan) dengan Presiden SBY, yakni mewujudkan
penganekaragaman konsumsi pangan berbasis sumber daya lokal yang beragam,
bergizi, seimbang ,dan aman (B2SA). Tentu ini untuk mengurangi laju konsumsi
beras sebesar 1,5 persen tiap tahun.
Konfigurasi kabinet pemerintahan hasil Pemilu 2014 diharapkan
berkinerja kuat dalam pembangunan ketahanan pangan yang mandiri dan
berdaulat. Kebangkitan teknologi pangan lokal menjadi kata kunci untuk
mengerem laju pangan impor.
Program pangkin harus dirancang agar bisa bersinergi dengan
upaya percepatan pengembangan agroteknoindustri pangan di pedesaan. Jadi,
petani bisa menikmati nilai tambah dari hasil pertaniannya, sekaligus
mengerem gelombang urbanisasi. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar