Kronik
Dua Senja
Kurnia JR ; Sastrawan
|
KOMPAS,
16 Agustus 2014
Suatu senja
di kolong jalan layang Kiaracondong, Kota Bandung, yang kumuh. Asap knalpot
ditingkah derum mesin dan klakson mengumpat kemacetan yang akut. Lampu
penerangan yang centang-perenang dari toko kelontong, apotek kecil, dan
warung-warung makan tak sampai ke ”taman debu” berpagar yang membelah jalan
dekat Stasiun Kiaracondong.
Di taman
sempit itu orang-orang mengerumuni mayat yang diselubungi kain seadanya.
Orang-orang yang tiap hari lewat jalan itu langsung tahu siapa yang
meninggal: tunawisma yang setiap malam tidur di situ. Ia datang dari kampung
bertahun-tahun silam dan kini mati di kota sebatang kara dan terlunta-lunta.
Tampaknya
pemerintah kota tidak tahu tragedi itu: tragedi rakyat dari kelas yang
terlupakan oleh Negara Pancasila. Seketika itu juga saya membayangkan sang
Wali Kota Bandung yang mungkin sedang berada di rumahnya yang terang dan
bersih. Adakah bawahan yang melaporkan tragedi khas rakyat jelata tersebut
kepadanya?
Apakah hal
yang sama pernah terjadi di Surabaya? Bagaimana perasaan dan reaksi sang wali
kota seandainya tragedi demikian juga terjadi di kotanya? Padahal, dia pernah
menegaskan kekhawatirannya jika sampai ada warga ”Kota Pahlawan” yang hidup
dan mati dalam keadaan sengsara saat ia menjadi wali kota.
Apakah para
wali kota atau bupati di seluruh Indonesia pernah berpikir bahwa hal semacam
itu bisa terjadi tiap saat di wilayah mereka? Lalu kenapa tidak ada program
konkret yang ajek dan berkelanjutan bagi kaum tunawisma sehingga secara
berangsur-angsur fakir miskin urban dan di perkampungan dapat mengecap
kesejahteraan?
Yang kerap
terjadi justru razia yang tidak manusiawi terhadap gelandangan dan pengemis.
Mereka dikejar-kejar dan ditangkapi bagai penjahat, lalu sekadar diberi
”pengarahan” sebelum dipulangkan ke kampung asal. Namun, selanjutnya tak ada
dukungan konstruktif bagi mereka.
Saya jadi
teringat berita pahit dari Jakarta sekian tahun silam: seorang miskin papa
terpaksa menggendong mayat anggota keluarganya ke sana kemari lantaran tidak
sanggup memakamkan. Tidak ada kepedulian dari pemerintah ataupun warga
masyarakat atas musibah itu.
Soal kemanusiaan
28 Mei, pada
senja tak berhujan di Kota Bogor, orang-orang berkerumun di depan lembaga
pemasyarakatan di mulut Jalan Paledang, dekat Stasiun Bogor. Menurut seorang
perempuan, seorang tahanan kabur. Ada yang bilang dia maling, entah apa yang
dicuri. Mungkin penjahat kecil-kecilan itu baru tertangkap oleh orang banyak
dan hendak dibawa ke polisi atau penjara, tetapi kabur.
Belum ada
semenit setelah ibu muda itu berkata-kata, berarak sekumpulan orang dari
perut Jalan Paledang menuju penjara. Saat tertimpa lampu jalan yang terang
benderang, tampaklah empat orang menggotong sesosok mayat berkaus merah dan
bercelana kecoklatan. Masing-masing mencekal kedua tangan dan kaki, bagai
membawa hewan yang baru disembelih. Yang membuat terkesiap: buron itu
”dikembalikan” ke penjara tanpa kepala!
Ada perempuan
yang mendesah dengan suara pahit, ”Tega sekali, tega sekali! Kenapa harus
dipotong kepalanya?”
”Leuleus aing (lemas saya)!” seru
seorang sopir angkutan umum.
Di dunia
hitam yang keras, kita dapat berkata bahwa petarung muda itu telah kalah: dia
tewas dipenggal oleh massa yang marah. Lepas dari konflik abadi dunia
kriminal versus massa yang brutal di negeri kita, insiden ini cukup menjadi
cermin, betapa meluapnya rasa benci kita dan betapa mudahnya massa bertindak
kalap dan sadis tatkala menghakimi ”penjahat kelas teri”, seperti pencopet,
pencuri sandal, dan penjambret, hingga tak jarang sampai merenggut nyawa, tak
peduli apa pun latar belakang perbuatan mereka.
Pada umumnya
kita tak lagi percaya bahwa hukum formal mampu menindak penjahat dengan
ganjaran yang setimpal. Negara terlampau lemah untuk menegakkan keadilan.
Massa pembantai pun merasa aman dari hukuman.
Berkaca dari
tragedi itu, kini lebih mudah kita menimbang kadar benci masyarakat terhadap
penjahat kerah putih yang merampok Tanah Air, sedangkan hukuman atas diri
mereka hanya beberapa tahun penjara. Itu pun masih dipotong remisi tiap tahun
dan tanpa harus mengalami kelaparan atau degradasi popularitas di mata kaum
snobis. Harta mereka pun tetap lestari.
Mari kita
bayangkan, seandainya para koruptor yang rata-rata berpendidikan tinggi,
bergaji besar dengan fasilitas komplet, dan hidup nyaman itu menyaksikan
tragedi ini dan membayangkan kepala mereka sendiri yang dipenggal massa,
bagaimanakah rasa ngerinya? Seandainya….
Sementara
calon presiden yang kalah suara masih ngotot di Mahkamah Konstitusi, rakyat
jelata harus bersabung nyawa demi sesuap nasi.
Insafkah
mereka bahwa jabatan presiden justru harus mengambil alih amanat penderitaan
rakyat yang telah mencapai level ekstrem menjadi tanggung jawab transendental
yang teramat berat di pundak mereka? ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar