Jumat, 08 Agustus 2014

Radikalisme : Ideologi dan Uang

Radikalisme :  Ideologi dan Uang

Trias Kuncahyono  ;   Wartawan Senior Kompas
KOMPAS, 06 Agustus 2014
                                                
                                                                                                                                   

MOSUL, 10 Juni 2014, jatuh. Kota terbesar kedua di Irak yang terletak sekitar 400 kilometer sebelah barat laut Baghdad dikuasai NIIS atau Negara Islam di Irak dan Suriah atau juga populer dengan sebutan ISIS (sejak mendeklarasikan sebagai kekhalifahan baru dan menyatakan Abu Bakr al-Bagdhadi sebagai Khalifah Ibrahim, 29 Juni 2014, mereka membuang kata ”Irak dan Levant/Suriah” dari ISIS/ISIL—Islamic State in Iraq and Syria/Levant—dan menyebut diri sebagai IS, Islamic State, Negara Islam).

Jatuhnya Mosul yang berpenduduk sekitar 2 juta orang itu pukulan berat bagi Baghdad. Ribuan penduduk keluar Mosul, ibu kota Provinsi Ninive—terutama kaum minoritas dan Syiah —mencari selamat. Tentara NIIS menduduki dan menguasai gedung-gedung pemerintah, sumur-sumur minyak, markas militer, gudang senjata, dan bank.

Menurut radio Jerman, Deutsche Welle (DW), NIIS mengambil uang di Bank Sentral Mosul, sejumlah 500 miliar dinar Irak atau sekitar 429 juta dollar AS ditambah sejumlah emas. ”Dengan uang sebanyak itu, mereka biasa membayar 60.000 pejuangnya,” kata Eliot Higgins, warga Inggris. Saat ini, diperkirakan NIIS memiliki sekitar 10.000 anggota bersenjata yang berasal dari berbagai belahan dunia: Eropa, Afrika, Timur Tengah, Australia, dan Asia Tenggara, termasuk Indonesia.

Dengan jumlah anggota yang banyak itu, NIIS harus menyediakan dana yang banyak pula untuk menjalankan operasi bersenjatanya di Suriah dan Irak, termasuk untuk membeli senjata. Sumber keuangan NIIS dari mana-mana, baik dari dalam maupun luar Irak dan Suriah.

Menurut Direktur Center for Research untuk Dunia Arab dari Universitas Mainz, Jerman, Gunter Meyer, ”Sumber terpenting keuangan ISIS dari negara-negara Teluk dan Arab Saudi, Qatar, Kuwait, dan Uni Emirat Arab.” Terutama dari orang-orang kaya di negeri itu.

Motivasi mereka memberikan bantuan semula, menurut Meyer, untuk mendukung perlawanan NIIS menghadapi rezim Presiden Bashar al-Assad di Suriah. Dukungan ini lebih disemangati ”kebencian” sektarian: tiga perempat penduduk Suriah adalah Muslim Sunni, tetapi sebagian besar elite yang memerintah adalah minoritas Alawite, yang sering disebut bagian dari Muslim Syiah.

BBC pada Juni mengabarkan, NIIS mendapat dukungan keuangan dari donor di Suriah, Arab Saudi, Kuwait, dan Jordania. Hal itu terjadi ketika mereka masih bernama Al Qaeda Irak (AQI). Namun, setelah AQI putus hubungan dengan Al Qaeda pusat pimpinan Ayman al-Zawahiri, dan memproklamasikan bernama ISIS, menurut CNN dan The New York Times, mereka menggantungkan sumber keuangannya dari aksi-aksi kriminal, seperti penculikan, pemerasan, dan perampokan.

Cara seperti itu biasa dilakukan kelompok-kelompok teroris di mana pun, seperti oleh Al Qaeda di Afrika Utara, Boko Haram di Afrika Barat, serta Taliban dan Haqqani di Afganistan dan Pakistan. Mereka menculik dan menuntut uang tebusan, atau juga melakukan pencucian uang.

Mereka juga menguasai instalasi minyak di Suriah dan Irak utara, yang hasilnya mereka selundupkan, termasuk dijual kepada Suriah. Ini yang menurut Charles Lister dari Brooking Doha Center membuat NIIS mampu membiayai diri sendiri dan tidak lagi menggantungkan pada sumbangan dari luar. Meskipun para pemimpin NIIS tetap menggunakan teknologi baru dan sosial media untuk mencari pendukung dan dana.

Benar apa yang dikatakan Rex Brynen, profesor politik dari Universitas McGill, Montreal, Kanada, ”Dana NIIS gabungan donasi pribadi dari luar dan dari dalam negeri, yakni dari wilayah yang mereka kuasai.” Hal itu misalnya dengan cara memeras para penguasa, menyelundupkan minyak, pajak, dan termasuk tindak-tindak kriminal.

Dengan semua itu, NIIS (IS) membiayai operasi militernya dan juga membayar anggotanya yang berasal dari luar, termasuk Indonesia. Maka, demi ideologi dan uang adalah alasan sebagian besar mereka bergabung dengan NIIS.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar