Maskulinitas
Baru
Esthi Susanti Hudiono ;
Direktur Eksekutif Yayasan
Hotline Surabaya
|
JAWA
POS, 13 Agustus 2014
ADA dua bisnis baru yang membuka ruang kenakalan dan kriminalitas
anak. Pertama, bisnis sepeda motor yang meningkat drastis beberapa tahun
terakhir ini. Dengan uang Rp 500 ribu, seseorang bisa memiliki sepeda motor.
Akibatnya, akses masyarakat, termasuk anak laki-laki, untuk mendapatkan
sepeda motor terbuka lebar-lebar. Kaitannya dengan peningkatan kecelakaan di
jalan sudah terbukti. Dampak lain yang perlu dibuktikan adalah peningkatan
kenakalan dan kriminalitas oleh anak.
Sepeda motor meningkatkan secara drastis geng motor di kalangan
anak baru gede (ABG). Fenomena geng motor muncul di mana-mana, baik di kota
besar maupun kecil. Sepeda motor menjadi simbol untuk mempertontonkan
maskulinitas laki-laki. Berfungsi sebagai alat mendekati anak perempuan
dengan kesediaan menjadi tukang ojek, mempertontonkan keberanian dengan adu
kecepatan, mendapat kebanggaan karena berani melawan ketentuan lalu lintas
jalan dan polisi sebagai penjaga gawang, serta menjadi ajang berjudi. Juga,
kriminalitas anak yang melakukan pencurian sepeda motor dan perampokan mulai
meningkat.
Di Bandung, geng motor sudah terkait dengan seks bebas serta
pelacuran. Anak perempuan berlomba bisa diterima anak-anak geng. Mereka
merasa tersanjung menjadi bagian dari geng keren. Karena itu, mereka mau
membayar harga apa pun. Setelah diterima, mereka bersedia digilir dan
melayani kebutuhan seks anggota geng. Anak-anak perempuan itu kemudian
terlibat merokok, minuman keras, dan narkoba. Guna mendapat uang untuk
membeli barang-barang pemacu adrenalin dan kenyamanan tersebut, anak-anak
perempuan itu masuk dalam dunia pelacuran. Informasi tersebut saya dapatkan
dari studi lapangan ke lembaga-lembaga yang menanggulangi eksploitasi seksual
pada anak perempuan tahun lalu. Saya yakin hal itu juga terjadi di kota lain,
hanya perlu dicari bukti.
Kedua, bisnis media online dari warnet dan gadget yang juga
mudah didapatkan hampir semua orang membuka akses untuk melihat pornografi.
Semua anak laki-laki yang memiliki gadget mau tidak mau dengan mudah bisa
melihat foto porno serta tawaran yang disampaikan. Melihat dan mendiskusikan
foto porno pada usia yang lebih dini menjadi kebiasaan anak-anak laki-laki
masa kini. Implikasinya, mereka mencari pelampiasan dorongan seks yang
muncul. Yang terbuka menerima dorongan seks anak laki-laki adalah penjaja
seks, terutama yang telah kehilangan banyak klien. Lalu, mereka dengan mudah
masuk ke dalam seks bebas dan menuntut hubungan seks dengan anak perempuan
yang bersedia menjadi pacarnya.
Dampaknya adalah meningkatnya kehamilan anak perempuan usia SMP
dan SMA yang dilakukan sesama anak. Orang tua anak perempuan memandang pacar
anaknya sebagai pelaku tindak kriminal, sedangkan aparat hukum melihat
masalah tersebut sebagai tindak asusila/percabulan. Sementara itu, sekolah
belum melihat hal tersebut sebagai urusan yang harus diatasi. Setiap masa
ujian sekarang, selalu terangkat masalah anak hamil boleh ikut ujian atau
tidak di media massa. Kehamilan anak merupakan masalah pendidikan yang belum
terpecahkan. Anak hamil kehilangan masa depannya karena tidak bisa
melanjutkan sekolah dan terikat untuk merawat anak. Sementara itu, laki-laki
yang menghamili bisa bebas dan bisa menghamili anak perempuan lainnya dengan
hak sekolahnya tidak dicabut. Kalau pelakunya adalah laki-laki dewasa,
definisi sudah jelas, yakni tindak kriminal.
Praktik maskulinitas saat ini adalah mengutamakan keberanian.
Sayangnya, definisi dan arti keberanian ditentukan anak sendiri. Pendidikan
keluarga dan sekolah sama sekali belum terlibat dalam pembentukan
maskulinitas anak. Mereka menjadi anak laki-laki berdasar persepsi sendiri
dengan input dari media massa serta orang-orang sekitar. Maskulinitas dan
feminitas yang berlaku saat ini merupakan produk budaya patriarki. Struktur
dan nilai persamaaan serta keadilan yang diusahakan terus oleh aktivis gender
dan praktik bisnis yang berdampak pada pembentukan feminitas dan maskulinitas
membuat nilai-nilai lama tentang maskulinitas serta feminitas tidak produktif
lagi. Ruang kenakalan dan kriminalitas karena maskulinitas yang salah
dipraktikkan telah terbuka lebar. Kalau tidak ada intervensi pendidikan,
sudah jelas kita membiarkan anak-anak menjadi pelacur dan pelaku tindak
kriminal.
Saat ini pendidikan tidak mau melaksanakan tugasnya mendidik
anak nakal. Sangat banyak sekolah negeri maupun swasta yang mengambil
kebijakan mengeluarkan anak hamil dan anak-anak nakal yang suka berkelahi
serta melakukan kenakalan lainnya. Ke mana mereka? Tiadanya sekolah yang
bersedia mendidik sudah pasti akan meningkatkan kenakalan mereka sampai
berakhir menjadi pelaku tindak kriminal. Kalau mereka masih ada di usia anak,
sistem pengadilan kita saat ini menganut sistem keadilan restorasi yang
cenderung tidak memenjarakan anak.
Ke mana lagi mereka akan dipulihkan? Sekolah belum siap dan
bersedia memulihkan mereka. Keluarga juga bukan tempat anak bisa memulihkan
diri. Ini merupakan pengakuan polisi yang mengurus anak yang berhadapan
dengan hukum dalam diskusi publik yang kami adakan. Malahan, keluarga
memperparah kenakalan anak karena salah didik, korban kekerasan, dan
penelantaran.
Semoga revolusi mental dalam kaitannya dengan pendidikan
karakter tidak melupakan urusan mendekonstruksi feminitas dan maskulinitas
sebagai antisipasi serta mencegah kenakalan dan tindak kriminal anak. Kita
sudah tahu peta dan kecenderungannya. Seharusnya kita bisa merancang usaha
untuk mencegahnya. Pencegahan seharusnya dilakukan orang tua dan sekolah.
Mereka wajib menjadikan anak laki-laki mereka memiliki konsep
dan nilai maskulinitas yang sehat. Hasil riset saya menunjukkan, anak
laki-laki masa kini unjuk maskulinitas secara keliru. Kenakalan dan tindak
kriminal yang dilakukan melalui proses panjang dengan keterhubungan satu isu
dengan isu lain. Dimulai dari persepsi tentang maskulinitas yang
dioperasionalkan dalam tindakan yang membahayakan diri dan orang lain. Lalu,
implikasinya adalah menghamili, minum minuman keras, menggunakan narkoba,
merokok, kecelakaan, berjudi, kebiasaan berbohong, dan lain-lain.
Maskulinitas baru seperti apakah yang mau dikontruksikan pada anak laki-laki
melalui pendidikan di keluarga dan sekolah? Mari kita diskusikan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar