Kamis, 14 Agustus 2014

Maskulinitas Baru

                                                    Maskulinitas Baru

Esthi Susanti Hudiono  ;   Direktur Eksekutif Yayasan Hotline Surabaya
JAWA POS, 13 Agustus 2014

                                                                                                                                   

ADA dua bisnis baru yang membuka ruang kenakalan dan kriminalitas anak. Pertama, bisnis sepeda motor yang meningkat drastis beberapa tahun terakhir ini. Dengan uang Rp 500 ribu, seseorang bisa memiliki sepeda motor. Akibatnya, akses masyarakat, termasuk anak laki-laki, untuk mendapatkan sepeda motor terbuka lebar-lebar. Kaitannya dengan peningkatan kecelakaan di jalan sudah terbukti. Dampak lain yang perlu dibuktikan adalah peningkatan kenakalan dan kriminalitas oleh anak.

Sepeda motor meningkatkan secara drastis geng motor di kalangan anak baru gede (ABG). Fenomena geng motor muncul di mana-mana, baik di kota besar maupun kecil. Sepeda motor menjadi simbol untuk mempertontonkan maskulinitas laki-laki. Berfungsi sebagai alat mendekati anak perempuan dengan kesediaan menjadi tukang ojek, mempertontonkan keberanian dengan adu kecepatan, mendapat kebanggaan karena berani melawan ketentuan lalu lintas jalan dan polisi sebagai penjaga gawang, serta menjadi ajang berjudi. Juga, kriminalitas anak yang melakukan pencurian sepeda motor dan perampokan mulai meningkat.

Di Bandung, geng motor sudah terkait dengan seks bebas serta pelacuran. Anak perempuan berlomba bisa diterima anak-anak geng. Mereka merasa tersanjung menjadi bagian dari geng keren. Karena itu, mereka mau membayar harga apa pun. Setelah diterima, mereka bersedia digilir dan melayani kebutuhan seks anggota geng. Anak-anak perempuan itu kemudian terlibat merokok, minuman keras, dan narkoba. Guna mendapat uang untuk membeli barang-barang pemacu adrenalin dan kenyamanan tersebut, anak-anak perempuan itu masuk dalam dunia pelacuran. Informasi tersebut saya dapatkan dari studi lapangan ke lembaga-lembaga yang menanggulangi eksploitasi seksual pada anak perempuan tahun lalu. Saya yakin hal itu juga terjadi di kota lain, hanya perlu dicari bukti.

Kedua, bisnis media online dari warnet dan gadget yang juga mudah didapatkan hampir semua orang membuka akses untuk melihat pornografi. Semua anak laki-laki yang memiliki gadget mau tidak mau dengan mudah bisa melihat foto porno serta tawaran yang disampaikan. Melihat dan mendiskusikan foto porno pada usia yang lebih dini menjadi kebiasaan anak-anak laki-laki masa kini. Implikasinya, mereka mencari pelampiasan dorongan seks yang muncul. Yang terbuka menerima dorongan seks anak laki-laki adalah penjaja seks, terutama yang telah kehilangan banyak klien. Lalu, mereka dengan mudah masuk ke dalam seks bebas dan menuntut hubungan seks dengan anak perempuan yang bersedia menjadi pacarnya.

Dampaknya adalah meningkatnya kehamilan anak perempuan usia SMP dan SMA yang dilakukan sesama anak. Orang tua anak perempuan memandang pacar anaknya sebagai pelaku tindak kriminal, sedangkan aparat hukum melihat masalah tersebut sebagai tindak asusila/percabulan. Sementara itu, sekolah belum melihat hal tersebut sebagai urusan yang harus diatasi. Setiap masa ujian sekarang, selalu terangkat masalah anak hamil boleh ikut ujian atau tidak di media massa. Kehamilan anak merupakan masalah pendidikan yang belum terpecahkan. Anak hamil kehilangan masa depannya karena tidak bisa melanjutkan sekolah dan terikat untuk merawat anak. Sementara itu, laki-laki yang menghamili bisa bebas dan bisa menghamili anak perempuan lainnya dengan hak sekolahnya tidak dicabut. Kalau pelakunya adalah laki-laki dewasa, definisi sudah jelas, yakni tindak kriminal.

Praktik maskulinitas saat ini adalah mengutamakan keberanian. Sayangnya, definisi dan arti keberanian ditentukan anak sendiri. Pendidikan keluarga dan sekolah sama sekali belum terlibat dalam pembentukan maskulinitas anak. Mereka menjadi anak laki-laki berdasar persepsi sendiri dengan input dari media massa serta orang-orang sekitar. Maskulinitas dan feminitas yang berlaku saat ini merupakan produk budaya patriarki. Struktur dan nilai persamaaan serta keadilan yang diusahakan terus oleh aktivis gender dan praktik bisnis yang berdampak pada pembentukan feminitas dan maskulinitas membuat nilai-nilai lama tentang maskulinitas serta feminitas tidak produktif lagi. Ruang kenakalan dan kriminalitas karena maskulinitas yang salah dipraktikkan telah terbuka lebar. Kalau tidak ada intervensi pendidikan, sudah jelas kita membiarkan anak-anak menjadi pelacur dan pelaku tindak kriminal.

Saat ini pendidikan tidak mau melaksanakan tugasnya mendidik anak nakal. Sangat banyak sekolah negeri maupun swasta yang mengambil kebijakan mengeluarkan anak hamil dan anak-anak nakal yang suka berkelahi serta melakukan kenakalan lainnya. Ke mana mereka? Tiadanya sekolah yang bersedia mendidik sudah pasti akan meningkatkan kenakalan mereka sampai berakhir menjadi pelaku tindak kriminal. Kalau mereka masih ada di usia anak, sistem pengadilan kita saat ini menganut sistem keadilan restorasi yang cenderung tidak memenjarakan anak.

Ke mana lagi mereka akan dipulihkan? Sekolah belum siap dan bersedia memulihkan mereka. Keluarga juga bukan tempat anak bisa memulihkan diri. Ini merupakan pengakuan polisi yang mengurus anak yang berhadapan dengan hukum dalam diskusi publik yang kami adakan. Malahan, keluarga memperparah kenakalan anak karena salah didik, korban kekerasan, dan penelantaran.

Semoga revolusi mental dalam kaitannya dengan pendidikan karakter tidak melupakan urusan mendekonstruksi feminitas dan maskulinitas sebagai antisipasi serta mencegah kenakalan dan tindak kriminal anak. Kita sudah tahu peta dan kecenderungannya. Seharusnya kita bisa merancang usaha untuk mencegahnya. Pencegahan seharusnya dilakukan orang tua dan sekolah.

Mereka wajib menjadikan anak laki-laki mereka memiliki konsep dan nilai maskulinitas yang sehat. Hasil riset saya menunjukkan, anak laki-laki masa kini unjuk maskulinitas secara keliru. Kenakalan dan tindak kriminal yang dilakukan melalui proses panjang dengan keterhubungan satu isu dengan isu lain. Dimulai dari persepsi tentang maskulinitas yang dioperasionalkan dalam tindakan yang membahayakan diri dan orang lain. Lalu, implikasinya adalah menghamili, minum minuman keras, menggunakan narkoba, merokok, kecelakaan, berjudi, kebiasaan berbohong, dan lain-lain. Maskulinitas baru seperti apakah yang mau dikontruksikan pada anak laki-laki melalui pendidikan di keluarga dan sekolah? Mari kita diskusikan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar