Ahmad
Dhani, Media, dan Kebebasan Berekspresi
Deny Humaedi Muhammad ; Baladewa Kritis Indonesia,
Bergiat di Indonesian Culture Academy (INCA) Jakarta
|
OKEZONENEWS,
05 Agustus 2014
Rasanya sangat sulit menampik eksistensi, prestasi, dan
kehebatan Ahmad Dhani dari jagat hiburan Indonesia. Dari mulai
keberhasilannya membesarkan Dewa 19,
bisnis Republik Cinta Management (RCM) dan bisnis-bisnis lainnya,
hingga pernyataan kontroversialnya adalah lembaran-lembaran peristiwa yang
semakin mempopulerkan namanya. Karena itu, Ahmad Dhani menjadi buruan para
kuli tinta untuk suatu berita.
Ajang kontestasi musik bergengsi
pun tak ketinggalan memanfaatkan kehebatan Dhani untuk menjadi juri dalam
mencari dan meramu bakat baru. Lebih dari itu semakin banyaknya para calon
penyanyi baru yang ingin mendapat sentuhannya demi jaminan kesuksesan
berkarir.
Tetapi, Ahmad Dhani musisi yang berbeda. Musik dan bisnis tak
cukup membuat dahaganya berkurang. Wilayah bidikannya kian meluas. Misalnya
saja beberapa tahun terakhir ini. Tidak saja mengomentari perkembangan musik
Indonesia, sejumlah persoalan yang santer menjadi bahan pembicaraan publik
pun tak luput dari perhatiannya. Persoalan sosial, agama, dan politik menjadi
wadah baru untuk mengukuhkan
eksistensinya di dunia publik.
Paling terbaru adalah soal pernyataannya yang bikin heboh dunia
media sosial. Pada akun twiternya Ahmad Dhani dengan terang menulis bahwa
dirinya bersedia akan memotong kemaluannya jika Jokowi menang dalam pilpres
2014 meski pada akhirnya ia mengklaim itu adalah ulah para hacker yang benci
pada dirinya.
Tidak hanya Ahmad Dhani
yang mengekspresikan pendapatnya lewat media. Banyak sejumlah artis
melakukan hal serupa. Namun Dhani adalah pengecualian. Ada beberapa alasan
mengapa kicauan-kicauan Dhani menjadi perhatian penulis.
Pertama, Dhani adalah salah satu musisi berpengaruh yang
dimiliki di Indonesia. Hal ini dapat kita lihat pada sejumlah fakta yang
tersaji. Lirik-lirik karya Dhani sering jadi inspirasi para penggemarnya
dalam kehidupan sehari-hari. Pernyataannya acap dijadikan tolak ukur baladewa
(sebutan fans Dewa). Pun dengan gaya dan fashion yang dikenakannya kerap
diturut fans fanatiknya.
Kedua, keberanian Dhani berpendapat berbeda mengenai persoalan
yang dianggap menarik bagi perkembangan Indonesia termasuk langka di kalangan
pesohor publik (selebritis). Keberanian berbeda pendapat ini, yang bahkan
sering kontroversial, menurut penulis menjadi semacam testing sejauh mana
publik menerima keragaman (perbedaan) pendapat maupun berekspresi.
Kebebasan dan
Kontroversial
Di awal kemunculan sebagai musisi, “ketokohan” Dhani di Dewa 19
belum terlihat menonjol. Namun, sejak beberapa tahun kemudian ketika Dewa 19
menjadi semakin terkenal, Dhani mulai berani menunjukan taji.
Keberanian Dhani memuncak ketika pada album Laskar Cinta (2004)
Dewa lugas memakai simbol kaligrafi yang menurut beberapa kelompok gerakan
Islam adalah lapadz Allah. Hebohnya, pada penampilan di stasiun tv swasta
simbol tersebut menjadi altar atau dasar panggung yang otomatis terinjak oleh
kaki seluruh personel dewa 19. Jelas saja peristiwa ini memantik kemarahan
sebagian kelompok Islam.
Menanggapi reaksi keras itu, Dhani berkilah bahwa apa yang
dilakukannya sekadar ekspresi berkesenian yang dipadukan dalam bermusik.
Lebih dari itu hal tersebut adalah jalinan
ekspresi pemikiran yang terangkum dalam lirik-lagunya dengan simbol
tersebut.
Dan, yang paling menyedot perhatian publik lokal bahkan internasional
adalah kostum militer Nazi yang dipakainya ketika dalam video klip lagu untuk
kampanye salah satu pasangan
capres-cawapres. Dalam video lagu yang memang versi aslinya milik banda
legendaris dunia, Queen (we will rock
you), Dhani membenarkan kostum
militer yang bersangkut-paut dengan Nazi.
Menurutnya, tanggapan keras tersebut hanyalah lelucon politik
mengingat video klip tersebut dibikin pada tahun politik. Terlebih, memang
Dhani tengah menjadi juru kampanye dari salah satu pasangan capres-cawapres.
Dhani sendiri mengatakan pernah memakai kostum serupa pada video klip
Mahadewa dengan lagu “Immortal Love
Song” jauh sebelum gonjang-ganjing pilpres. Saat itu kostum militernya
sepi dari komentar miring.
Mengundang Bias
Apa yang ditampilkan Dhani merupakan uneg-uneg pribadi yang
jikalau tak dielaborasi lewat karya akan menjadi sesuatu yang membatu.
Bungkam. Tidak mempunyai nilai lebih dan basi. Akan disayangkan bila terus
dipendam untuk kepentingan industri musik maupun kreativitas.
Kreativitas Dhani dalam berkarya tak lepas dari pengaruh figur
atau band idolanya. Ada beberapa karya Dhani lahir karena terpengaruh—bahkan
ada yang menyebut plagiat—para idolanya. Sebut saja lagu energik “Sayap-sayap Patah” yang memang
diambil dari karya Kahlil Gibran.
Demi nama kebebasan, Dhani berani mendobrak pakem-pakem dalam
industri musik. Entah untuk daya pikat kreativitas, nilai komersil, atau
hobi. Yang jelas dalam kebebasan ekspresi, keberanian mendobrak dan
diferensiasi adalah keniscayaan.
Kebebasan Dhani—meminjam istilah Isaiah Berlin—merupakan
kebebasan untuk (to). Kebebasan untuk ini mengandaikan otoritas tunggal dari
individu untuk melakukan apa saja sekehendak hati. Sehingga, menurut makna
ini tingkat kebebasan tergantung pada sejauh mana ia menjadi pemilik,
pengatur, pelaksana tanpa sekat ruang dan waktu.
Benar bahwa kebebasan
milik Dhani adalah keniscayaan yang mungkin tidak patut diganggu gugat.
Pemakaian logo kaligrafi dan kostum militer Nazi adalah sesuatu yang wajar
untuk dunia kreatif semisal musik. Bukankah pemusik (seniman musti nyeleneh)?
Tetapi, ketika kebebasan tidak peka dan jeli pada
segmentasi—pasar, psikologi publik, dan bahkan faktor ideologis—niscaya akan
menjadi perdebatan kontra-produktif. Mungkin benturan. Mengutip pernyataan
Presiden Soesilo Bambang Yudhoyono pada sidang majelis Umum Perserikatan
Bangsa-bangsa, “kebebasan berekspresi harus memperhatikan kepentingan umum.”
Sebagai musisi berkelas, Dhani butuh ruang “terbuka” untuk
mengekspresikan karya jenialnya. Tetapi, kadang kala karya-karyanya meluncur
tidak tepat waktu. Sehingga, publik bias menilai karyanya antara kebebasan
atau kebablasan. Karena itu, kebebasan, ditangan Dhani, seolah menjadi beda. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar