Senin, 25 Agustus 2014

Robin Williams

                                                        Robin Williams

Sarlito Wirawan Sarwono  ;   Guru Besar Fakultas Psikologi Universitas Indonesia
KORAN SINDO, 24 Agustus 2014
                                                


Saya bukan buaya nonton. Baik di bioskop maupun di video. Hanya sesekali saya mengajak istri saya atau diajak teman-teman kalau ada film yang (saya dengar-dengar) bagus.

 Saya pun bukan orang yang nge-fans kepada bintangbintang film tertentu. Tahu nama mereka pun tidak, apalagi hafal nama-nama mereka. Tetapi ketika saya membaca tentang tewasnya Robin Williams di KORAN SINDO tanggal 13 Agustus yang lalu, saya cukup terpana, karena ternyata saya sudah nonton empat film dari 22 film yang dibintanginya. Keempat film itu adalah: Awakenings (1990), Mrs Doubtfire (1993), Jumanji (1995), dan Night at the Museum (2006).

Luar biasa, menurut ukuran saya (dan kata saya sendiri juga). Yang lebih luar biasa lagi adalah bahwa saya ingat dengan baik keempat film Robin Williams yang pernah saya tonton itu. Mrs. Doubtfire misalnya, mengisahkan sepasang suami-istri yang bercerai, dan sang ayah terpaksa meninggalkan rumah dan anakanaknya yang sangat dicintainya. Ayah ternyata tidak bisa menahan rindu kepada anakanaknya.

Dan ketika tahu bahwa mantan istrinya (yang selalu sibuk itu) memerlukan pengasuh, sang ayah mencoba melamar dengan cara menyamar menjadi Mrs Doubtfire, yaitu seorang wanita setengah baya yang berpengalaman sebagai pengasuh anak-anak. Lamarannya diterima. Ibu dan anakanak sama sekali tidak curiga, dan anak-anak dan pengasuh palsu segera bisa saling akrab. Ibu senang sekali, demikian juga anak-anak, dan tentu saja sang pengasuh palsu.

Kepalsuan baru terbongkar ketika salah satu anak memergokinya sedang menggunakan toilet (pintunya kebetulan tak terkunci) dalam posisi berdiri layaknya laki-laki kalau sedang pipis. Tetapi setelah rahasianya terbongkar, keluarga itu justru bisa rukun kembali dan Mrs Doubtfire kembali menjadi suami dan ayah yang dicintai istri dan anak-anaknya. Pokoknya happy end (saya tidak suka film-film yang tidak happy end karena bukannya terhibur, malah tambah stres).

Yang sangat menarik perhatian dalam kasus kematian Robin Williams adalah karena dia tewas lantaran bunuh diri. Seorang yang punya karakter sangat kuat, yang dapat mengelola emosinya dengan sangat baik, sehingga bisa berperan menjadi wanita setengah baya, akhirnya tewas karena bunuh diri. Apa pun alasannya, bunuh diri bukan suatu hal yang mudah diterima akal untuk seorang Robin Williams.

Jika kekayaan bisa membuat orang bahagia, tentunya Adolf Merckle, orang terkaya dari Jerman, tidak akan menabrakkan badannya ke kereta api. Jika ketenaran bisa membuat orang bahagia, tentunya Michael Jackson, penyanyi terkenal di USA, tidak akan meminum obat tidur hingga overdosis. Jika kekuasaan bisa membuat orang bahagia, tentunya G Vargas, presiden Brasil, tidak akan menembak jantungnya. Jika kecantikan bisa membuat orang bahagia, tentunya Marilyn Monroe, artis cantik dari USA, tidak akan minum alkohol dan obat depresi hingga overdosis. Jika kesehatan bisa membuat orang bahagia, tentunya Thierry Costa, dokter terkenal dari Prancis, tidak akan bunuh diri, akibat sebuah acara di televisi.

Puisi ”Jika” itu saya dapat dari salah satu WhatsApp Group. Benar sekali. Kalau orang-orang tersebut di atas bisa bunuh diri, mengapa Robin Williams tidak? Sebaliknya pengungsi-pengungsi Suriah yang sudah tersudut, tetap mencoba melarikan diri dari gerombolan ISIS, tetap mencoba menghindari maut, tetap menghindari kematian, tidak bunuh diri, walaupun akhirnya mereka tetap tewas terbunuh.

Ada pepatah yang mengatakan ”Sebelum ajal berpantang mati”. Itulah naluri manusia yang sebenarnya. Karena itu jika ada orangorang yang bunuh diri, yang berarti melawan nalurinya sendiri, perlu dicari tahu apa faktor yang menyebabkan. Beberapa literatur mengungkapkan bahwa ada beberapa macam bunuh diri. Yang terbanyak adalah bunuh diri karena putus asa.

Mungkin Robin Williams dan tokoh-tokoh selebritas terkenal lainnya yang bunuh diri termasuk jenis ini. Secara psikologis, faktor yang menyebabkan mereka bunuh diri tidak jauh berbeda dari seorang anak SD yang bunuh diri karena dia tidak lulus ujian nasional, sedangkan adiknya lulus. Dia takut dimarahi ibunya. Intinya orang-orang ini tiba-tiba merasa segala yang terjadi tidak sesuai harapannya, dan dia tidak punya kontrol lagi atas dirinya sendiri untuk meraih harapan itu.

Orang seperti ini biasanya mengalami stres, depresi, keadaan emosi yang bipolar, atau gangguan kejiwaan lainnya sehingga mereka akhirnya bunuh diri. Sebagian tidak langsung kepada perilaku bunuh diri, tetapi lari ke narkoba dan tewas karena overdosis. Jenis kedua adalah orang yang bunuh diri justru karena demi kehormatan, harga diri, adat atau membela ideologi, idealisme atau agama. Demonstran membakar dirinya untuk menentang rezim yang dianggapnya zalim.

Bom bunuh diri dilakukan oleh orang yang yakin bahwa perbuatannya diridai Tuhannya. Dahulu di India, istri yang ditinggal mati suaminya, harus melakukan Sati , yaitu harus ikut terjun ke api pembakaran jenazah suaminya. Penerbang Kamikaze di Perang Dunia II bunuh diri dengan menerjunkan pesawatnya ke kapal-kapal perang Amerika demi kemenangan Kaisar Jepang Tenno Heika.

Dan ketika Tenno Heika menyatakan menyerah kepada Sekutu pada 1945, berbondong- bondong orang datang ke halaman istana Kaisar Jepang itu untuk bersama-sama melakukan seppuku (bunuh diri) untuk membayar kehilangan harga diri sebagai Jepang. Tidak seperti yang kita duga, konseling dan pelayanan hotline dengan para psikolog, psikiater atau pembimbing rohani, ternyata tidak terlalu efektif.

Kalau orang mau bunuh diri, dia akan melakukannya walaupun dia sudah mendapat sejuta nasihat. Karena itu, pencegahan bunuh diri harus dilakukan dengan metode preventif, yaitu menjauhkan orang-orang yang sudah diduga bisa bunuh diri dari senjata api, senjata tajam, racun, atau hal-hal lain yang berbahaya.

Lantai-lantai di mal, tepi jurang, atau tepi rel kereta api diberi pembatas, dan pasienpasien penderita depresi dan gangguan jiwa lainnya diberi obat untuk mengembalikan semangat hidupnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar