Senin, 18 Agustus 2014

Setelah Terbitnya Pergub ISIS

Setelah Terbitnya Pergub ISIS

Akh Muzakki  ;  Dekan FISIP (dan FEBI) UIN Sunan Ampel Surabaya
JAWA POS, 16 Agustus 2014
                                                


PERGERAKAN ISIS Indonesia sebagai representasi kelompok pengusung gerakan garis keras kini mulai sempit. Lahirnya Peraturan Gubernur (Pergub) Jawa Timur Nomor 51 Tahun 2014 yang melarang ISIS Indonesia di wilayah ini (Jawa Pos, 13/8/2014) semakin melengkapi upaya pemerintah untuk mengambil langkah-langkah strategis terhadap kelompok garis keras tersebut.

Karena itu, keluarnya pergub tersebut harus dibaca sebagai upaya pemerintah untuk menangani ancaman keamanan dan ketertiban masyarakat, bangsa, serta negara yang patut didukung. Namun, dukungan itu harus disertai masukan kritis. Bentuknya adalah dorongan agar ada upaya lanjutan yang bersifat strategis serta berdimensi jangka panjang.

Sebab, kebijakan pergub tersebut masih bermain di wilayah hilir, belum hulu yang menjadi sumber aliran gagasan dan tindak radikal-garis keras. Selama langkah-langkah pemerintah bermain terbatas di wilayah hilir, akan selalu muncul gerakan radikal-garis keras dengan nama dan ’’wajah publik’’ baru.

Selama hulu lepas dari perhatian, selama itu pula akan muncul gerakan radikal-garis keras dengan nama dan ’’wajah publik’’ yang selalu berganti-ganti seperti yang selama ini terjadi. Pergantian tersebut tentu dilakukan untuk kepentingan pengamanan jaringan serta perluasan pengaruh melalui provokasi dan propaganda ke masyarakat luas.

Karena itu, hulu juga harus dipikirkan. Mengapa? Pertama, pemain gerakan radikal-garis keras tidak tunggal. Terdapat sejumlah kelompok warga yang akrab dengan gerakan tersebut. Mereka bisa berganti-ganti nama. ’’Wajah publik’’ mereka selalu ’’dipoles’’ sesuai dengan momentum yang sedang tumbuh.

Memang, pemain inti gerakan radikal-garis keras tidak pernah lepas dari jaringan utama. Figurnya pun bisa diidentifikasi berasal dari jaringan utama itu. Namun, berdasar pengalaman, selalu muncul ’’wajah publik’’ dengan nama dan pemain pendamping, atau bahkan inti, yang baru. Kata ’’baru’’ di sini bisa berarti pengalaman lapangan maupun ekspose publik.

Kedua, pembatasan ruang gerak kelompok-kelompok radikal-garis keras seperti melalui pergub hanya berorientasi agar pergerakan kelompok-kelompok tersebut tidak menyebar luas. Tentu, upaya seperti itu bisa disebut penting karena membantu warga agar tidak cepat menjadi sasaran empuk praktik radikal-garis keras kelompok-kelompok pengusung gerakan tersebut.

Namun, penting dicatat, pembatasan gerak tetap menyisakan ruang bagi kelompok-kelompok radikal-garis keras untuk selalu berganti nama dan ’’wajah publik’’. Kita sering diberi pelajaran oleh kenyataan atas berganti-gantinya nama dan ’’wajah publik’’ pengusung gerakan radikal-garis keras yang dimaksud. Secara basis sosial, sebagai contoh, mereka yang menjadi pemain utama di ISIS Indonesia sebelumnya adalah pemain utama pula di kelompok yang serupa, namun dengan nama lain.

Langkah-langkah yang bermain di wilayah hulu tersebut terasa begitu penting menyusul keterampilan kelompok-kelompok pengusung gerakan radikal-garis keras yang piawai dalam memanfaatkan peranti teknologi komunikasi dan informasi. Lebih dari itu, sasaran provokasi dan propaganda mereka pun tidak lepas dari warga berusia muda.

Dari perspektif sosiologis, kelompok usia muda itu sangat melek teknologi komunikasi dan informasi. Namun, mereka tidak memiliki kaitan dengan masa lalu. Sebab, mereka tidak punya dan tidak menjadi bagian dari pengalaman masa lalu itu. Akibatnya, dalam membaca dan memaknai kehidupan beserta segala tantangan serta tuntutannya, mereka selalu mendasarkan pada kenyataan yang sedang terjadi.

Keterkaitan emosional (emotional attachment) mereka terhadap catatan pengalaman masa lalu kehidupan bersama tidak sekuat kelompok usia di atasnya. Karena itu, rekam jejak para pengusung gerakan radikal-garis keras yang meninggalkan pahit-getir kehidupan publik tidak menjadi kesadaran sensitif-kritis mereka. Itulah alasan para pengusung gerakan radikal-garis keras menjadikan kelompok usia itu sebagai sasaran provokasi dan propaganda empuk.

Nah, langkah-langkah yang bersifat hulu, strategis namun berdimensi jangka panjang, itulah yang menjadi pekerjaan bersama yang tersisa untuk mengatasi gerakan radikal-garis keras tersebut. Pertanyaan pentingnya, apa yang menjadi sumber lahirnya tindak radikal-garis keras? Tentu jawabannya, tindak radikal-garis keras itu lahir dari gagasan dan pikiran serupa yang mendasarinya.

Semakin tersemai gagasan dan pikiran radikal-garis keras, semakin kuat pula potensi lahirnya tindak radikal-garis keras itu. Semakin tidak terkontrol gagasan dan pikiran radikal-garis keras itu, semakin tumbuh kuat dorongan terhadap tindak radikal-garis keras yang dimaksud.

Bergeraknya gagasan dan pikiran menjadi tindakan serupa hanya menunggu momentum. Begitu momentum tercipta, gagasan dan pikiran yang dimaksud segera berubah menjadi tindakan konkret. Dalam dunia gerakan radikal-garis keras, momentum itu selalu tercipta erat bersama peta terkini geo-politik dan religio-politik yang menempatkan kelompok muslim sebagai bagian dari konflik sosial politik di kawasan tertentu.

Memang, kawasan apa pun tidak menjadi soal sebagai latar belakang. Namun, Timur Tengah kerap mendapat perhatian khusus oleh para pemain gerakan radikal-garis keras di Indonesia. Peta politik kuasa di Timur Tengah kerap berimbas cukup kuat terhadap bangkit dan redupnya kelompok-kelompok pengusung gerakan radikal-garis keras di dalam negeri Indonesia.

Menunjuk pada fakta tersebut, pasca terbitnya pergub tentang ISIS, pemerintah perlu segera memikirkan instrumen guna membendung gerakan radikal-garis keras dari titik hulu. Yakni, bagaimana sumber-sumber gagasan dan pikiran masyarakat yang selanjutnya mengalirkan praktik dan tindakan konkret tidak dipenuhi provokasi serta propaganda radikal-garis keras. Harus dipikirkan adanya ruang publik yang kondusif bagi penciptaan tata kehidupan bersama yang baik, toleran, dan tanpa kekerasan koersif.

Melihat pola pergerakan kelompok-kelompok radikal-garis keras pada kurun terakhir, mereka melakukan provokasi dan propaganda negatif bagi terciptanya tata kelola kehidupan bersama yang baik, toleran, dan tanpa kekerasan koersif. Caranya, memanfaatkan media publikasi, baik cetak maupun online.

Sempatkanlah ke toko-toko buku. Segera kita tahu bahwa publikasi cetak, mulai buku hingga majalah, dibanjiri tulisan yang mengusung gagasan dan pikiran radikal-garis keras itu. Apalagi jika kita perhatikan sejumlah lapak yang menggelar dagangan publikasi cetak di emperan toko atau trotoar serta tempat ibadah, tulisan yang mengusung gagasan dan pikiran radikal-garis keras itu begitu banyak tersebar di publikasi cetak.

Mudahnya komunikasi melalui online semakin memudahkan terjadinya transfer gagasan dan pikiran dari provokasi serta propaganda radikal-garis keras. Kegandrungan warga usia muda terhadap produk teknologi komunikasi dan informasi dijadikan peluang emas bagi suksesnya provokasi dan propaganda negatif tersebut. Karena itu, jangan terlambat memikirkan wilayah hulu dari lahirnya tindak radikal-garis keras ini. Harus dilakukan pendidikan publik yang kritis terhadap tata kelola kehidupan bersama.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar