Jumat, 08 Agustus 2014

Radikalisme : Sebuah Petaka

Radikalisme :  Sebuah Petaka

Trias Kuncahyono  ;   Wartawan Senior Kompas
KOMPAS, 05 Agustus 2014
                                                
                                                                                                                                   

AKAR ISIS bisa dengan mudah dilacak. Ia lahir dari kandungan Al Qaeda, hanya kemudian berkembang menjadi kelompok yang menebarkan rasa takut yang berlebihan, dibandingkan dengan induknya, bahkan lebih brutal.

Apalagi setelah dengan lantang mereka meneriakkan telah mendirikan kekhalifahan baru yang wilayahnya membentang dari Suriah bagian timur hingga Irak bagian barat, di dalamnya ada kota Fallujah, Ramadi, Tikrit, dan kota terbesar kedua di Irak, yakni Mosul, yang kemudian dijadikan ibu kota ISIS. Mereka ingin membangkitkan kembali Kekhalifahan Utsmaniyah (Ottoman) yang runtuh pada tahun 1924. Dan, pemimpin ISIS, Abu Bakr al-Baghdadi, menjadi khalifah pertama bergelar Khalifah Ibrahim.

Dalam pernyataannya—ditulis dalam bahasa Arab, Inggris, Jerman, Perancis, dan Rusia—ISIS menyatakan agar semua umat Muslim di seluruh dunia wajib bersumpah setia kepada khalifah baru. Peter Neumann dari International Centre for the Study of Radicalisation di King’s College London berpendapat, deklarasi itu menunjukkan betapa percaya dirinya ISIS setelah mereka merebut kota-kota penting di Irak.

Menurut Jamal Kashoggi, Pemimpin Redaksi Al-Arab News Channel, yang mengutip pendapat Sheikh Abdullah Azzam— sarjana dan teolog Islam Sunni Palestina yang sering disebut sebagai ”Bapak Jihad Dunia”—ISIS dikenal sebagai moukaffaratiah. ”Kata itu berarti, gemar mengafirkan pihak lain,” kata Zuhairi Misrawi, intelektual muda NU.

Aksi mereka di Irak utara, dan akhirnya merebut kota terbesar kedua di Irak, Mosul, menjelaskan istilah tersebut. ISIS dengan kekuatan senjata menghancurkan masjid-masjid milik kaum Syiah dan Sunni yang tidak bisa menerima mereka, dan makam Nabi Yunus. Kantor berita internasional Assyria menulis, ISIS menangkap kaum minoritas Turkmen, Shabak, dan Yazidis di sekitar Mosul dan membunuhnya. Mereka mengusir orang-orang Kristen kalau tidak mau membayar sejumlah uang atau pindah agama.

Dalam bahasa Muhammad Arkoun, ISIS telah mempertalikan antara ”yang sakral” dan ”kekerasan”. Ini menjadi cikal bakal fundamentalisme, bahkan ekstremisme. Ekstremisme sendiri sudah menebarkan kekerasan yang menakutkan, apalagi ditopang kekuatan politik yang bersifat otoritarianistik.

Perselingkuhan antara agama dan politik tidak hanya mengukuhkan otoritarianisme, tetapi juga secara sosiologis dapat menjadi penyebab meluasnya kekerasan. Kekerasan atas nama agama adalah petaka yang sangat mengerikan. Petaka itu akan semakin menakutkan, mengerikan apabila mendapat amunisi dari kekuasaan. Itulah yang kini sedang dilakukan ISIS dengan mengangkat senjata untuk menaklukan semua saja yang dianggapnya sebagai lawan, dalam pengertian luas, termasuk lawan secara ideologis.

Jelaslah kiranya, ideologi ISIS menakutkan. Mereka menyebarkan teror fanatisme komunal, menggelorakan konflik sektarian, fanatisme, dan fundamentalisme. Kesemuanya itu sangat berbahaya bagi kehidupan. Fundamentalisme, misalnya, memaksakan kebenaran tertentu. Dalam konteks ini, tentu ISIS ingin memaksakan kebenaran menurut versi mereka. Apa yang terjadi di Suriah dan Irak, pada saat ini, memberikan gambaran yang jelas dan gamblang. Tak pelak lagi, ISIS merupakan ancaman bagi Indonesia, negeri Pancasila, yang menjunjung tinggi dan sangat menghormati pluralitas, mengembangkan nilai-nilai toleransi, dan menjunjung tinggi nilai kemanusiaan.

Sejarah telah mencatat bahwa perdamaian dunia tidak akan pernah terwujud apabila tak ada perdamaian antaragama. Perdamaian sejati senantiasa didasarkan pada penghargaan akan hak asasi manusia, terlebih hak dasarnya: hak untuk hidup dan menjalin relasi personal dengan Sang Pencipta.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar