Kata
Agus M Irkham ;
Pegiat Literasi
|
KORAN
TEMPO, 13 Agustus 2014
Naga-naganya, pelajaran pertama untuk calon politikus adalah
berbahasa Indonesia yang baik dan benar. Sebab, selama ini yang terucap
seringkali justru menegaskan semakin lebarnya jarak mereka dengan realitas
sosial yang ada. Muter-muter, berbelit-belit, lebay, abstrak, dan pemaksaan
logika makna alias ngeyel.
Paling dekat dalam konteks kejadian seusai pilpres adalah
terlontarnya kata "titisan Allah", "perkosa", dan
"mendesak Allah". Barangkali yang dimaksudkan bukan titisan,
melainkan representasi hadirnya kemanajerialan Tuhan di muka bumi. Mungkin
yang dimaksudkan bukan pemerkosaan, melainkan dipaksa untuk menerima
ketidakadilan-minimal dari segi si pengucapnya. Sangat boleh jadi yang
dimaksudkan memohon dengan penuh harap bukan mendesak. Dalam pandangan sufistik,
mendesak Tuhan itu tidak sopan, tidak punya adab, kurang ajar. Kecuali
mendesak itu diberi tanda petik, sehingga orang menjadi mafhum bahwa kata itu
bermakna konotatif.
Bahasa termasuk realitas sosial. Penggunaan kata titisan,
mendesak, dan perkosa, dan entah belakangan apa lagi yang dipaksakan,
menunjukkan ketidakpahaman terhadap realitas sosial. Dalam pandangan saya,
kesalahan berucap bermula dari kesalahan berpikir. Kesalahan berpikir bermula
dari kegagalan memaknai kata. Maka belajarlah bahasa. Karena dengan itu kita
disebut manusia. Jadi rasa-rasanya kita tidak perlu bertanya apa yang sudah
dilakukan oleh seseorang, jika berkata-kata saja salah melulu.
Aksi adalah tafsir atas makna kata. Kita dikepung oleh
keadaan-keadaan yang kunci sebenarnya adalah semakin hilangnya pemahaman
terhadap kata. Di Indonesia, dan bahkan di mayoritas negara di dunia,
masalah-masalah yang dihadapi lahir dari keengganan orang untuk membaca
(iqra). Malas meneroka epistemologi kata-kata kunci dalam kehidupan. Padahal
sehebat-hebatnya prestasi orang, yang bermanfaat pada publik adalah inspirasi
yang dibangkitkan bukan hanya oleh perbuatan, tapi juga oleh lebih banyak
kata. Begitu kata Wimar dalam buku Sweet Nothings-nya.
Hanya, ini yang tidak boleh luput, memahami kata saja tidak
cukup. Kalau sebatas belajar berbahasa yang baik dan benar, nanti hasilnya
sekadar politikus salon yang pintar bermain retorika. Nah, biar para
politikus tidak berjarak dengan realitas sosial, mereka harus bekerja konkret
dengan cara turun ke bawah bersama rakyat. Blusukan, mendengar dan belajar
mengolah permasalahan bersama rakyat untuk menemukan jalan keluar demi
kebaikan bersama.
Dalam pandangan salah satu kolega saya sesama pegiat budaya
baca, Faiz Ahsoel-dalam sebuah diskusi dengan saya di media sosial--melalui
turba seorang (calon) politikus tidak saja mampu bersimpati, tapi juga punya
empati pada realitas sosial masyarakatnya. Kemudian otaknya menafsir akan
berkata seperti apa, dan tindakan kerja konkretnya bagaimana. Kalau orang tua
dulu bilang, antara niat, ucapan, dan tindakan itu harus sama.
Untuk bisa membuka hati dan berempati, salah satu jalannya
adalah turba. Blusukan. Melihat langsung kondisi rakyatnya. Merasakan
langsung kondisi yang dialami rakyatnya dan mengekspresikan hasil kesepakatan
bersama rakyatnya untuk gugur gunung menuntaskan persoalan bersama yang tidak
mementingkan kaum elite. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar