Radikalisme
: Dari Lelucon ke Tragedi
Trias Kuncahyono ; Wartawan Senior Kompas
|
KOMPAS,
07 Agustus 2014
TIDAK masalah kan kalau tulisan pendek ini diawali dengan
mengutip pendapat Karl Marx (1818-1883) tentang sejarah. Sejarah, demikian
katanya, bermula dari lelucon dan berakhir dengan tragedi. Tokoh lain lagi
mengatakan, sejarah selalu mengulang dirinya sendiri; dan akan berulang
setiap seratus tahun atau satu abad.
Kalau sekarang NIIS (ISIS) memaklumkan berdirinya sebuah
kekhalifahan baru yang berpusat di Mosul, Irak utara, apakah ini masuk dalam
kategori pengulangan sejarah? Kekhalifahan terakhir—Utsmaniyah—berakhir pada
3 Maret 1924. Jadi, tahun 2014 ini baru 90 tahun.
Ketika melihat kekhalifahan Utsmaniyah mulai goyah, ada usaha
untuk merestorasinya. Usaha itu dilakukan Sharif Hussein bin Ali, emir Mekkah
dan raja Arab yang memerintah atas Mekkah, Madinah, dan Hijaz—wilayah sebelah
barat Arab Saudi sekarang ini. Namun, usaha Sharif Hussein pada tahun 1916
menggelorakan Revolusi Arab Raya untuk mendirikan negara Arab bersatu dan
merdeka yang wilayahnya membentang dari Allepo (Suriah) hingga Aden (Yaman)
gagal.
Bentangan wilayah ini didasarkan pada kultur dan tradisi kuno
orang-orang Arab yang ada di wilayah itu (The Hashemite Kingdom of Jordan).
Cita-cita itu gagal karena keputusan merestorasi kekhalifahan itu tidak bebas
dan tidak didukung kekuatan memadai. Tidak bebas karena ada tekanan dari
Inggris (bertentangan dengan kepentingan Inggris), sekutunya dalam menghadapi
Ottoman (lalu berdasarkan Kesepakatan Sykes-Picot, 1916, Inggris, Perancis,
dan Rusia membagi bekas wilayah Ottoman).
Berdasarkan perjanjian itu, Perancis menguasai Suriah, Lebanon,
dan Cilicia. Sementara Inggris mendapatkan wilayah yang sekarang bernama
Jordania, sebagian Irak (termasuk Baghdad), serta Pelabuhan Haifa dan Acre.
Sebagian besar Palestina dikontrol bersama oleh kekuatan Sekutu. Lembah
Jordan ada di bawah pengaruh Inggris. Jerusalem di bawah administrasi
internasional. Rusia mendapatkan sebagian Turki, termasuk Istanbul dan Selat
Bosporus.
Usaha untuk mempersatukan Dunia Arab dilakukan lagi dengan
dimunculkannya istilah Arabisme pada pertengahan 1930-an. Gagasan ini
dilontarkan Partai Nasionalis Sosial Suriah pimpinan Antoun Saadeh
(1904-1949), filsuf dan politisi asal Lebanon. Yang masuk dalam cakupan
Arabisme mulai dari Mashreg (Mesir, Lebanon, Palestina, Jordania, dan Suriah)
hingga Maghreb (Afrika Barat daya—Maroko, Aljazair, Tunisia, dan Libia—serta
Mesir bagian Barat). Dengan kata lain, ia ingin mempersatukan wilayah dari
Semenanjung Arabia hingga Maroko.
Cita-cita Antoun Saadeh gagal. Michel Aflaq (1910-1989), seorang
filsuf, sosiolog, dan nasionalis Suriah, serta kawan-kawannya pada tahun 1947
mendirikan Partai Baath Sosialis Arab di Damaskus. Mereka mengusung ideologi
campuran: nasionalis Arab, pan-Arabisme, sosialis Arab, dan anti kepentingan
imperalis. Usaha ini gagal juga.
George Habash (1926-2008), seorang Palestina Kristen yang Marxis,
doktor lulusan AS, memprakarsai berdirinya Gerakan Nasionalis Arab. Ia
merangkul kaum Nasionalis Arab dari Suriah, Lebanon, Jordania, Kuwait,
Semenanjung Arab, dan sebagian Maroko.
Pendek kata, banyak usaha telah dilakukan untuk menyatukan Arab
dan selalu gagal. Kini, gerakan radikal, militan, dan sektarian, yang
berjubah agama di Suriah dan Irak, ingin mengulang lagi sejarah dengan
mendirikan NIIS (ISIS/NI). Lelucon apa lagi yang akan dipentaskan di panggung
Dunia Arab? Apakah negara-negara di Dunia Arab (sebut saja, Irak dan Suriah,
paling tidak) tunduk pada keinginan NIIS?
Inilah lelucon yang berujung tragedi di panggung Dunia Arab yang
ingin disebarkan ke sejumlah negara, termasuk Indonesia. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar