Jumat, 08 Agustus 2014

Radikalisme : Genesis ISIS

Radikalisme :  Genesis ISIS

Trias Kuncahyono  ;   Wartawan Senior Kompas
KOMPAS, 04 Agustus 2014
                                                
                                                                                                                                   

SUATU hari, di Restoran Remboelan, seorang kawan bercerita, sebanyak 300-400 orang Indonesia bergabung dengan ISIS. Namun, beberapa hari lalu, Kepala Badan Nasional Penanggulangan Terorisme Ansyaad Mbai memperkirakan jumlahnya 30 orang. Sebuah video yang diunggah di Youtube menayangkan seorang anggota ISIS asal Indonesia, Abu Muhammad al Indonesi, menjadi bukti. Ia mengajak orang-orang Indonesia bergabung.

Mengapa ada orang Indonesia yang bergabung? Bukankah mereka, menurut AFP, Al-sumarian News yang dilansir Al Arabiya, dan CNN, Jumat (25/7), telah menghancurkan makam Nabi Yunus di Ninive, Mosul, tempat yang dihormati umat Islam dan Kristen. Bukankah mereka, menurut berita dari Mosul, telah menghancurkan tak kurang dari 30 tempat suci, termasuk masjid dan gereja. Bukankah mereka telah membunuh banyak orang? Siapa ISIS itu?

ISIS (Islamic State of Iraq and Syria atau Negara Islam di Irak dan Suriah/NIIS), menurut Zana Khasraw Gulmohamad dari Universitas Sheffield, bermula dari lahirnya Al Qaeda Irak (AQI) tahun 2003. AQI didirikan Abu Musab al-Zarqawi asal Jordania, yang pada tahun 2006 dibunuh Amerika Serikat. Ia digantikan Abu Ayyoub al-Masri asal Mesir yang mendukung pembentukan Islamic State of Irak (ISI). Setelah ISI berdiri, Abu-Baker al-Baghdadi yang dikenal dengan nama Abu Dua atau Hamed Dawood Mohammed Khalil al-Zawri (Awwad Ibrahim Ali-al-Badri al-Samarrai dan Abu Bakr al-Husayni al-Qurashi al-Baghdadi) menjadikan Baquba sebagai markas besarnya. Al-Baghdadi, orang Irak, menggantikan Masri yang tewas dibunuh tentara AS dan Irak.

Pada 2012, Al-Baghdadi mengirim orang-orangnya untuk membentuk Al Qaeda cabang Suriah yang diberi nama Jabhat al-Nusra. Kelompok yang bertujuan menyingkirkan Presiden Bashar al-Assad dan mendirikan negara Islam Sunni berorientasi salafis dipimpin Abu-Muhammad al-Jawlani. Menurut Australian National Security, mereka menerima dana dan dukungan dari AQI dan ISI. Namun, tunduk kepada Ayman al-Zawahiri, pemimpin Al Qaeda.

Al-Baghdadi yang ingin menjadi pemimpin tunggal, tanggal 8 April 2003 lewat sebuah dekrit menyatakan, NIR dan Jabhat al-Nusra berubah menjadi ISIS/ISIL. Namun, Jabhat al-Nusra menolak hal itu. Percekcokan antara ISI dan Jabhat al-Nusra berkepanjangan dan gagal ditengahi Ayman al-Zawahiri yang pada akhirnya menyatakan bahwa Al Qaeda memutus hubungan dengan ISIS karena ISIS memiliki konsepsi dan posisi sendiri; tidak tunduk kepada Al Qaeda Pusat dan Ayman.

Tumbangnya Saddam Hussein yang melahirkan rezim Syiah di Irak tidak memberi tempat kepada kaum Sunni. Kegagalan pemimpin Irak, termasuk Perdana Menteri M Nouri al-Maliki, membangun sistem politik inklusif telah memberi jalan bertumbuh kembangnya kelompok militan di seluruh Irak yang pada gilirannya melahirkan ISIS. Kaum militan memprotes marginalisasi ekonomi dan politik oleh penguasa, Syiah. Dukungan AS, Arab Saudi, dan Qatar pada oposisi berhaluan keras di Suriah juga memberikan andil lahirnya ISIS.  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar