Program
KB dan Komitmen Daerah
Razali Ritonga ;
Direktur Statistik
Kependudukan dan Ketenagakerjaan BPS RI
|
MEDIA
INDONESIA, 22 Agustus 2014
UPAYA pemerintahan
baru untuk menyejahterahkan masyarakat barangkali akan menemui hambatan jika
pertumbuhan penduduk tidak bisa diturunkan. Sebab, upaya peningkatan
kesejahteraan yang dilakukan akan bersaing dengan bertambahnya jumlah
penduduk. Jika upaya yang dilakukan, misalnya, lebih kecil dibandingkan
pertambahan jumlah penduduk, kesejahteraan akan memburuk.
Kekhawatiran akan
memburuknya kesejahteraan itu tampaknya cukup beralasan mengingat pertumbuhan
penduduk yang terjadi saat ini masih terbilang cukup tinggi. Bahkan,
dibandingkan dengan periode sebelumnya (1990-2000), pertumbuhan penduduk pada
periode setelahnya, terutama pada 20002010 menunjukkan kecenderungan
meningkat. Adapun pertumbuhan penduduk se lama 1990-2000 sebesar 1,44% per
tahun, kemudian meningkat pada periode 2000-2010 sebesar 1,49% per tahun.
Salah satu faktor
penyebab cukup tingginya pertumbuhan penduduk di Tanah Air terutama
diakibatkan angka kelahiran yang terbilang masih tinggi. Hasil Survei
Demografi dan Kesehatan Indonesia (SDKI) 2012, misalnya, menunjukkan bahwa
angka kelahiran total (total fertility rate/TFR) masih sebesar 2,6.
Celakanya, angka TFR sebesar itu (2,6) telah bertahan selama satu dasawarsa
(2002-2012).
Maka, atas dasar itu,
pemerintahan baru perlu bekerja keras untuk menggalakkan kembali program KB.
Hal ini tidak berarti bahwa pemerintahan SBY-Boediono tidak berupaya keras
untuk meningkatkan program KB.Namun, upaya pemerintahan baru diharapkan dapat
menyempurnakan upaya pemerintahan selama ini.
Patut diketahui, upaya
yang dilakukan pemerintah selama ini untuk menggalakkan program KB, antara
lain, melalui upaya peningkatan anggaran.Selama 2007-203, misalnya, anggaran
BKKBN untuk pembangunan kependudukan dan KB meningkat tajam dari Rp1,1
triliun pada 2007 menjadi Rp2,6 triliun pada 2013 (BKKBN, 29/08/2012).
Peningkatan anggaran
memang diperlukan, terutama untuk penyediaan alat/cara KB dan pelayanan KB.
Lavine.et.al (2006), misalnya, dalam salah satu studinya memperkirakan bahwa
biaya per kapita untuk penyediaan alat/ cara KB secara global sebesar US$1,55
per tahun. Sementara biaya infrastruktur layanan KB berkisar antara US$2US$35
per kapita per tahun tergantung pada faktor kesulitan lokasi layanan.
Namun, peningkatan
anggaran belum menjamin bahwa program KB akan berhasil.Sebab, hal itu masih
ditentukan komitmen pemerintah daerah, khususnya pada level kabupaten/kota
yang melaksanakan program KB. Maka, selain menyiapkan anggaran secara
memadai, pemerintahan baru harus mampu meyakinkan pemerintah daerah tentang
perlunya melaksanakan program KB.
Komitmen pemda
Perlunya meningkatkan
komitmen pemerintah daerah untuk melaksanakan program KB secara intensif
karena ditengarai sejak diberlakukannya otonomi daerah pada 2001 program KB
mengendur.Perubahan sistem pemerintahan dari sentralisasi ke desentralisasi
diperkirakan turut berkontribusi terhadap melemahkan komitmen sejumlah daerah
dalam melaksanakan program KB. Hal ini, antara lain, ditandai tidak adanya
instansi atau dinas khusus yang menangani pelaksanaan program KB. Meskipun
ada, keberadaannya digabung dengan institusi lainnya, seperti catatan sipil,
kependudukan, dan pemberdayaan perempuan.
Boleh jadi, faktor
penyebab lemahnya komitmen sebagian daerah kabupaten/kota melaksanakan
program KB itu adalah karena terputusnya garis institusi BKKBN. Diketahui,
institusi BKKBN saat ini bersifat vertikal hingga level provinsi. Hal ini
tentu cukup merepotkan dalam pelaksanaan koordinasi dan pengawasan terhadap
pelaksanaan program KB di level kabupaten/kota.
Padahal, koordinasi
dan pengawasan amat diperlukan mengingat tidak sedikit pemerintah
kabupaten/kota yang menempatkan program KB bukan sebagai prioritas
pembangunan. Hal ini mungkin disebabkan karena jumlah penduduk di daerahnya
sedikit dibandingkan dengan luasnya wilayah pemerintahan. Bahkan, kemungkinan
ada daerah menginginkan jumlah penduduk diperbanyak agar dapat mengoptimalkan
potensi wilayahnya untuk pengembangan ekonomi daerah.
Meski penilaian itu
cukup logis, barangkali kurang tepat jika ditilik dari kepentingan
pembangunan kependudukan dan KB secara nasional. Sebab, tujuan mendasar
pembangunan kependudukan dan KB secara nasional adalah bukan semata soal
kuantitas, tapi juga kualitas penduduk. Artinya, daerah dengan jumlah
penduduk sedikit justru memiliki ruang yang cukup besar guna meningkatkan
kualitas penduduknya.
Sebenarnya, jika
pemerintah daerah memahami pentingnya program KB sebagai bagian yang tidak
terpisahkan dari pembangunan kependudukan, komitmen untuk melaksanakannya
diyakini akan tumbuh dengan sendirinya.
Adapun pentingnya
program KB, selain untuk menurunkan angka kelahiran dan meningkatkan kualitas
penduduk, juga untuk menghindari kehamilan yang tidak diinginkan.
Pengalaman di sejumlah
negara menunjukkan bahwa kehamilan yang tidak diinginkan bertalian dengan
terjadinya kasus aborsi. Fenomena ini antara lain ditemukan di sejumlah
negara yang persentase penggunaan alat/cara KB-nya rendah, seperti
Azerbaijan, Georgia, dan Armenia (Westoff,
2005).
Bahkan, urgensi
pelaksanaan program KB kini memasuki ranah kepentingan untuk penghematan
anggaran pembangunan periode berikutnya. Di Bolivia, misalnya, dengan alokasi
anggaran program KB sebesar US$5 juta, dapat menghemat anggaran pembangunan
untuk pendidikan, kesehatan, sanitasi dan air bersih, serta imunisasi sebesar
US$45 juta (Constella future, Policy
Project and Health Policy Initiative, 2005-2007).
Dengan potensi
penghematan anggaran yang demikian besar sebagai dampak pelaksanaan program
KB, pemerintah tentunya memiliki kemampuan untuk meningkatkan kesejahteraan
masyarakat. Ini sekaligus mengisyaratkan bahwa pengendalian pertumbuhan
penduduk hingga mengerucut ke tanpa pertumbuhan dengan TFR sebesar 2,1 perlu
segera diwujudkan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar