Senin, 18 Agustus 2014

Kronik Dua Senja

Kronik Dua Senja

Kurnia JR  ;  Sastrawan
KOMPAS, 16 Agustus 2014
                                                            


Suatu senja di kolong jalan layang Kiaracondong, Kota Bandung, yang kumuh. Asap knalpot ditingkah derum mesin dan klakson mengumpat kemacetan yang akut. Lampu penerangan yang centang-perenang dari toko kelontong, apotek kecil, dan warung-warung makan tak sampai ke ”taman debu” berpagar yang membelah jalan dekat Stasiun Kiaracondong.

Di taman sempit itu orang-orang mengerumuni mayat yang diselubungi kain seadanya. Orang-orang yang tiap hari lewat jalan itu langsung tahu siapa yang meninggal: tunawisma yang setiap malam tidur di situ. Ia datang dari kampung bertahun-tahun silam dan kini mati di kota sebatang kara dan terlunta-lunta.

Tampaknya pemerintah kota tidak tahu tragedi itu: tragedi rakyat dari kelas yang terlupakan oleh Negara Pancasila. Seketika itu juga saya membayangkan sang Wali Kota Bandung yang mungkin sedang berada di rumahnya yang terang dan bersih. Adakah bawahan yang melaporkan tragedi khas rakyat jelata tersebut kepadanya?

Apakah hal yang sama pernah terjadi di Surabaya? Bagaimana perasaan dan reaksi sang wali kota seandainya tragedi demikian juga terjadi di kotanya? Padahal, dia pernah menegaskan kekhawatirannya jika sampai ada warga ”Kota Pahlawan” yang hidup dan mati dalam keadaan sengsara saat ia menjadi wali kota.
Apakah para wali kota atau bupati di seluruh Indonesia pernah berpikir bahwa hal semacam itu bisa terjadi tiap saat di wilayah mereka? Lalu kenapa tidak ada program konkret yang ajek dan berkelanjutan bagi kaum tunawisma sehingga secara berangsur-angsur fakir miskin urban dan di perkampungan dapat mengecap kesejahteraan?

Yang kerap terjadi justru razia yang tidak manusiawi terhadap gelandangan dan pengemis. Mereka dikejar-kejar dan ditangkapi bagai penjahat, lalu sekadar diberi ”pengarahan” sebelum dipulangkan ke kampung asal. Namun, selanjutnya tak ada dukungan konstruktif bagi mereka.

Saya jadi teringat berita pahit dari Jakarta sekian tahun silam: seorang miskin papa terpaksa menggendong mayat anggota keluarganya ke sana kemari lantaran tidak sanggup memakamkan. Tidak ada kepedulian dari pemerintah ataupun warga masyarakat atas musibah itu.

Soal kemanusiaan

28 Mei, pada senja tak berhujan di Kota Bogor, orang-orang berkerumun di depan lembaga pemasyarakatan di mulut Jalan Paledang, dekat Stasiun Bogor. Menurut seorang perempuan, seorang tahanan kabur. Ada yang bilang dia maling, entah apa yang dicuri. Mungkin penjahat kecil-kecilan itu baru tertangkap oleh orang banyak dan hendak dibawa ke polisi atau penjara, tetapi kabur.

Belum ada semenit setelah ibu muda itu berkata-kata, berarak sekumpulan orang dari perut Jalan Paledang menuju penjara. Saat tertimpa lampu jalan yang terang benderang, tampaklah empat orang menggotong sesosok mayat berkaus merah dan bercelana kecoklatan. Masing-masing mencekal kedua tangan dan kaki, bagai membawa hewan yang baru disembelih. Yang membuat terkesiap: buron itu ”dikembalikan” ke penjara tanpa kepala!

Ada perempuan yang mendesah dengan suara pahit, ”Tega sekali, tega sekali! Kenapa harus dipotong kepalanya?”

Leuleus aing (lemas saya)!” seru seorang sopir angkutan umum.

Di dunia hitam yang keras, kita dapat berkata bahwa petarung muda itu telah kalah: dia tewas dipenggal oleh massa yang marah. Lepas dari konflik abadi dunia kriminal versus massa yang brutal di negeri kita, insiden ini cukup menjadi cermin, betapa meluapnya rasa benci kita dan betapa mudahnya massa bertindak kalap dan sadis tatkala menghakimi ”penjahat kelas teri”, seperti pencopet, pencuri sandal, dan penjambret, hingga tak jarang sampai merenggut nyawa, tak peduli apa pun latar belakang perbuatan mereka.

Pada umumnya kita tak lagi percaya bahwa hukum formal mampu menindak penjahat dengan ganjaran yang setimpal. Negara terlampau lemah untuk menegakkan keadilan. Massa pembantai pun merasa aman dari hukuman.

Berkaca dari tragedi itu, kini lebih mudah kita menimbang kadar benci masyarakat terhadap penjahat kerah putih yang merampok Tanah Air, sedangkan hukuman atas diri mereka hanya beberapa tahun penjara. Itu pun masih dipotong remisi tiap tahun dan tanpa harus mengalami kelaparan atau degradasi popularitas di mata kaum snobis. Harta mereka pun tetap lestari.

Mari kita bayangkan, seandainya para koruptor yang rata-rata berpendidikan tinggi, bergaji besar dengan fasilitas komplet, dan hidup nyaman itu menyaksikan tragedi ini dan membayangkan kepala mereka sendiri yang dipenggal massa, bagaimanakah rasa ngerinya? Seandainya….

Sementara calon presiden yang kalah suara masih ngotot di Mahkamah Konstitusi, rakyat jelata harus bersabung nyawa demi sesuap nasi.

Insafkah mereka bahwa jabatan presiden justru harus mengambil alih amanat penderitaan rakyat yang telah mencapai level ekstrem menjadi tanggung jawab transendental yang teramat berat di pundak mereka?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar