Simbol,
Kupat, Lepet, dan Lepat
Wijanarto ; Magister Ilmu Sejarah Universitas Diponegoro, Warga Brebes
|
SUARA
MERDEKA, 04 Agustus 2014
"Kolektivitas dan
luruhnya antagonisme dan konflik ditutup dengan hidangan khas Idul Fitri:
ketupat atau kupat"
Meskipun perkembangan Islam di Jawa tak terdokumentasikan dengan
baik, jejak Islam berkembang dinamis dalam bentuk lain. Artinya, selain
kelangkaan —katakanlah minim data tertulis/manuskrip— gairah perkembangan
Islam terlacak melalui pergumulan ragam budaya lokal. Pergumulan inilah yang
oleh Merle Calvin Ricklefs dalam Islamisation
and Its Opponents in Java (2012) disebut proses yang diwarnai perbedaan
dan kepelikan.
Tapi justru dari proses itulah Islam melahirkan budaya hibrid
yang mengakomodasi Islam sebagai syariat dan Jawa sebagai entitas budaya.
Terdapat beberapa makna simbolis yang senantiasa membuktikan bahwa proses
penyebaran dan perkembangan Islam menunjukkan akselerasi yang saling
memengaruhi proses perubahan sosial. Ada semacam proses saling menerima.
Proses akomodasi yang idiosinkratik itulah oleh Ricklefs disebut
sintesis mistik.Termasuk di dalamnya ‘’hiruk-pikuk’’ Idul Fitri, yang tidak
luput dari proses akomodasi. Berakhirnya bulan Ramadan yang dalam doktrin
teologi Islam disebut sebagai syahru l-barokah, perlu ditutup dengan ritus
yang penuh kegembiraan.
Bagi masyarakat Nusantara, terutama penganut Islam, melepaskan
Ramadan tidak kalah heboh dari menyambut kedatangan bulan suci itu. Keyakinan
mereka adalah Ramadan mengajarkan proses komunalitas manusia di hadapan Tuhan
dengan penuh keimanan. Pada perspektif inilah Andre Moller dalam buku Ramadhan di Jawa: Pandangan dari Luar
(2005) menyebut Ramadan sebagai entitas liminalitas.
Khazanah budaya lokal yang berakomodasi dengan mozaik Islam
dalam menyambut Ramadan di antaranya tradisi unggah-unggahan, padusan, dan
resik kubur. Di beberapa kota di Jateng kita bisa melihat misalnya di
Semarang terdapat Dugderan dengan warak ngendoknya, dan di Kudus ada tradisi
Dandangan. Budaya lokal yang dinapasi khazanah Islam mencerminkan keunikan.
Intinya bagaimana masyarakat bersiap menyambut bulan suci itu
dengan berbagai macam ritus penuh kegembiraan. Demikian halnya melepas
Ramadan hingga memasuki bulan Syawal. Akhir Ramadan yang ditafsiri sebagai
gerbang pengampunan diakomodasi dalam laku simbol budaya. Proses rekonsiliasi
kultural antara Islam dan Jawa berlangsung dalam dinamika kesejarahan yang
panjang.
Makna Halal
Proses saling memaafkan dan memaknai substansi manusia dilakukan
melalui halalbihalal. Menurut KH Mustofa Bisri, istilah halalbihalal tak ada
dalam entri Bahasa Arab. Realitas itu murni kreativitas masyarakat Nusantara,
kata Gus Mus yang juga budayawan. Istilah itu merujuk pada makna halal yang
kemudian ditafsirkan saling ‘’menghalalkan’’ atau fitri.
Simbolisme halalbihalal
mewujudkan ruang pertemuan antarmanusia menjadi esensi yang melibatkan
kemauan dan kesadaran mengaku lepat (bersalah). Ruang-ruang silahturahmi
digelar dalam komunitas keluarga, bani/trah, lingkungan seprofesi, komunitas
pergaulan, dan sebagainya. Apa pun namanya seperti sungkeman, reuni, open house, tetap jadi bagian
institusi silahturahmi.
Kolektivitas dan luruhnya antagonisme dan konflik ditutup dengan
hidangan khas Idul Fitri: ketupat atau kupat. Simbol kupat merupakan
penafsiran atas ngaku lepat (merasa bersalah). Ketupat memaknai simbol
idiosinkratik yang secara esensi mewajibkan manusia bersedia mengakui
kesalahan sekaligus mau memaafkan orang lain.
Seminggu setelah Lebaran ditutup dengan ritus kembali merekatkan
cita manusia ke fitrah melalui penganan lepet atau lopis. Sampai sekarang di
Pekalongan ada tradisi Lopisan, sedangkan di Tegal dan Brebes ada tradisi
saling mengirim lepet. Dua penganan berbahan ketan itu disimbolkan bisa
menjadi perekat manusia untuk menuju kefitrian. Fitri tak sekadar merekatkan ukhuwah Islamiyah tapi juga hubungan
antarmanusia. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar