Kuburan
Menziarahi Manusia
Binhad Nurrohmat ;
Penyair, Tinggal di Jakarta
|
KOMPAS,
24 Agustus 2014
Di
bak terbuka mobil pikap terbujur replika kuburan berkijing tumpukan batu bata
yang di atasnya tertaburi mawar merah dan terpasang dua nisan. Di sisi
replika kuburan ada dua kursi dan satu meja kayu coklat tua. Di pintu bak
pikap ini tertempel selembar kardus berisi grafiti bertuliskan ”Kuburan adalah masa depan semua orang”.
Menjelang
senja, Kamis (26/6), kuburan ini diarak di keramaian jalan-jalan utama di
kota Jombang dan berhenti di pasar tradisional, minimarket, kampus, bank,
kantor pemerintah, pondok pesantren, kantor media massa, alun-alun, stasiun,
terminal, kompleks kuburan, dan kantor PWI. Titik-titik perhentian ini
melambangkan keduniawian dan keakhiratan dalam persepsi kolektif publik.
Kuburan
”kelayapan” di ruang publik ini merupakan perlawanan ”politik ruang”.
Perlawanan ini membuat kuburan bisa terbebaskan dari belenggu identifikasi
ruang konvensionalnya, yaitu kompleks kuburan. Kuburan tak lagi hanya menjadi
obyek ziarah bagi publik. Kuburan pun bisa menjadi ”subyek” yang menghampiri
publik atau ”menziarahi” publik. Antara kuburan dan publik terjadi revisi
status subyek-obyek. Kuburan dan publik saling bertukar posisi, saling
bertukar tempat, sehingga menciptakan perjumpaan yang setara.
Emansipasi
kuburan terjadi di sini. Emansipasi ini memperluas identitas tradisional
kuburan. Kuburan berada di ruang yang sama dengan mobil di jalan raya.
Kuburan hadir di tempat yang sama dengan barang dagangan di pasar
tradisional. Memang terjadi kekikukan, keterenyakan, juga kebergidikan
manusia dalam perjumpaan dan interaksi non-verbal ini. Dan, ini merupakan
isyarat bahwa kuburan dianggap hadir di ruang yang tak semestinya. Kuburan
dianggap salah tempat, salah posisi. Tentu sikap ini wajar belaka jika
terjadi sebagaimana ketika publik melihat jimat dipajang di mal.
Dalam
happening art yang diprakarsai oleh beberapa seniman Jombang, Jawa Timur,
bertajuk ”Kuburan Menziarahi Manusia” ini, kuburan bukan lagi sebatas tanda
yang terlokalisasi di kompleks kuburan belaka. Kuburan tak lagi pasif dan
statis seperti pemahaman umum kuburan selama ini.
Melalui
seni di ruang publik ini, kuburan menjadi aktif dan bergerak mendatangi
publik. Kuburan hadir di ruang publik. Kuburan keluar dari tempat yang sunyi
atau sudut desa yang terpencil dan hadir di keramaian ruang publik di tengah
kota.
Kuburan
merupakan sebuah bangunan spiritual-religius. Pembebasan atau perluasan ruang
kehadiran kuburan terjadi melalui seni di ruang publik ini sehingga membuka
ruang baru bagi bertemunya simbol spiritual-religius dengan yang material-sekular.
Dalam happening art ini, kuburan hadir di tengah kesibukan aktivitas publik
di keramaian pasar. Momen ini juga menjadi sebuah interupsi kesadaran bagi
publik yang berada di keramaian pasar.
Adapun
sepasang kursi dan sebuah meja di sebelah kuburan ini merupakan wujud
simbolik ruang keakraban. Kuburan atau kematian menjadi akrab seperti kita
dan ruang tamu di rumah kita. ”Dan kematian makin akrab” seperti dalam puisi
Soebagio Sastrowardoyo terjelma dalam happening
art ini.
Ruang
tamu merupakan tempat manusia yang datang dan pergi. Ruang tamu menjadi
tempat pertemuan dan sekaligus batas antara kehidupan privat dan kehidupan
publik. Bukankah kuburan juga batas antara alam manusia yang hidup dan alam
manusia setelah mati?
Di
sejumlah perhentian, di dua kursi itu duduk dua orang berdialog tentang
kematian dan kuburan. Dua kursi itu berada tepat di sisi replika kuburan.
Mereka membicarakan pokok-soal yang dekat dengan ihwal yang mereka bicarakan.
Dialog ini membuat isi dialog dan yang didialogkan berada di ruang dan waktu
yang tak berbeda. Kuburan menjadi bagian yang terlibat dalam dialog dan
menjadi subyek, bukan obyek. Batas atas antar-ruang dan antar-waktu telah
terterabas di atas bak pikap itu.
Imajinasi masa depan
Setiap
manusia nanti mengalami kematian. Setiap yang hidup akan mengalami maut,
menurut Al Quran. Ini berarti kematian adalah bagian dari kehidupan juga
karena garis kehidupan pasti bergerak ke arah garis kematian. Seperti isi
grafiti di selembar kardus di pintu bak pikap itu.
Metafisikus
Jerman, Martin Heidegger, berpandangan bahwa manusia adalah
Ada-menuju-Kematian (Sein-zum-Tode).
Pandangan ini membuat kehidupan tak dianggap terpisah dari kehidupan.
Kehidupan yang mendalam menyadari kematian terarah ke dalam siklus dinamika hidup.
Pandangan ini membuat kehidupan lebih terhayati lantaran menyadari kematian
tersemat dalam perjalanan hidup manusia.
Imajinasi
tentang kematian merupakan misteri besar bagi setiap orang karena kematian
dianggap hanya dialami oleh mereka yang mati. Yang sudah mati tak bisa
menceritakan pengalaman kematian kepada yang hidup. Imajinasi ini telah
melahirkan agama, filsafat, dan klenik.
Dalam
happening art ini, muncul fenomena
yang kontras dari publik. Publik dari kalangan muda kurang terenyak atau
kurang responsif menyaksikan replika kuburan diarak keliling kota ini.
Barangkali pandangan umum mengisi pikiran mereka bahwa kematian masih jauh
dari realitas kehidupan manusia yang masih muda. Kematian adalah untuk
orang-orang tua. Dan memang kalangan orang tua menyaksikan happening art ini dengan respons dan
reaksi yang berlawanan dengan kalangan anak muda. Kalangan orang tua tampak
lebih terkoneksi oleh dan lebih merespons kehadiran replika kuburan yang
hadir di ruang publik ini.
Terjadi
arus-balik kesadaran ketika simbol kematian (kuburan) mendatangi manusia yang
hidup. Arus-balik ini menjadi teror atau kejutan bagi kesadaran manusia.
Perasaan khusyuk mendadak muncul ketika kuburan menghampiri publik. Kuburan
ini hadir dan seperti mengaktivasi kesadaran tentang waktu yang pasti akan
tiba dan kehadiran kuburan ini seperti ”mempercepat” datangnya waktu itu.
Kuburan
merupakan tanda, sebuah semiotika yang identik dengan kematian. Bagi publik
yang religius, kematian diyakini bukanlah akhir kehidupan. Kematian adalah
halte bagi kehidupan selanjutnya setelah melewati fase dunia ini. Ada debar
atau rasa gentar menghadapi keyakinan semacam ini.
Akhir
eksistensi dan biografi manusia bisa terwakili oleh artefak kuburan.
Keberadaan manusia terawetkan lewat kuburan. Dan happening art ini menggerakkan kuburan dari satu titik lokasi ke
titik lokasi yang lain. Kuburan menjadi mobile, kuburan menjadi tak statis
lagi. Kuburan menjadi dinamis. Kuburan melaju di keramaian lalu lintas jalan
raya dan kuburan merayap di tengah keriuhan publik di pasar tradisional.
Kuburan
menjadi sebuah eksistensi dan biografi yang hadir dan berinteraksi dengan
khalayak ramai dengan pernik-pernik kebudayaannya. Dan jika kebudayaan
diciptakan oleh manusia yang hidup, maka kematian adalah titik puncak
kebudayaan manusia. Namun, kuburan tak selalu menjadi ”akhir kebudayaan”
manusia.
Kuburan
di sejumlah tempat ternyata melatari terciptanya fenomena kapitalistik, yaitu
munculnya peluang pasar di sekitar kuburan para tokoh publik berupa maraknya
lahan parkir kendaraan peziarah atau munculnya toko-toko yang menjual
barang-barang kebutuhan ritual ziarah, suvenir, penginapan peziarah, warung
makan, dan lain-lain.
Happening art ini pun merupakan
produk kebudayaan atau hasil dari sebuah estetisasi yang bangkit dari
fenomena kuburan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar