Mari
Kita Merdeka
AS Laksana ; Sastrawan, Pengarang, Wartawan
|
JAWA
POS, 17 Agustus 2014
BEBERAPA teman saya takut pada gerimis kecil dan mereka akan
berjalan tergesa-gesa sambil menutupkan telapak tangan di ubun-ubun. Beberapa
orang yang tidak saya kenal juga melakukan hal yang sama. Salah seorang teman
pernah memberikan alasan bahwa kalau hujannya lebat sekalian tidak apa-apa.
Namun, gerimis kecil justru akan membuatnya sakit kepala.
Saya tidak pernah pusing oleh gerimis yang menimpa kepala
saya. Ayah sayalah yang memiliki pikiran seperti itu. Mungkin karena saya
bertubuh kurus dan tampak seperti anak cacingan, ayah selalu melarang saya
bermain air hujan. Anak-anak tetangga berlarian wira-wiri di jalanan kampung
dan meluncur seperti para pemain ski di atas tanah lempung yang sudah menjadi
becek dan licin. Saya memandangi mereka dari teras rumah, dengan perasaan
tergiur, namun tidak bisa apa-apa karena takut ada yang melaporkannya kepada
ayah jika saya nekat bermain hujan. Selalu begitu setiap kali hujan turun,
sampai suatu hari nenek saya memberikan izin yang nyaris tak bisa dipercaya.
’’Tapi, jangan lama-lama,’’ katanya.
Dengan gerak yang kalem seolah-olah tidak kepingin, saya menanggalkan
baju di ruang tamu dan melangkah tenang ke jalanan, kemudian cuma
celingak-celinguk di tengah jalan. Teman-teman saya tidak tampak waktu itu.
Mungkin mereka sedang berada di tepi sungai sebelah barat sana atau bergabung
dengan anak-anak dari kampung lain. Saya tidak tahu harus melakukan apa.
Meluncur di atas tanah licin, saya belum bisa. Saya tidak tahu sama sekali
bagaimana aturan bermain hujan dan apa saja yang selama ini dilakukan
teman-teman –saya selalu berpikir setiap permainan ada aturannya. Akhirnya,
saya hanya berlari mondar-mandir seperti orang bingung.
Itulah hari ketika saya merasa sangat merdeka, di bawah
perlindungan nenek yang berjanji tidak melaporkannya kepada ayah dan saya
berjanji akan menunjukkan kepada nenek bahwa tubuh saya tahan menerima
guyuran hujan. Sesudah itu, saya bercerita banyak seolah-olah sudah punya
pengalaman bertahun-tahun berlarian di bawah hujan. Hingga malam menjelang
tidur, saya tetap sehat-sehat saja, tidak mengalami kejang perut atau
linglung, apalagi sekadar pusing kepala.
Yang bisa membuat saya pening justru tetangga masa kecil
–tidak ada seorang pun di dalam keluarga itu, mulai sulung sampai bungsu,
yang pernah bersekolah. Dua anak lelaki pertama sangat gesit dan jarang
sakit. Tiap malam mereka berjalan kaki menyusuri pematang sawah untuk
mengumpulkan katak dan menangkap ular. Dari mulut mereka, saya mendengar
cerita tentang jin dan hantu-hantu. Mereka juga sangat sering bertemu orang
sakti. Beberapa orang sakti memberi mereka batu-batu akik. Salah seorang
memberi mereka potongan kayu yang langsung tenggelam jika ditaruh di
permukaan air.
Adik mereka yang usianya setahun di atas saya sama saktinya.
Anak lelaki ketiga atau anak nomor empat dari tujuh bersaudara itu juga
memiliki batu akik dan sering melihat hantu serta bisa menjelaskan apa saja.
Dia tahu bahwa Maradona bisa bermain bola sehebat itu karena rajin meminum
air rebusan buah pinang. Di Purwodadi, katanya, ada pemain bola yang lebih
hebat ketimbang Maradona. ’’Rahasianya sama saja,’’ katanya. ’’Dukunnya
menyuruh dia minum air rebusan pinang.’’
Saya tentu saja percaya dan ingin juga meminum air rebusan
pinang. Tapi, dia bilang tidak akan bisa. ’’Kau harus meminumnya seribu hari
berturut-turut,’’ ujarnya, ’’dan yang paling berat nanti pada hari terakhir.’’
Dia, seperti Tuhan, tahu semua rahasia dan selalu memastikan
bahwa saya tidak akan bisa.
Bersama dua adik perempuan dan satu adik lelakinya, hampir
tiap pagi dia menyerbu truk Coca-Cola yang diparkir di seberang rumah dan
menuangkan sisa Coca-Cola, Fanta, dan Sprite dari botol-botol kosong di truk
tersebut ke dalam cerek yang mereka bawa. Jika nasib baik, mereka bisa
mendapatkan dua cerek penuh. Namun, jika sedang apes pun, mereka masih bisa
mendapatkan setengah cerek dari sisa-sisa minuman orang. Minuman campuran itu
kemudian mereka rebus hingga mendidih. ’’Kumannya sudah hilang,’’ katanya
sambil menikmati minuman hangat di beranda rumah.
Itu peristiwa ketika saya berumur 7 tahun, ketika negara ini
baru 30 tahun merdeka. Saya pernah berdebat dengan teman saya itu dan dia
selalu mengeluarkan sabda yang sulit dibantah dan saya merasa seolah-olah
sedang berhadapan dengan Tuhan.
Hari ini kita memperingati usia kemerdekaan yang ke-69.
Situasinya sudah jauh berbeda dan dalam sejumlah hal kualitas hidup kita
meningkat. Yang paling terasa adalah kita sekarang bisa menyuarakan hampir
apa pun pemikiran kita. Ini sama menyenangkannya dengan perasaan ketika saya
kali pertama merasakan guyuran air hujan: merasakan kegembiraan dan terbebas
dari rasa takut.
Pekerjaan selanjutnya adalah bagaimana meningkatkan kualitas
pemikiran. Dan itu akan selalu menjadi urusan besar pemerintahan kita. Yakni,
menyediakan fasilitas umum, terutama pendidikan, yang memungkinkan tiap-tiap
individu sampai di lapisan terbawah mampu meningkatkan diri dan bisa
menggunakan pikirannya secara optimum. Sebab, kemerdekaan selalu dimulai dari
pikiran. Kemerdekaan adalah situasi ketika orang mampu mempertahankan
pemikiran-pemikiran terbaik tentang dirinya di tengah kehidupan bersama orang-orang
lain dan punya keberanian untuk mewujudkan pemikiran tersebut tanpa dihantui
rasa takut keliru. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar