Simplicity
Rhenald Kasali ;
Pendiri Rumah Perubahan
@Rhenald_Kasali
|
JAWA
POS, 13 Agustus 2014
ANDA tahu Swiss Army? Kita bisa menyebutnya sebagai alat
serbaguna. Ada pisau, obeng, bahkan juga kikir, pembuka botol, serta korek
kuping. Betul-betul serbaguna.
Apa yang menjadi kekuatan Swiss Army? Selain serbaguna, menurut
saya, justru karena simpelnya. Apanya yang simpel? Lihat saja, jika ingin
memakai pisau, kita cukup mengeluarkan bagian pisaunya saja. Bagian yang lain
tetap tersimpan. Begitu pula jika kita ingin memakai yang lain, yang tidak
ingin dipakai tetap tersimpan. Betul-betul simpel.
Idenya dimulai pada 1884 oleh Karl Elsener yang kemudian
berkembang menjadi perusahaan besar yang meneruskan tradisi kualitas dan
spirit buatan Swiss. Perusahaannya, Victorinox, kini juga memasuki industri travel gear, fashion and fragrances.
Semua sukses karena prinsip simplicity
tersebut.
Prinsip itu kemudian ditiru banyak inovator. Semakin canggih,
harus semakin simpel. Bukan njlimet.
Persis kata Leonardo da Vinci, ’’Simplicity
is the ultimate sophistication’’. Dan itulah modal keberhasilan
Microsoft, Apple, Samsung, Toyota, dan sebagainya.
Mendiang Steve Jobs menyebut prinsip stay foolish. Maksudnya,
buatlah seakan-akan penggunanya orang bodoh. Itu tecermin pada gadget-gadget
buatan Apple. Lihatlah iPod. Di sana hanya ada lima tombol. Juga iPad. Hanya
fitur-fitur yang ingin kita pakai yang perlu kita munculkan. Lainnya biarkan
tersimpan.
Hasilnya, Apple begitu menguasai pasar sehingga bisa sedikit
sombong, ’’Di dunia hanya ada dua
pengguna komputer, yakni pemakai Apple dan mereka yang ingin memakai Apple.’’
Tapi, jangan tanya rumitnya teknologi yang ada di belakangnya
untuk membuatnya menjadi simpel bagi para penggunanya. Jobs mengatakan, ’’Mantra saya adalah fokus dan simpel.
Untuk itu, buatlah pikiran Anda benar-benar bersih.’’
Dibuat Rumit
Kalau Anda mau menilai apakah gagasan Anda simpel atau rumit,
ilmuwan Albert Einstein punya caranya. Katanya, ’’Kalau Anda tidak bisa
menjelaskan gagasan Anda kepada anak berusia 6 tahun, berarti Anda sendiri
tidak mengerti isi gagasan Anda.’’
Di kita, yang terjadi kerap sebaliknya. Di sekolah, anak-anak
balita kita sebetulnya hanya perlu diajak bermain seraya diajari berperilaku
yang baik. Tapi, kita membuatnya menjadi rumit dengan mengajari mereka
membaca dan berhitung.
Di luar negeri, anak-anak SMA sejak awal hanya fokus pada
beberapa mata pelajaran dan mendalam. Jadi, cukup membawa beberapa buah buku.
Di kita, kasihan anak-anak sekolah yang terbungkuk-bungkuk membawa puluhan
buku, seakan-akan harus tahu semua hal.
Demikian pula untuk menaikkan harga BBM, sebenarnya jauh lebih
simpel dan adil –tidak diskriminatif. Tapi, kita memilih cara yang lebih
rumit, yakni dengan mengendalikan konsumsi BBM bersubsidi. Cara itu terasa
kurang adil bagi SPBU-SPBU di jalan tol.
Pekan-pekan ini perhatian kita akan terpusat ke Mahkamah
Konstitusi. Di sana, salah satu pasangan capres dan timnya tengah berjuang
agar hasil pemilu berpihak kepada mereka. Sebagian di antara kita mungkin
tidak mengerti. Apa gunanya berumit-rumit mengerahkan ratusan pengacara dan
ribuan saksi? Kata hakim MK, yang penting buktinya kuat atau tidak. Apalagi
di mata rakyat sesungguhnya sudah selesai. Maksudnya, pemilu sudah selesai.
Benar kata Kong Hu Cu, orang bijak dan filsuf Tiongkok, ’’Hidup itu sesungguhnya sederhana. Tapi,
kitalah yang membuatnya jadi rumit.’’ ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar