Senin, 25 Agustus 2014

Program KB dan Komitmen Daerah

                          Program KB dan Komitmen Daerah

Razali Ritonga  ;   Direktur Statistik Kependudukan dan Ketenagakerjaan BPS RI
MEDIA INDONESIA, 22 Agustus 2014
                                                


UPAYA pemerintahan baru untuk menyejahterahkan masyarakat barangkali akan menemui hambatan jika pertumbuhan penduduk tidak bisa diturunkan. Sebab, upaya peningkatan kesejahteraan yang dilakukan akan bersaing dengan bertambahnya jumlah penduduk. Jika upaya yang dilakukan, misalnya, lebih kecil dibandingkan pertambahan jumlah penduduk, kesejahteraan akan memburuk.

Kekhawatiran akan memburuknya kesejahteraan itu tampaknya cukup beralasan mengingat pertumbuhan penduduk yang terjadi saat ini masih terbilang cukup tinggi. Bahkan, dibandingkan dengan periode sebelumnya (1990-2000), pertumbuhan penduduk pada periode setelahnya, terutama pada 20002010 menunjukkan kecenderungan meningkat. Adapun pertumbuhan penduduk se lama 1990-2000 sebesar 1,44% per tahun, kemudian meningkat pada periode 2000-2010 sebesar 1,49% per tahun.

Salah satu faktor penyebab cukup tingginya pertumbuhan penduduk di Tanah Air terutama diakibatkan angka kelahiran yang terbilang masih tinggi. Hasil Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia (SDKI) 2012, misalnya, menunjukkan bahwa angka kelahiran total (total fertility rate/TFR) masih sebesar 2,6. Celakanya, angka TFR sebesar itu (2,6) telah bertahan selama satu dasawarsa (2002-2012).

Maka, atas dasar itu, pemerintahan baru perlu bekerja keras untuk menggalakkan kembali program KB. Hal ini tidak berarti bahwa pemerintahan SBY-Boediono tidak berupaya keras untuk meningkatkan program KB.Namun, upaya pemerintahan baru diharapkan dapat menyempurnakan upaya pemerintahan selama ini.

Patut diketahui, upaya yang dilakukan pemerintah selama ini untuk menggalakkan program KB, antara lain, melalui upaya peningkatan anggaran.Selama 2007-203, misalnya, anggaran BKKBN untuk pembangunan kependudukan dan KB meningkat tajam dari Rp1,1 triliun pada 2007 menjadi Rp2,6 triliun pada 2013 (BKKBN, 29/08/2012).

Peningkatan anggaran memang diperlukan, terutama untuk penyediaan alat/cara KB dan pelayanan KB. Lavine.et.al (2006), misalnya, dalam salah satu studinya memperkirakan bahwa biaya per kapita untuk penyediaan alat/ cara KB secara global sebesar US$1,55 per tahun. Sementara biaya infrastruktur layanan KB berkisar antara US$2US$35 per kapita per tahun tergantung pada faktor kesulitan lokasi layanan.

Namun, peningkatan anggaran belum menjamin bahwa program KB akan berhasil.Sebab, hal itu masih ditentukan komitmen pemerintah daerah, khususnya pada level kabupaten/kota yang melaksanakan program KB. Maka, selain menyiapkan anggaran secara memadai, pemerintahan baru harus mampu meyakinkan pemerintah daerah tentang perlunya melaksanakan program KB.

Komitmen pemda

Perlunya meningkatkan komitmen pemerintah daerah untuk melaksanakan program KB secara intensif karena ditengarai sejak diberlakukannya otonomi daerah pada 2001 program KB mengendur.Perubahan sistem pemerintahan dari sentralisasi ke desentralisasi diperkirakan turut berkontribusi terhadap melemahkan komitmen sejumlah daerah dalam melaksanakan program KB. Hal ini, antara lain, ditandai tidak adanya instansi atau dinas khusus yang menangani pelaksanaan program KB. Meskipun ada, keberadaannya digabung dengan institusi lainnya, seperti catatan sipil, kependudukan, dan pemberdayaan perempuan.

Boleh jadi, faktor penyebab lemahnya komitmen sebagian daerah kabupaten/kota melaksanakan program KB itu adalah karena terputusnya garis institusi BKKBN. Diketahui, institusi BKKBN saat ini bersifat vertikal hingga level provinsi. Hal ini tentu cukup merepotkan dalam pelaksanaan koordinasi dan pengawasan terhadap pelaksanaan program KB di level kabupaten/kota.

Padahal, koordinasi dan pengawasan amat diperlukan mengingat tidak sedikit pemerintah kabupaten/kota yang menempatkan program KB bukan sebagai prioritas pembangunan. Hal ini mungkin disebabkan karena jumlah penduduk di daerahnya sedikit dibandingkan dengan luasnya wilayah pemerintahan. Bahkan, kemungkinan ada daerah menginginkan jumlah penduduk diperbanyak agar dapat mengoptimalkan potensi wilayahnya untuk pengembangan ekonomi daerah.

Meski penilaian itu cukup logis, barangkali kurang tepat jika ditilik dari kepentingan pembangunan kependudukan dan KB secara nasional. Sebab, tujuan mendasar pembangunan kependudukan dan KB secara nasional adalah bukan semata soal kuantitas, tapi juga kualitas penduduk. Artinya, daerah dengan jumlah penduduk sedikit justru memiliki ruang yang cukup besar guna meningkatkan kualitas penduduknya.

Sebenarnya, jika pemerintah daerah memahami pentingnya program KB sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari pembangunan kependudukan, komitmen untuk melaksanakannya diyakini akan tumbuh dengan sendirinya.
Adapun pentingnya program KB, selain untuk menurunkan angka kelahiran dan meningkatkan kualitas penduduk, juga untuk menghindari kehamilan yang tidak diinginkan.

Pengalaman di sejumlah negara menunjukkan bahwa kehamilan yang tidak diinginkan bertalian dengan terjadinya kasus aborsi. Fenomena ini antara lain ditemukan di sejumlah negara yang persentase penggunaan alat/cara KB-nya rendah, seperti Azerbaijan, Georgia, dan Armenia (Westoff, 2005).

Bahkan, urgensi pelaksanaan program KB kini memasuki ranah kepentingan untuk penghematan anggaran pembangunan periode berikutnya. Di Bolivia, misalnya, dengan alokasi anggaran program KB sebesar US$5 juta, dapat menghemat anggaran pembangunan untuk pendidikan, kesehatan, sanitasi dan air bersih, serta imunisasi sebesar US$45 juta (Constella future, Policy Project and Health Policy Initiative, 2005-2007).

Dengan potensi penghematan anggaran yang demikian besar sebagai dampak pelaksanaan program KB, pemerintah tentunya memiliki kemampuan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Ini sekaligus mengisyaratkan bahwa pengendalian pertumbuhan penduduk hingga mengerucut ke tanpa pertumbuhan dengan TFR sebesar 2,1 perlu segera diwujudkan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar