Jumat, 08 Agustus 2014

Menakar Komitmen Lingkungan

Menakar Komitmen Lingkungan

Longgena Ginting  ;   Kepala Greenpeace Indonesia
KOMPAS, 07 Agustus 2014
                                                
                                                                                                                                   

Mempertimbangkan debat sepanjang kampanye pemilu presiden, tampaknya pemerintah baru masih perlu memperdalam visi pembangunan yang meletakkan tri-tunggal pembangunan berkelanjutan, yaitu pertumbuhan ekonomi, keadilan sosial, dan perlindungan lingkungan.

Indonesia juga perlu melepaskan diri dari ketergantungan pada energi kotor fosil dan menghentikan deforestasi hutan tropis yang merupakan pendorong utama bencana iklim. Pemberitaan mengenai hutan-hutan Indonesia menunjukkan penyusutan dengan kecepatan tertinggi di dunia, masih ditambah dengan persoalan kebakaran hutan kronis menahun.

Padahal, perlindungan lingkungan tidak hanya penting bagi keselamatan warga dan generasi yang akan datang, tetapi juga merupakan fondasi bagi pertumbuhan ekonomi dan pembangunan yang stabil.

Tak satu negara pun dapat mempertahankan pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan dalam lingkungan yang terdegradasi. Sebab itu, kita perlu memastikan bahwa lingkungan kita yang unik dan berharga ini dikelola dengan lebih baik.

Bukan rahasia bahwa krisis ekologis telah berdampak luas bagi masyarakat di seluruh Nusantara, terutama kelompok miskin. Mengarusutamakan perlindungan lingkungan berarti juga mengarusutamakan kebijakan pembangunan yang berpihak kepada kelompok miskin (pro poor policy), dan masyarakat adat yang hidupnya tergantung dari keanekaragaman hayati.

Kepentingan kelompok masyarakat miskin dan lokal ini harus diletakkan di atas kepentingan profit korporat. Kita berkejaran dengan waktu untuk membalik proses kerusakan yang tidak terpulihkan. Pemerintah dan masyarakat Indonesia memiliki tantangan luar biasa untuk mengatasi persoalan tersebut.

Kerusakan lingkungan

Indonesia memiliki contoh-contoh kerusakan lingkungan paling parah di dunia. Tak hanya Citarum telah dinobatkan sebagai sungai paling tercemar di dunia, kualitas udara kota-kota di Indonesia juga masuk dalam daftar terburuk di dunia. Hal lain yang perlu diperhatikan adalah posisi vital kelautan kita dalam menjawab masalah pangan, energi, dan lingkungan.

Laut adalah sumber protein penting bagi masyarakat Indonesia. Persoalan perikanan tangkap saat ini adalah pencemaran dan penangkapan berlebih, termasuk pencurian ikan. Mengatasi penangkapan ikan berlebih dan pencemaran adalah kunci bagi masalah pangan masa depan, sekaligus memberikan kesejahteraan bagi jutaan keluarga nelayan.

Selain persoalan lautan, air, dan udara, kehutanan merupakan persoalan krusial yang dihadapi Indonesia. Tingkat deforestasi Indonesia saat ini diklaim sebagai yang tertinggi di dunia, mengalahkan Brasil.

Saatnya bagi pemerintah baru untuk menyelesaikan persoalan sektor kehutanan dimulai dengan mengurai tumpang tindih perizinan kawasan hutan melalui kebijakan satu peta (one map policy), serta memperkuat dan memperpanjang kebijakan moratorium yang akan berakhir pada Mei 2015.

Hutan Indonesia adalah garis pertahanan pertama planet Bumi untuk stabilitas iklim, dengan menyimpan hampir 60 miliar ton karbon, jumlah yang jauh lebih tinggi dari pembakaran bahan bakar fosil. Ini artinya, menghancurkan hutan sama dengan menghancurkan atmosfer Bumi fondasi kehidupan manusia.

Hutan menyediakan pangan dan obat-obatan penting bagi masyarakat adat. Hutan adalah rumah bagi setidaknya 40 juta masyarakat adat dan bagi lebih dari 50 persen dari seluruh spesies tumbuhan dan hewan.

Batubara

Persoalan lain adalah eksploitasi batubara sebagai pemicu bencana lingkungan seperti tanah longsor, banjir, dan mencemari air yang vital bagi pertanian.
Berdasarkan laporan Point of No Return yang diterbitkan oleh Greenpeace, industri batubara Indonesia menempati peringkat keempat sebagai penyebab terbesar emisi karbon dari sektor energi di antara seluruh industri fosil besar dunia.

Peringkat ini tentu tidak membanggakan, secara tidak langsung Indonesia telah berkontribusi pada perubahan iklim.

Meski demikian, Greenpeace mengapresiasi langkah pemerintah baru untuk mengucapkan selamat tinggal pada energi fosil yang kotor melalui prioritas diversifikasi energi dari sektor energi bersih terbarukan.

Langkah-langkah meningkatkan energi non- fosil melalui kebijakan insentif seperti feed in tariff dan efisiensi transportasi massal perlu dilakukan secara strategis untuk mencapai target yang lebih ambisius lagi, yaitu hingga 40 persen pada 2030.

Tak pelak, pemerintah baru perlu memilih model pembangunan yang tidak mengorbankan kelestarian lingkungan, sekaligus mendorong pembangunan ekonomi hijau rendah karbon. Karena pembangunan ekonomi tidak seharusnya dipertentangkan dengan pelestarian lingkungan.
Saat ini Indonesia menghadapi berbagai permasalahan terkait dengan degradasi lingkungan.

Banyak kejadian menunjukkan suatu daerah harus menanggung beban kerugian ekonomi begitu besar karena kerusakan lingkungan yang disebabkan oleh aktivitas industri yang tidak ramah lingkungan.

Oleh karena itu, pemerintah baru perlu mengembangkan model pembangunan hijau yang berkelanjutan dan berdaulat, tegas dalam penegakan hukum terhadap industri yang terbukti merusak lingkungan.

Di tengah ekonomi yang semakin homogen dan mengglobal, kita perlu me-
nunjukkan kepemimpinan Indonesia bahwa kita dapat membangun peradaban yang berdasarkan hubungan harmonis antara kemanusiaan dan alam.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar