Radikalisme
: Ideologi dan Uang
Trias Kuncahyono ; Wartawan Senior Kompas
|
KOMPAS,
06 Agustus 2014
MOSUL, 10 Juni 2014, jatuh. Kota terbesar kedua di Irak yang
terletak sekitar 400 kilometer sebelah barat laut Baghdad dikuasai NIIS atau
Negara Islam di Irak dan Suriah atau juga populer dengan sebutan ISIS (sejak
mendeklarasikan sebagai kekhalifahan baru dan menyatakan Abu Bakr al-Bagdhadi
sebagai Khalifah Ibrahim, 29 Juni 2014, mereka membuang kata ”Irak dan
Levant/Suriah” dari ISIS/ISIL—Islamic State in Iraq and Syria/Levant—dan
menyebut diri sebagai IS, Islamic State, Negara Islam).
Jatuhnya Mosul yang berpenduduk sekitar 2 juta orang itu pukulan
berat bagi Baghdad. Ribuan penduduk keluar Mosul, ibu kota Provinsi
Ninive—terutama kaum minoritas dan Syiah —mencari selamat. Tentara NIIS
menduduki dan menguasai gedung-gedung pemerintah, sumur-sumur minyak, markas
militer, gudang senjata, dan bank.
Menurut radio Jerman, Deutsche Welle (DW), NIIS mengambil uang
di Bank Sentral Mosul, sejumlah 500 miliar dinar Irak atau sekitar 429 juta
dollar AS ditambah sejumlah emas. ”Dengan
uang sebanyak itu, mereka biasa membayar 60.000 pejuangnya,” kata Eliot
Higgins, warga Inggris. Saat ini, diperkirakan NIIS memiliki sekitar 10.000
anggota bersenjata yang berasal dari berbagai belahan dunia: Eropa, Afrika,
Timur Tengah, Australia, dan Asia Tenggara, termasuk Indonesia.
Dengan jumlah anggota yang banyak itu, NIIS harus menyediakan
dana yang banyak pula untuk menjalankan operasi bersenjatanya di Suriah dan
Irak, termasuk untuk membeli senjata. Sumber keuangan NIIS dari mana-mana,
baik dari dalam maupun luar Irak dan Suriah.
Menurut Direktur Center
for Research untuk Dunia Arab dari Universitas Mainz, Jerman, Gunter
Meyer, ”Sumber terpenting keuangan ISIS
dari negara-negara Teluk dan Arab Saudi, Qatar, Kuwait, dan Uni Emirat Arab.”
Terutama dari orang-orang kaya di negeri itu.
Motivasi mereka memberikan bantuan semula, menurut Meyer, untuk
mendukung perlawanan NIIS menghadapi rezim Presiden Bashar al-Assad di
Suriah. Dukungan ini lebih disemangati ”kebencian” sektarian: tiga perempat
penduduk Suriah adalah Muslim Sunni, tetapi sebagian besar elite yang
memerintah adalah minoritas Alawite, yang sering disebut bagian dari Muslim
Syiah.
BBC pada Juni mengabarkan, NIIS mendapat dukungan keuangan dari
donor di Suriah, Arab Saudi, Kuwait, dan Jordania. Hal itu terjadi ketika
mereka masih bernama Al Qaeda Irak (AQI). Namun, setelah AQI putus hubungan
dengan Al Qaeda pusat pimpinan Ayman al-Zawahiri, dan memproklamasikan
bernama ISIS, menurut CNN dan The New York Times, mereka menggantungkan
sumber keuangannya dari aksi-aksi kriminal, seperti penculikan, pemerasan,
dan perampokan.
Cara seperti itu biasa dilakukan kelompok-kelompok teroris di
mana pun, seperti oleh Al Qaeda di Afrika Utara, Boko Haram di Afrika Barat,
serta Taliban dan Haqqani di Afganistan dan Pakistan. Mereka menculik dan
menuntut uang tebusan, atau juga melakukan pencucian uang.
Mereka juga menguasai instalasi minyak di Suriah dan Irak utara,
yang hasilnya mereka selundupkan, termasuk dijual kepada Suriah. Ini yang
menurut Charles Lister dari Brooking
Doha Center membuat NIIS mampu membiayai diri sendiri dan tidak lagi
menggantungkan pada sumbangan dari luar. Meskipun para pemimpin NIIS tetap
menggunakan teknologi baru dan sosial media untuk mencari pendukung dan dana.
Benar apa yang dikatakan Rex Brynen, profesor politik dari
Universitas McGill, Montreal, Kanada, ”Dana
NIIS gabungan donasi pribadi dari luar dan dari dalam negeri, yakni dari
wilayah yang mereka kuasai.” Hal itu misalnya dengan cara memeras para
penguasa, menyelundupkan minyak, pajak, dan termasuk tindak-tindak kriminal.
Dengan semua itu, NIIS (IS) membiayai operasi militernya dan
juga membayar anggotanya yang berasal dari luar, termasuk Indonesia. Maka,
demi ideologi dan uang adalah alasan sebagian besar mereka bergabung dengan
NIIS. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar