Senin, 18 Agustus 2014

Mari Kita Merdeka

Mari Kita Merdeka

AS Laksana  ;  Sastrawan, Pengarang, Wartawan
JAWA POS, 17 Agustus 2014
                                                


BEBERAPA teman saya takut pada gerimis kecil dan mereka akan berjalan tergesa-gesa sambil menutupkan telapak tangan di ubun-ubun. Beberapa orang yang tidak saya kenal juga melakukan hal yang sama. Salah seorang teman pernah memberikan alasan bahwa kalau hujannya lebat sekalian tidak apa-apa. Namun, gerimis kecil justru akan membuatnya sakit kepala.

Saya tidak pernah pusing oleh gerimis yang menimpa kepala saya. Ayah sayalah yang memiliki pikiran seperti itu. Mungkin karena saya bertubuh kurus dan tampak seperti anak cacingan, ayah selalu melarang saya bermain air hujan. Anak-anak tetangga berlarian wira-wiri di jalanan kampung dan meluncur seperti para pemain ski di atas tanah lempung yang sudah menjadi becek dan licin. Saya memandangi mereka dari teras rumah, dengan perasaan tergiur, namun tidak bisa apa-apa karena takut ada yang melaporkannya kepada ayah jika saya nekat bermain hujan. Selalu begitu setiap kali hujan turun, sampai suatu hari nenek saya memberikan izin yang nyaris tak bisa dipercaya.

’’Tapi, jangan lama-lama,’’ katanya.

Dengan gerak yang kalem seolah-olah tidak kepingin, saya menanggalkan baju di ruang tamu dan melangkah tenang ke jalanan, kemudian cuma celingak-celinguk di tengah jalan. Teman-teman saya tidak tampak waktu itu. Mungkin mereka sedang berada di tepi sungai sebelah barat sana atau bergabung dengan anak-anak dari kampung lain. Saya tidak tahu harus melakukan apa. Meluncur di atas tanah licin, saya belum bisa. Saya tidak tahu sama sekali bagaimana aturan bermain hujan dan apa saja yang selama ini dilakukan teman-teman –saya selalu berpikir setiap permainan ada aturannya. Akhirnya, saya hanya berlari mondar-mandir seperti orang bingung.

Itulah hari ketika saya merasa sangat merdeka, di bawah perlindungan nenek yang berjanji tidak melaporkannya kepada ayah dan saya berjanji akan menunjukkan kepada nenek bahwa tubuh saya tahan menerima guyuran hujan. Sesudah itu, saya bercerita banyak seolah-olah sudah punya pengalaman bertahun-tahun berlarian di bawah hujan. Hingga malam menjelang tidur, saya tetap sehat-sehat saja, tidak mengalami kejang perut atau linglung, apalagi sekadar pusing kepala.

Yang bisa membuat saya pening justru tetangga masa kecil –tidak ada seorang pun di dalam keluarga itu, mulai sulung sampai bungsu, yang pernah bersekolah. Dua anak lelaki pertama sangat gesit dan jarang sakit. Tiap malam mereka berjalan kaki menyusuri pematang sawah untuk mengumpulkan katak dan menangkap ular. Dari mulut mereka, saya mendengar cerita tentang jin dan hantu-hantu. Mereka juga sangat sering bertemu orang sakti. Beberapa orang sakti memberi mereka batu-batu akik. Salah seorang memberi mereka potongan kayu yang langsung tenggelam jika ditaruh di permukaan air.

Adik mereka yang usianya setahun di atas saya sama saktinya. Anak lelaki ketiga atau anak nomor empat dari tujuh bersaudara itu juga memiliki batu akik dan sering melihat hantu serta bisa menjelaskan apa saja. Dia tahu bahwa Maradona bisa bermain bola sehebat itu karena rajin meminum air rebusan buah pinang. Di Purwodadi, katanya, ada pemain bola yang lebih hebat ketimbang Maradona. ’’Rahasianya sama saja,’’ katanya. ’’Dukunnya menyuruh dia minum air rebusan pinang.’’

Saya tentu saja percaya dan ingin juga meminum air rebusan pinang. Tapi, dia bilang tidak akan bisa. ’’Kau harus meminumnya seribu hari berturut-turut,’’ ujarnya, ’’dan yang paling berat nanti pada hari terakhir.’’

Dia, seperti Tuhan, tahu semua rahasia dan selalu memastikan bahwa saya tidak akan bisa.

Bersama dua adik perempuan dan satu adik lelakinya, hampir tiap pagi dia menyerbu truk Coca-Cola yang diparkir di seberang rumah dan menuangkan sisa Coca-Cola, Fanta, dan Sprite dari botol-botol kosong di truk tersebut ke dalam cerek yang mereka bawa. Jika nasib baik, mereka bisa mendapatkan dua cerek penuh. Namun, jika sedang apes pun, mereka masih bisa mendapatkan setengah cerek dari sisa-sisa minuman orang. Minuman campuran itu kemudian mereka rebus hingga mendidih. ’’Kumannya sudah hilang,’’ katanya sambil menikmati minuman hangat di beranda rumah.

Itu peristiwa ketika saya berumur 7 tahun, ketika negara ini baru 30 tahun merdeka. Saya pernah berdebat dengan teman saya itu dan dia selalu mengeluarkan sabda yang sulit dibantah dan saya merasa seolah-olah sedang berhadapan dengan Tuhan.

Hari ini kita memperingati usia kemerdekaan yang ke-69. Situasinya sudah jauh berbeda dan dalam sejumlah hal kualitas hidup kita meningkat. Yang paling terasa adalah kita sekarang bisa menyuarakan hampir apa pun pemikiran kita. Ini sama menyenangkannya dengan perasaan ketika saya kali pertama merasakan guyuran air hujan: merasakan kegembiraan dan terbebas dari rasa takut.

Pekerjaan selanjutnya adalah bagaimana meningkatkan kualitas pemikiran. Dan itu akan selalu menjadi urusan besar pemerintahan kita. Yakni, menyediakan fasilitas umum, terutama pendidikan, yang memungkinkan tiap-tiap individu sampai di lapisan terbawah mampu meningkatkan diri dan bisa menggunakan pikirannya secara optimum. Sebab, kemerdekaan selalu dimulai dari pikiran. Kemerdekaan adalah situasi ketika orang mampu mempertahankan pemikiran-pemikiran terbaik tentang dirinya di tengah kehidupan bersama orang-orang lain dan punya keberanian untuk mewujudkan pemikiran tersebut tanpa dihantui rasa takut keliru.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar