Kamis, 07 Agustus 2014

Ahmad Dhani, Media, dan Kebebasan Berekspresi

Ahmad Dhani, Media, dan Kebebasan Berekspresi

Deny Humaedi Muhammad ;   Baladewa Kritis Indonesia,
Bergiat di Indonesian Culture Academy (INCA) Jakarta
OKEZONENEWS, 05 Agustus 2014

                                                                                                                                   

Rasanya sangat sulit menampik eksistensi, prestasi, dan kehebatan Ahmad Dhani dari jagat hiburan Indonesia. Dari mulai keberhasilannya membesarkan Dewa 19,  bisnis Republik Cinta Management (RCM) dan bisnis-bisnis lainnya, hingga pernyataan kontroversialnya adalah lembaran-lembaran peristiwa yang semakin mempopulerkan namanya. Karena itu, Ahmad Dhani menjadi buruan para kuli tinta untuk suatu berita.

Ajang kontestasi musik bergengsi  pun tak ketinggalan memanfaatkan kehebatan Dhani untuk menjadi juri dalam mencari dan meramu bakat baru. Lebih dari itu semakin banyaknya para calon penyanyi baru yang ingin mendapat sentuhannya demi jaminan kesuksesan berkarir.

Tetapi, Ahmad Dhani musisi yang berbeda. Musik dan bisnis tak cukup membuat dahaganya berkurang. Wilayah bidikannya kian meluas. Misalnya saja beberapa tahun terakhir ini. Tidak saja mengomentari perkembangan musik Indonesia, sejumlah persoalan yang santer menjadi bahan pembicaraan publik pun tak luput dari perhatiannya. Persoalan sosial, agama, dan politik menjadi wadah baru untuk mengukuhkan  eksistensinya di dunia publik.

Paling terbaru adalah soal pernyataannya yang bikin heboh dunia media sosial. Pada akun twiternya Ahmad Dhani dengan terang menulis bahwa dirinya bersedia akan memotong kemaluannya jika Jokowi menang dalam pilpres 2014 meski pada akhirnya ia mengklaim itu adalah ulah para hacker yang benci pada dirinya.

Tidak hanya Ahmad Dhani  yang mengekspresikan pendapatnya lewat media. Banyak sejumlah artis melakukan hal serupa. Namun Dhani adalah pengecualian. Ada beberapa alasan mengapa kicauan-kicauan Dhani menjadi perhatian penulis.

Pertama, Dhani adalah salah satu musisi berpengaruh yang dimiliki di Indonesia. Hal ini dapat kita lihat pada sejumlah fakta yang tersaji. Lirik-lirik karya Dhani sering jadi inspirasi para penggemarnya dalam kehidupan sehari-hari. Pernyataannya acap dijadikan tolak ukur baladewa (sebutan fans Dewa). Pun dengan gaya dan fashion yang dikenakannya kerap diturut fans fanatiknya.

Kedua, keberanian Dhani berpendapat berbeda mengenai persoalan yang dianggap menarik bagi perkembangan Indonesia termasuk langka di kalangan pesohor publik (selebritis). Keberanian berbeda pendapat ini, yang bahkan sering kontroversial, menurut penulis menjadi semacam testing sejauh mana publik menerima keragaman (perbedaan) pendapat maupun berekspresi.

Kebebasan dan Kontroversial

Di awal kemunculan sebagai musisi, “ketokohan” Dhani di Dewa 19 belum terlihat menonjol. Namun, sejak beberapa tahun kemudian ketika Dewa 19 menjadi semakin terkenal, Dhani mulai berani menunjukan taji.

Keberanian Dhani memuncak ketika pada album Laskar Cinta (2004) Dewa lugas memakai simbol kaligrafi yang menurut beberapa kelompok gerakan Islam adalah lapadz Allah. Hebohnya, pada penampilan di stasiun tv swasta simbol tersebut menjadi altar atau dasar panggung yang otomatis terinjak oleh kaki seluruh personel dewa 19. Jelas saja peristiwa ini memantik kemarahan sebagian kelompok Islam.

Menanggapi reaksi keras itu, Dhani berkilah bahwa apa yang dilakukannya sekadar ekspresi berkesenian yang dipadukan dalam bermusik. Lebih dari itu hal tersebut adalah jalinan  ekspresi pemikiran yang terangkum dalam lirik-lagunya dengan simbol tersebut.

Dan, yang paling menyedot perhatian publik lokal bahkan internasional adalah kostum militer Nazi yang dipakainya ketika dalam video klip lagu untuk kampanye  salah satu pasangan capres-cawapres. Dalam video lagu yang memang versi aslinya milik banda legendaris dunia, Queen (we will rock you),  Dhani membenarkan kostum militer yang bersangkut-paut dengan Nazi.

Menurutnya, tanggapan keras tersebut hanyalah lelucon politik mengingat video klip tersebut dibikin pada tahun politik. Terlebih, memang Dhani tengah menjadi juru kampanye dari salah satu pasangan capres-cawapres. Dhani sendiri mengatakan pernah memakai kostum serupa pada video klip Mahadewa dengan lagu “Immortal Love Song” jauh sebelum gonjang-ganjing pilpres. Saat itu kostum militernya sepi dari komentar miring.

Mengundang Bias

Apa yang ditampilkan Dhani merupakan uneg-uneg pribadi yang jikalau tak dielaborasi lewat karya akan menjadi sesuatu yang membatu. Bungkam. Tidak mempunyai nilai lebih dan basi. Akan disayangkan bila terus dipendam untuk kepentingan industri musik maupun kreativitas.

Kreativitas Dhani dalam berkarya tak lepas dari pengaruh figur atau band idolanya. Ada beberapa karya Dhani lahir karena terpengaruh—bahkan ada yang menyebut plagiat—para idolanya. Sebut saja lagu energik “Sayap-sayap Patah” yang memang diambil dari karya Kahlil Gibran.

Demi nama kebebasan, Dhani berani mendobrak pakem-pakem dalam industri musik. Entah untuk daya pikat kreativitas, nilai komersil, atau hobi. Yang jelas dalam kebebasan ekspresi, keberanian mendobrak dan diferensiasi adalah keniscayaan.

Kebebasan Dhani—meminjam istilah Isaiah Berlin—merupakan kebebasan untuk (to). Kebebasan untuk ini mengandaikan otoritas tunggal dari individu untuk melakukan apa saja sekehendak hati. Sehingga, menurut makna ini tingkat kebebasan tergantung pada sejauh mana ia menjadi pemilik, pengatur, pelaksana tanpa sekat ruang dan waktu.

Benar  bahwa kebebasan milik Dhani adalah keniscayaan yang mungkin tidak patut diganggu gugat. Pemakaian logo kaligrafi dan kostum militer Nazi adalah sesuatu yang wajar untuk dunia kreatif semisal musik. Bukankah pemusik (seniman musti nyeleneh)?

Tetapi, ketika kebebasan tidak peka dan jeli pada segmentasi—pasar, psikologi publik, dan bahkan faktor ideologis—niscaya akan menjadi perdebatan kontra-produktif. Mungkin benturan. Mengutip pernyataan Presiden Soesilo Bambang Yudhoyono pada sidang majelis Umum Perserikatan Bangsa-bangsa, “kebebasan berekspresi harus memperhatikan kepentingan umum.”

Sebagai musisi berkelas, Dhani butuh ruang “terbuka” untuk mengekspresikan karya jenialnya. Tetapi, kadang kala karya-karyanya meluncur tidak tepat waktu. Sehingga, publik bias menilai karyanya antara kebebasan atau kebablasan. Karena itu, kebebasan, ditangan Dhani, seolah menjadi beda.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar