Menakar
Komitmen Lingkungan
Longgena Ginting ; Kepala Greenpeace Indonesia
|
KOMPAS,
07 Agustus 2014
Mempertimbangkan debat
sepanjang kampanye pemilu presiden, tampaknya pemerintah baru masih perlu
memperdalam visi pembangunan yang meletakkan tri-tunggal pembangunan
berkelanjutan, yaitu pertumbuhan ekonomi, keadilan sosial, dan perlindungan
lingkungan.
Indonesia juga perlu melepaskan
diri dari ketergantungan pada energi kotor fosil dan menghentikan deforestasi
hutan tropis yang merupakan pendorong utama bencana iklim. Pemberitaan
mengenai hutan-hutan Indonesia menunjukkan penyusutan dengan kecepatan
tertinggi di dunia, masih ditambah dengan persoalan kebakaran hutan kronis menahun.
Padahal, perlindungan
lingkungan tidak hanya penting bagi keselamatan warga dan generasi yang akan
datang, tetapi juga merupakan fondasi bagi pertumbuhan ekonomi dan
pembangunan yang stabil.
Tak satu negara pun dapat
mempertahankan pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan dalam lingkungan yang
terdegradasi. Sebab itu, kita perlu memastikan bahwa lingkungan kita yang
unik dan berharga ini dikelola dengan lebih baik.
Bukan rahasia bahwa krisis
ekologis telah berdampak luas bagi masyarakat di seluruh Nusantara, terutama
kelompok miskin. Mengarusutamakan perlindungan lingkungan berarti juga
mengarusutamakan kebijakan pembangunan yang berpihak kepada kelompok miskin (pro poor policy), dan masyarakat adat
yang hidupnya tergantung dari keanekaragaman hayati.
Kepentingan kelompok masyarakat
miskin dan lokal ini harus diletakkan di atas kepentingan profit korporat.
Kita berkejaran dengan waktu untuk membalik proses kerusakan yang tidak
terpulihkan. Pemerintah dan masyarakat Indonesia memiliki tantangan luar biasa
untuk mengatasi persoalan tersebut.
Kerusakan lingkungan
Indonesia memiliki
contoh-contoh kerusakan lingkungan paling parah di dunia. Tak hanya Citarum
telah dinobatkan sebagai sungai paling tercemar di dunia, kualitas udara
kota-kota di Indonesia juga masuk dalam daftar terburuk di dunia. Hal lain
yang perlu diperhatikan adalah posisi vital kelautan kita dalam menjawab
masalah pangan, energi, dan lingkungan.
Laut adalah sumber protein
penting bagi masyarakat Indonesia. Persoalan perikanan tangkap saat ini
adalah pencemaran dan penangkapan berlebih, termasuk pencurian ikan.
Mengatasi penangkapan ikan berlebih dan pencemaran adalah kunci bagi masalah
pangan masa depan, sekaligus memberikan kesejahteraan bagi jutaan keluarga
nelayan.
Selain persoalan lautan, air,
dan udara, kehutanan merupakan persoalan krusial yang dihadapi Indonesia.
Tingkat deforestasi Indonesia saat ini diklaim sebagai yang tertinggi di
dunia, mengalahkan Brasil.
Saatnya bagi pemerintah baru
untuk menyelesaikan persoalan sektor kehutanan dimulai dengan mengurai
tumpang tindih perizinan kawasan hutan melalui kebijakan satu peta (one map policy), serta memperkuat dan
memperpanjang kebijakan moratorium yang akan berakhir pada Mei 2015.
Hutan Indonesia adalah garis
pertahanan pertama planet Bumi untuk stabilitas iklim, dengan menyimpan
hampir 60 miliar ton karbon, jumlah yang jauh lebih tinggi dari pembakaran
bahan bakar fosil. Ini artinya, menghancurkan hutan sama dengan menghancurkan
atmosfer Bumi fondasi kehidupan manusia.
Hutan menyediakan pangan dan
obat-obatan penting bagi masyarakat adat. Hutan adalah rumah bagi setidaknya
40 juta masyarakat adat dan bagi lebih dari 50 persen dari seluruh spesies
tumbuhan dan hewan.
Batubara
Persoalan lain adalah
eksploitasi batubara sebagai pemicu bencana lingkungan seperti tanah longsor,
banjir, dan mencemari air yang vital bagi pertanian.
Berdasarkan laporan Point of No Return yang diterbitkan
oleh Greenpeace, industri batubara Indonesia menempati peringkat keempat
sebagai penyebab terbesar emisi karbon dari sektor energi di antara seluruh
industri fosil besar dunia.
Peringkat ini tentu tidak
membanggakan, secara tidak langsung Indonesia telah berkontribusi pada
perubahan iklim.
Meski demikian, Greenpeace
mengapresiasi langkah pemerintah baru untuk mengucapkan selamat tinggal pada
energi fosil yang kotor melalui prioritas diversifikasi energi dari sektor
energi bersih terbarukan.
Langkah-langkah meningkatkan
energi non- fosil melalui kebijakan insentif seperti feed in tariff dan
efisiensi transportasi massal perlu dilakukan secara strategis untuk mencapai
target yang lebih ambisius lagi, yaitu hingga 40 persen pada 2030.
Tak pelak, pemerintah baru
perlu memilih model pembangunan yang tidak mengorbankan kelestarian
lingkungan, sekaligus mendorong pembangunan ekonomi hijau rendah karbon.
Karena pembangunan ekonomi tidak seharusnya dipertentangkan dengan
pelestarian lingkungan.
Saat ini Indonesia menghadapi
berbagai permasalahan terkait dengan degradasi lingkungan.
Banyak kejadian menunjukkan
suatu daerah harus menanggung beban kerugian ekonomi begitu besar karena
kerusakan lingkungan yang disebabkan oleh aktivitas industri yang tidak ramah
lingkungan.
Oleh karena itu, pemerintah
baru perlu mengembangkan model pembangunan hijau yang berkelanjutan dan berdaulat,
tegas dalam penegakan hukum terhadap industri yang terbukti merusak
lingkungan.
Di tengah ekonomi yang semakin
homogen dan mengglobal, kita perlu me-
nunjukkan kepemimpinan
Indonesia bahwa kita dapat membangun peradaban yang berdasarkan hubungan
harmonis antara kemanusiaan dan alam. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar