Setelah
Terbitnya Pergub ISIS
Akh Muzakki ; Dekan FISIP (dan FEBI) UIN Sunan Ampel Surabaya
|
JAWA
POS, 16 Agustus 2014
PERGERAKAN ISIS Indonesia sebagai representasi kelompok pengusung
gerakan garis keras kini mulai sempit. Lahirnya Peraturan Gubernur (Pergub)
Jawa Timur Nomor 51 Tahun 2014 yang melarang ISIS Indonesia di wilayah ini
(Jawa Pos, 13/8/2014) semakin melengkapi upaya pemerintah untuk mengambil
langkah-langkah strategis terhadap kelompok garis keras tersebut.
Karena itu, keluarnya pergub tersebut harus dibaca sebagai
upaya pemerintah untuk menangani ancaman keamanan dan ketertiban masyarakat,
bangsa, serta negara yang patut didukung. Namun, dukungan itu harus disertai
masukan kritis. Bentuknya adalah dorongan agar ada upaya lanjutan yang
bersifat strategis serta berdimensi jangka panjang.
Sebab, kebijakan pergub tersebut masih bermain di wilayah
hilir, belum hulu yang menjadi sumber aliran gagasan dan tindak radikal-garis
keras. Selama langkah-langkah pemerintah bermain terbatas di wilayah hilir,
akan selalu muncul gerakan radikal-garis keras dengan nama dan ’’wajah
publik’’ baru.
Selama hulu lepas dari perhatian, selama itu pula akan muncul
gerakan radikal-garis keras dengan nama dan ’’wajah publik’’ yang selalu
berganti-ganti seperti yang selama ini terjadi. Pergantian tersebut tentu
dilakukan untuk kepentingan pengamanan jaringan serta perluasan pengaruh
melalui provokasi dan propaganda ke masyarakat luas.
Karena itu, hulu juga harus dipikirkan. Mengapa? Pertama,
pemain gerakan radikal-garis keras tidak tunggal. Terdapat sejumlah kelompok
warga yang akrab dengan gerakan tersebut. Mereka bisa berganti-ganti nama.
’’Wajah publik’’ mereka selalu ’’dipoles’’ sesuai dengan momentum yang sedang
tumbuh.
Memang, pemain inti gerakan radikal-garis keras tidak pernah
lepas dari jaringan utama. Figurnya pun bisa diidentifikasi berasal dari
jaringan utama itu. Namun, berdasar pengalaman, selalu muncul ’’wajah
publik’’ dengan nama dan pemain pendamping, atau bahkan inti, yang baru. Kata
’’baru’’ di sini bisa berarti pengalaman lapangan maupun ekspose publik.
Kedua, pembatasan ruang gerak kelompok-kelompok radikal-garis
keras seperti melalui pergub hanya berorientasi agar pergerakan
kelompok-kelompok tersebut tidak menyebar luas. Tentu, upaya seperti itu bisa
disebut penting karena membantu warga agar tidak cepat menjadi sasaran empuk
praktik radikal-garis keras kelompok-kelompok pengusung gerakan tersebut.
Namun, penting dicatat, pembatasan gerak tetap menyisakan
ruang bagi kelompok-kelompok radikal-garis keras untuk selalu berganti nama
dan ’’wajah publik’’. Kita sering diberi pelajaran oleh kenyataan atas
berganti-gantinya nama dan ’’wajah publik’’ pengusung gerakan radikal-garis
keras yang dimaksud. Secara basis sosial, sebagai contoh, mereka yang menjadi
pemain utama di ISIS Indonesia sebelumnya adalah pemain utama pula di
kelompok yang serupa, namun dengan nama lain.
Langkah-langkah yang bermain di wilayah hulu tersebut terasa
begitu penting menyusul keterampilan kelompok-kelompok pengusung gerakan
radikal-garis keras yang piawai dalam memanfaatkan peranti teknologi
komunikasi dan informasi. Lebih dari itu, sasaran provokasi dan propaganda
mereka pun tidak lepas dari warga berusia muda.
Dari perspektif sosiologis, kelompok usia muda itu sangat
melek teknologi komunikasi dan informasi. Namun, mereka tidak memiliki kaitan
dengan masa lalu. Sebab, mereka tidak punya dan tidak menjadi bagian dari
pengalaman masa lalu itu. Akibatnya, dalam membaca dan memaknai kehidupan
beserta segala tantangan serta tuntutannya, mereka selalu mendasarkan pada
kenyataan yang sedang terjadi.
Keterkaitan emosional (emotional
attachment) mereka terhadap catatan pengalaman masa lalu kehidupan
bersama tidak sekuat kelompok usia di atasnya. Karena itu, rekam jejak para
pengusung gerakan radikal-garis keras yang meninggalkan pahit-getir kehidupan
publik tidak menjadi kesadaran sensitif-kritis mereka. Itulah alasan para
pengusung gerakan radikal-garis keras menjadikan kelompok usia itu sebagai
sasaran provokasi dan propaganda empuk.
Nah, langkah-langkah yang bersifat hulu, strategis namun
berdimensi jangka panjang, itulah yang menjadi pekerjaan bersama yang tersisa
untuk mengatasi gerakan radikal-garis keras tersebut. Pertanyaan pentingnya,
apa yang menjadi sumber lahirnya tindak radikal-garis keras? Tentu
jawabannya, tindak radikal-garis keras itu lahir dari gagasan dan pikiran
serupa yang mendasarinya.
Semakin tersemai gagasan dan pikiran radikal-garis keras,
semakin kuat pula potensi lahirnya tindak radikal-garis keras itu. Semakin
tidak terkontrol gagasan dan pikiran radikal-garis keras itu, semakin tumbuh
kuat dorongan terhadap tindak radikal-garis keras yang dimaksud.
Bergeraknya gagasan dan pikiran menjadi tindakan serupa hanya
menunggu momentum. Begitu momentum tercipta, gagasan dan pikiran yang
dimaksud segera berubah menjadi tindakan konkret. Dalam dunia gerakan
radikal-garis keras, momentum itu selalu tercipta erat bersama peta terkini
geo-politik dan religio-politik yang menempatkan kelompok muslim sebagai
bagian dari konflik sosial politik di kawasan tertentu.
Memang, kawasan apa pun tidak menjadi soal sebagai latar
belakang. Namun, Timur Tengah kerap mendapat perhatian khusus oleh para
pemain gerakan radikal-garis keras di Indonesia. Peta politik kuasa di Timur
Tengah kerap berimbas cukup kuat terhadap bangkit dan redupnya
kelompok-kelompok pengusung gerakan radikal-garis keras di dalam negeri
Indonesia.
Menunjuk pada fakta tersebut, pasca terbitnya pergub tentang
ISIS, pemerintah perlu segera memikirkan instrumen guna membendung gerakan
radikal-garis keras dari titik hulu. Yakni, bagaimana sumber-sumber gagasan
dan pikiran masyarakat yang selanjutnya mengalirkan praktik dan tindakan
konkret tidak dipenuhi provokasi serta propaganda radikal-garis keras. Harus
dipikirkan adanya ruang publik yang kondusif bagi penciptaan tata kehidupan
bersama yang baik, toleran, dan tanpa kekerasan koersif.
Melihat pola pergerakan kelompok-kelompok radikal-garis keras
pada kurun terakhir, mereka melakukan provokasi dan propaganda negatif bagi
terciptanya tata kelola kehidupan bersama yang baik, toleran, dan tanpa
kekerasan koersif. Caranya, memanfaatkan media publikasi, baik cetak maupun
online.
Sempatkanlah ke toko-toko buku. Segera kita tahu bahwa
publikasi cetak, mulai buku hingga majalah, dibanjiri tulisan yang mengusung
gagasan dan pikiran radikal-garis keras itu. Apalagi jika kita perhatikan
sejumlah lapak yang menggelar dagangan publikasi cetak di emperan toko atau
trotoar serta tempat ibadah, tulisan yang mengusung gagasan dan pikiran
radikal-garis keras itu begitu banyak tersebar di publikasi cetak.
Mudahnya komunikasi melalui online semakin memudahkan terjadinya
transfer gagasan dan pikiran dari provokasi serta propaganda radikal-garis
keras. Kegandrungan warga usia muda terhadap produk teknologi komunikasi dan
informasi dijadikan peluang emas bagi suksesnya provokasi dan propaganda
negatif tersebut. Karena itu, jangan terlambat memikirkan wilayah hulu dari
lahirnya tindak radikal-garis keras ini. Harus dilakukan pendidikan publik
yang kritis terhadap tata kelola kehidupan bersama. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar