MK,
Pilpres dan Keseimbangan Politik
Joko Wahyono ;
Analis politik pada
Program Pascasarjana
UIN
Sunan Kalijaga, Yogyakarta
|
MEDIA
INDONESIA, 21 Agustus 2014
SETELAH melewati berbagai
tahapan persidangan, sidang gugatan perkara perselisihan hasil Pemilihan Umum
(PHPU) Presiden dan Wakil Presiden 2014 memasuki babak akhir. Sebelumnya,
Mahkamah Konstitusi (MK) telah menggelar sidang pembuktian. Sejumlah saksi,
termasuk saksi ahli (pakar hukum tata negara) baik dari pihak termohon (KPU),
pemohon (kubu capres PrabowoHatta), maupun pihak terkait (kubu capres
Jokowi-JK) dihadirkan dan telah memberikan keterangan di hadapan majelis
hakim. Tahap selanjutnya ialah hakim mempelajari dan menganalisis permohonan
pemohon sebelum membacakan keputusan 21 Agustus hari ini.
Sidang perkara PHPU
ini menjadi momentum bagi MK untuk mengembalikan citra, kredibilitas, dan
kepercayaan publik akibat terpaan kasus korupsi (mantan) Ketua MK, Akil
Mochtar. Lembaga ini harus membuktikan bisa bekerja secara profesional,
objektif, dan independen, lepas dari berbagai intervensi dan intimidasi
politik dari pihak mana pun. Peran MK sebagai penjaga keadaban politik harus
kita kawal bersama sehingga keputusan yang diambil tidak memunculkan multiplier effect yang destruktif
karena berlawanan dengan kehendak dan rasa keadilan publik. Kita berharap
agar hiruk-pikuk sengketa pilpres benar-benar berakhir pascaputusan MK.
Pematangan demokrasi
Pilpres sebenarnya
tidak cukup dirayakan dengan `coblosan massal' yang hanya gaduh akan kalah
menang. Pilpres harus dimaknai sebagai momentum pembelajaran demokrasi bagi
rakyat melalui suksesi kepemimpinan nasional yang diyakini mampu membawa
kehidupan bangsa ke arah yang lebih baik. Di dalamnya melekat sepucuk harapan
akan perbaikan kesejahteraan, sekaligus terwujudnya bangsa yang berdaulat,
baik secara ekonomi, politik, sosial maupun budaya. Tingginya gairah
partisipasi rakyat dalam pilpres kali ini menggambarkan kedewasaan mereka dalam
mengawal transisi demokrasi.
Dengan demokratis,
otonom, toleran, dan dewasa rakyat telah menunaikan hak politiknya dengan
mencoblos pilihannya. Perbedaan, pertentangan, dan keterbelahan afiliasi
pilihan politik saat pilpres telah berhenti sejak pemimpin nasional secara
resmi ditetapkan. Mereka telah menjalani kehidupannya seperti sediakala. Di
lapisan bawah, mereka sudah kembali bercengkerama dalam suasa na kehidupan
yang luwes dan cair. Alam kebatinan mereka menyiratkan pesan bahwa merajut
keindonesiaan yang bersatu dalam nafas kebinekaan lebih urgen ketimbang
sekadar menyoal sengketa pilpres.
Rakyat berharap semua
persoalan pilpres cepat tuntas sehingga pemerintahan baru bisa cepat
terbentuk dan kembali fokus pada kepentingan publik. Jika rakyat saja dapat
bersikap dewasa, para elite politik, termasuk capres/cawapres, semestinya
juga memainkan politik secara dewasa. Artinya, segala ucapan dan tindakan
mereka harus ditundukkan di bawah bimbingan etika, kesadaran nurani, dan akal
budi. Dengan kesadaran nurani dan akal budi, mereka harus menghormati setiap
proses persidangan yang telah berjalan secara adil, jujur, dan transparan.Apa
pun keputusan MK harus benar-benar bisa diterima dengan lapang dada.
Siap untuk tetap
menerima kekalahan dan kemenangan (atau sebaliknya) merupakan bagian dari
proses pematangan demokrasi. Menang berarti kemenangannya merupakan
kesempatan mewujudkan agenda konsolidasi demokrasi. Seperti kesejahteraan
rakyat, penciptaan good governance,
pemberantasan korupsi, penguatan kultur politik demokratis, budaya kewargaan
(civic culture), dan keadaban (civility), serta penegakan hukum dan
keadilan.
Sebaliknya, kalah berarti kekalahannya merupakan bagian dari
penggalan sejarah rotasi kepemimpinan lima tahunan yang belum berpihak
kepadanya.
Mempersengketakan
(lagi) kalah-menang hanyalah kegaduhan formalitas ornamental demokrasi.
Penghalalan segala cara untuk `memenangi kekuasaan' atau mendelegitimasi
kemenangan lawan ialah barang rongsokan bagi demokrasi.Sikap ngotot yang
berlarut-larut merendahkan pencapaian demokrasi yang selama ini telah susah payah
kita bangun bersama. Langkah hukum ditempuh harus dalam rangka untuk
mengevaluasi kekurangan atau kelemahan dalam sistem pelaksanaan pilpres
sebagai bahan perbaikan bagi masa berikutnya. Bukan hanya sekadar lip service dan upaya untuk memberikan
tekanan politik terhadap kubu pasangan pemenang demi kepentingan bargaining
atau power sharing semata.
Sebab, rakyat telah
menentukan pilihannya secara rasional dan demokratis. Mengingkari kekalahan
merupakan pengabaian suara rakyat yang telah menentukan pilihan. Tidak
mengakui kemenangan pihak lawan juga sama artinya dengan menuduh sebagian
besar rakyat salah memilih pemimpin.
Oposisi sejati
Demokrasi merupakan
penanda semangat keterbukaan. Karena itu, pola komunikasi yang harus dibangun
oleh para elite politik merupakan rasa pengakuan secara asertif untuk menerima
kekalahan dan mengakui kemenangan pihak lawan. Kekalahan harus dimaknai
sebagai modal batiniah bagi tumbuhnya oposisi yang sejati dalam rangka
tercapainya keseimbangan demokrasi. Sebagai institusi resmi, oposisi berperan
sebagai mitra sekaligus pengendali arah dan tujuan pemerintah yang terbentuk
dari hasil pemilu. Sebab, pemerintahan baru hasil dari proses demokratis memerlukan
kontrol, kritik, dan evaluasi dari pihak oposisi.
Selain itu, menjadi
oposisi juga berperan sebagai ventilasi dari ekspresi suara rakyat yang tidak
tersalurkan. Fungsi mereka menyuarakan kepentingan rakyat, menyampaikan
pandangan atas berbagai persoalan krusial rakyat, sekaligus membantu memastikan
bahwa persoalan tersebut dia komodasi dan tidak diabaikan oleh pemerintah.
Keberadaan oposisi penting melindungi rakyat dari segala bentuk kemungkinan
penyimpangan yang dilakukan penguasa, seperti penyalahgunaan kekuasaan, hambatan
birokrasi, pelanggaran hak-hak asasi manusia, pemborosan dana publik, dan hal
publik lain.
Demokrasi akan
berjalan efektif manakala tercipta garis demarkasi yang jelas antara kubu
pemerintah dan nonpemerintah (oposisi) sehingga terbangun mekanisme pengawasan
dan fungsi penyeimbang (check and
balances). Kita berharap agar riuh rendah persoalan pilpres kali ini
menjadi bagian dari tahapan proses politik menuju demokrasi yang lebih
berkualitas, dan bermakna bagi keadaban publik serta memberikan ekspektasi
positif bagi Indonesia masa depan yang lebih adil, makmur, dan sejahtera
secara nyata. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar