Robin
Williams
Sarlito Wirawan Sarwono ;
Guru Besar Fakultas Psikologi Universitas Indonesia
|
KORAN
SINDO, 24 Agustus 2014
Saya
bukan buaya nonton. Baik di bioskop maupun di video. Hanya sesekali saya
mengajak istri saya atau diajak teman-teman kalau ada film yang (saya
dengar-dengar) bagus.
Saya pun bukan orang yang nge-fans kepada
bintangbintang film tertentu. Tahu nama mereka pun tidak, apalagi hafal
nama-nama mereka. Tetapi ketika saya membaca tentang tewasnya Robin Williams
di KORAN SINDO tanggal 13 Agustus yang lalu, saya cukup terpana, karena
ternyata saya sudah nonton empat film dari 22 film yang dibintanginya.
Keempat film itu adalah: Awakenings (1990), Mrs Doubtfire (1993), Jumanji
(1995), dan Night at the Museum (2006).
Luar
biasa, menurut ukuran saya (dan kata saya sendiri juga). Yang lebih luar
biasa lagi adalah bahwa saya ingat dengan baik keempat film Robin Williams
yang pernah saya tonton itu. Mrs. Doubtfire misalnya, mengisahkan sepasang
suami-istri yang bercerai, dan sang ayah terpaksa meninggalkan rumah dan
anakanaknya yang sangat dicintainya. Ayah ternyata tidak bisa menahan rindu
kepada anakanaknya.
Dan
ketika tahu bahwa mantan istrinya (yang selalu sibuk itu) memerlukan
pengasuh, sang ayah mencoba melamar dengan cara menyamar menjadi Mrs
Doubtfire, yaitu seorang wanita setengah baya yang berpengalaman sebagai
pengasuh anak-anak. Lamarannya diterima. Ibu dan anakanak sama sekali tidak
curiga, dan anak-anak dan pengasuh palsu segera bisa saling akrab. Ibu senang
sekali, demikian juga anak-anak, dan tentu saja sang pengasuh palsu.
Kepalsuan
baru terbongkar ketika salah satu anak memergokinya sedang menggunakan toilet
(pintunya kebetulan tak terkunci) dalam posisi berdiri layaknya laki-laki
kalau sedang pipis. Tetapi setelah rahasianya terbongkar, keluarga itu justru
bisa rukun kembali dan Mrs Doubtfire kembali menjadi suami dan ayah yang
dicintai istri dan anak-anaknya. Pokoknya happy
end (saya tidak suka film-film yang tidak happy end karena bukannya
terhibur, malah tambah stres).
Yang
sangat menarik perhatian dalam kasus kematian Robin Williams adalah karena
dia tewas lantaran bunuh diri. Seorang yang punya karakter sangat kuat, yang
dapat mengelola emosinya dengan sangat baik, sehingga bisa berperan menjadi
wanita setengah baya, akhirnya tewas karena bunuh diri. Apa pun alasannya,
bunuh diri bukan suatu hal yang mudah diterima akal untuk seorang Robin Williams.
Jika
kekayaan bisa membuat orang bahagia, tentunya Adolf Merckle, orang terkaya
dari Jerman, tidak akan menabrakkan badannya ke kereta api. Jika ketenaran
bisa membuat orang bahagia, tentunya Michael Jackson, penyanyi terkenal di
USA, tidak akan meminum obat tidur hingga overdosis. Jika kekuasaan bisa
membuat orang bahagia, tentunya G Vargas, presiden Brasil, tidak akan
menembak jantungnya. Jika kecantikan bisa membuat orang bahagia, tentunya
Marilyn Monroe, artis cantik dari USA, tidak akan minum alkohol dan obat
depresi hingga overdosis. Jika kesehatan bisa membuat orang bahagia, tentunya
Thierry Costa, dokter terkenal dari Prancis, tidak akan bunuh diri, akibat
sebuah acara di televisi.
Puisi
”Jika” itu saya dapat dari salah
satu WhatsApp Group. Benar sekali.
Kalau orang-orang tersebut di atas bisa bunuh diri, mengapa Robin Williams
tidak? Sebaliknya pengungsi-pengungsi Suriah yang sudah tersudut, tetap
mencoba melarikan diri dari gerombolan ISIS, tetap mencoba menghindari maut,
tetap menghindari kematian, tidak bunuh diri, walaupun akhirnya mereka tetap
tewas terbunuh.
Ada
pepatah yang mengatakan ”Sebelum ajal
berpantang mati”. Itulah naluri manusia yang sebenarnya. Karena itu jika
ada orangorang yang bunuh diri, yang berarti melawan nalurinya sendiri, perlu
dicari tahu apa faktor yang menyebabkan. Beberapa literatur mengungkapkan
bahwa ada beberapa macam bunuh diri. Yang terbanyak adalah bunuh diri karena
putus asa.
Mungkin
Robin Williams dan tokoh-tokoh selebritas terkenal lainnya yang bunuh diri
termasuk jenis ini. Secara psikologis, faktor yang menyebabkan mereka bunuh
diri tidak jauh berbeda dari seorang anak SD yang bunuh diri karena dia tidak
lulus ujian nasional, sedangkan adiknya lulus. Dia takut dimarahi ibunya.
Intinya orang-orang ini tiba-tiba merasa segala yang terjadi tidak sesuai
harapannya, dan dia tidak punya kontrol lagi atas dirinya sendiri untuk
meraih harapan itu.
Orang
seperti ini biasanya mengalami stres, depresi, keadaan emosi yang bipolar,
atau gangguan kejiwaan lainnya sehingga mereka akhirnya bunuh diri. Sebagian tidak
langsung kepada perilaku bunuh diri, tetapi lari ke narkoba dan tewas karena
overdosis. Jenis kedua adalah orang yang bunuh diri justru karena demi
kehormatan, harga diri, adat atau membela ideologi, idealisme atau agama.
Demonstran membakar dirinya untuk menentang rezim yang dianggapnya zalim.
Bom
bunuh diri dilakukan oleh orang yang yakin bahwa perbuatannya diridai
Tuhannya. Dahulu di India, istri yang ditinggal mati suaminya, harus
melakukan Sati , yaitu harus ikut terjun ke api pembakaran jenazah suaminya.
Penerbang Kamikaze di Perang Dunia II bunuh diri dengan menerjunkan
pesawatnya ke kapal-kapal perang Amerika demi kemenangan Kaisar Jepang Tenno
Heika.
Dan
ketika Tenno Heika menyatakan menyerah kepada Sekutu pada 1945, berbondong-
bondong orang datang ke halaman istana Kaisar Jepang itu untuk bersama-sama
melakukan seppuku (bunuh diri) untuk membayar kehilangan harga diri sebagai
Jepang. Tidak seperti yang kita duga, konseling dan pelayanan hotline dengan
para psikolog, psikiater atau pembimbing rohani, ternyata tidak terlalu
efektif.
Kalau
orang mau bunuh diri, dia akan melakukannya walaupun dia sudah mendapat
sejuta nasihat. Karena itu, pencegahan bunuh diri harus dilakukan dengan
metode preventif, yaitu menjauhkan orang-orang yang sudah diduga bisa bunuh
diri dari senjata api, senjata tajam, racun, atau hal-hal lain yang
berbahaya.
Lantai-lantai
di mal, tepi jurang, atau tepi rel kereta api diberi pembatas, dan
pasienpasien penderita depresi dan gangguan jiwa lainnya diberi obat untuk
mengembalikan semangat hidupnya. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar