Radikalisme
: Sebuah Petaka
Trias Kuncahyono ; Wartawan Senior Kompas
|
KOMPAS,
05 Agustus 2014
AKAR ISIS bisa dengan mudah dilacak. Ia lahir dari kandungan Al
Qaeda, hanya kemudian berkembang menjadi kelompok yang menebarkan rasa takut
yang berlebihan, dibandingkan dengan induknya, bahkan lebih brutal.
Apalagi setelah dengan lantang mereka meneriakkan telah
mendirikan kekhalifahan baru yang wilayahnya membentang dari Suriah bagian
timur hingga Irak bagian barat, di dalamnya ada kota Fallujah, Ramadi,
Tikrit, dan kota terbesar kedua di Irak, yakni Mosul, yang kemudian dijadikan
ibu kota ISIS. Mereka ingin membangkitkan kembali Kekhalifahan Utsmaniyah
(Ottoman) yang runtuh pada tahun 1924. Dan, pemimpin ISIS, Abu Bakr
al-Baghdadi, menjadi khalifah pertama bergelar Khalifah Ibrahim.
Dalam pernyataannya—ditulis dalam bahasa Arab, Inggris, Jerman,
Perancis, dan Rusia—ISIS menyatakan agar semua umat Muslim di seluruh dunia
wajib bersumpah setia kepada khalifah baru. Peter Neumann dari International Centre for the Study of
Radicalisation di King’s College London berpendapat, deklarasi itu
menunjukkan betapa percaya dirinya ISIS setelah mereka merebut kota-kota
penting di Irak.
Menurut Jamal Kashoggi, Pemimpin Redaksi Al-Arab News Channel, yang mengutip pendapat Sheikh Abdullah
Azzam— sarjana dan teolog Islam Sunni Palestina yang sering disebut sebagai ”Bapak Jihad Dunia”—ISIS dikenal
sebagai moukaffaratiah. ”Kata itu berarti, gemar mengafirkan pihak
lain,” kata Zuhairi Misrawi, intelektual muda NU.
Aksi mereka di Irak utara, dan akhirnya merebut kota terbesar
kedua di Irak, Mosul, menjelaskan istilah tersebut. ISIS dengan kekuatan
senjata menghancurkan masjid-masjid milik kaum Syiah dan Sunni yang tidak
bisa menerima mereka, dan makam Nabi Yunus. Kantor berita internasional
Assyria menulis, ISIS menangkap kaum minoritas Turkmen, Shabak, dan Yazidis
di sekitar Mosul dan membunuhnya. Mereka mengusir orang-orang Kristen kalau
tidak mau membayar sejumlah uang atau pindah agama.
Dalam bahasa Muhammad Arkoun, ISIS telah mempertalikan antara
”yang sakral” dan ”kekerasan”. Ini menjadi cikal bakal fundamentalisme,
bahkan ekstremisme. Ekstremisme sendiri sudah menebarkan kekerasan yang
menakutkan, apalagi ditopang kekuatan politik yang bersifat otoritarianistik.
Perselingkuhan antara agama dan politik tidak hanya mengukuhkan
otoritarianisme, tetapi juga secara sosiologis dapat menjadi penyebab
meluasnya kekerasan. Kekerasan atas nama agama adalah petaka yang sangat
mengerikan. Petaka itu akan semakin menakutkan, mengerikan apabila mendapat
amunisi dari kekuasaan. Itulah yang kini sedang dilakukan ISIS dengan
mengangkat senjata untuk menaklukan semua saja yang dianggapnya sebagai
lawan, dalam pengertian luas, termasuk lawan secara ideologis.
Jelaslah kiranya, ideologi ISIS menakutkan. Mereka menyebarkan
teror fanatisme komunal, menggelorakan konflik sektarian, fanatisme, dan
fundamentalisme. Kesemuanya itu sangat berbahaya bagi kehidupan. Fundamentalisme,
misalnya, memaksakan kebenaran tertentu. Dalam konteks ini, tentu ISIS ingin
memaksakan kebenaran menurut versi mereka. Apa yang terjadi di Suriah dan
Irak, pada saat ini, memberikan gambaran yang jelas dan gamblang. Tak pelak
lagi, ISIS merupakan ancaman bagi Indonesia, negeri Pancasila, yang
menjunjung tinggi dan sangat menghormati pluralitas, mengembangkan
nilai-nilai toleransi, dan menjunjung tinggi nilai kemanusiaan.
Sejarah telah mencatat bahwa perdamaian dunia tidak akan pernah
terwujud apabila tak ada perdamaian antaragama. Perdamaian sejati senantiasa
didasarkan pada penghargaan akan hak asasi manusia, terlebih hak dasarnya:
hak untuk hidup dan menjalin relasi personal dengan Sang Pencipta. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar