Legitimasi
Hasil Pemilu
Reza Syawawi ;
Researcher for Law and
Policies
Transparency
International Indonesia
|
MEDIA
INDONESIA, 22 Agustus 2014
SETELAH penetapan
Komisi Pemilihan Umum (KPU) atas Pre siden dan wakil presiden terpilih,
muncul sinyalemen yang kurang elok dari koalisi pendukung pasangan calon
nomor urut 1. Koalisi yang menyatakan diri sebagai koalisi permanen ini
memberikan `perlawanan' politik atas hasil pemilu yang telah ditetapkan.
Seyogianya koalisi
partai politik hanyalah instrumen konstitusional untuk mengusung calon
presiden dan wakil presiden (Pasal 6A UUD 1945). Sebaliknya, koalisi bukanlah
alat untuk menjegal atau merintangi presiden dan wakil presiden yang terpilih
melalui proses yang konstitusional.
Menurut hukum,
penetapan hasil pemilu oleh KPU pada 22 Juli 2014 adalah hal yang
konstitusional sepanjang belum dibatalkan Mahkamah Konstitusi (MK). Manuver
(koalisi) partai politik yang akan `melawan' putusan KPU atau pascaputusan MK
melalui cara-cara politis adalah sesuatu hal yang justru tidak sejalan dengan
semangat konstitusi.
Setidaknya ada 2
langkah politik yang mengemuka terkait hasil pemilu kali ini, pertama
pembentukan panitia khusus (pansus) di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) terkait
penyelenggaraan pemilu. Kedua, penolakan atas pelantikan presiden dan wakil
presiden terpilih (Media Indonesia,
18/8). Tulisan ini akan sedikit mengurai kedua hal tersebut dalam konteks
hukum dan konstitusi.
Pansus ilegal
Pembentukan pansus
harus ditempatkan dalam kerangka dan porsi yang tepat menurut peraturan
perundang-undangan. Pansus sebagai alat kelengkapan DPR harus digunakan untuk
menjalankan fungsi pengawasan yang dimandatkan oleh konstitusi.
Dalam konteks pemilu,
pembentukan pansus tidaklah mencerminkan pelaksanaan fungsi pengawasan DPR
terhadap proses penyelenggaraan pemilu. Sebab menurut undang-undang, muara
dari seluruh persoalan pemilu sudah sangat jelas dan tegas, baik itu
pelanggaran pidana, administrasi, etik, hingga sengketa hasil pemilu.
Logika sederhananya
adalah, jika seluruh proses penyelesaian pelanggaran pemilu telah diputuskan
lembaga yang berwenang, pem bentukan pansus menjadi kehilangan relevansinya.
Kesan yang muncul kemudian pembentukan pansus hanya menjadi aksi politik yang
tidak perlu dan hanya sebagai cerminan atas ketidakpuasan terhadap hasil
pemilu.
Kelompok yang
menginisiasi pembentukan pansus sepertinya tidak memahami secara utuh
regulasi pemilu, terutama yang terkait dengan tahapan dan penyelesaian
pelanggaran pemilu. Jika seluruh tahapan telah selesai dan seluruh pelang
garan (termasuk sengketa hasil) telah diputus lembaga yang berwenang, untuk
apa lagi pansus dibentuk?
Parlemen bukanlah
tempat untuk `mengadili' penyelenggara dan proses pemilu. Porsi parlemen
untuk mengawasi penyelenggaraan pemilu seharusnya dilakukan hanya dalam
tataran regulasi, seperti merumuskan undang-undang pemilu. Evaluasi atas
kinerja kelembagaan dan personal penyelenggara pemilu sesungguhnya juga sudah
disediakan pranata hukumnya oleh undang-undang.
Maka penulis
berpendapat bahwa mekanisme pansus dalam konteks (pasca) pemilu bisa
dikategorikan sebagai hal yang ilegal, bukan hanya karena mengambil alih
kewenangan lembaga negara lain, tetapi juga karena tidak punya dasar hukum
yang jelas.
Menjegal pelantikan
Pelantikan adalah
tahapan terakhir dalam proses pemilu untuk memilih presiden dan wakil
presiden. Menurut UUD 1945 pelantikan presiden dan wakil presiden menjadi
bagian dari kewenangan yang dimiliki Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR),
Pasal 3 ayat (2) UUD 1945.
Konstitusi sudah
sangat jelas mengatur prosedur untuk melantik presiden dan wakil
presiden.Menurut konstitusi, esensi dari pelantikan adalah pengambilan sumpah
dan janji oleh presiden dan wakil presiden sebelum memangku jabatannya (Pasal
9 ayat 1).
Pengambilan sumpah dan
janji tersebut dilakukan di hadapan forum MPR atau DPR yang khusus diadakan
untuk itu. Namun, dalam hal MPR atau DPR tidak dapat melakukan sidang untuk
melakukan pengambilan sumpah, hal pelantikan dapat dan cukup dilakukan di
hadapan Pimpinan MPR dengan disaksikan Pimpinan Mahkamah Agung (Pasal 9 ayat
2).
Berdasarkan ketentuan
di atas, hampir tidak ada ruang bagi anggota parlemen untuk melakukan
`penjegalan' terhadap pelantikan tersebut.Sekalipun terjadi upaya oleh
anggota parlemen koalisi untuk tidak menghadiri sidang dengan tujuan
menggagalkan pelantikan, ini begitu mudah dimentahkan oleh Pasal 9 ayat (2)
UUD 1945.
Legitimasi hasil pemilu
Dalam konteks hukum
pemilu, putusan MK menjadi akhir dari proses konstitusional mengenai hasil
pemilu. Tidak ada upaya hukum apapun yang bisa ditempuh untuk membatalkan
atau mengoreksi putusan MK.
UUD 1945 secara jelas
dan tegas menyebutkan bahwa MK mengadili pada tingkat pertama dan terakhir
yang putusannya bersifat final, salah satunya adalah putusan mengenai
perselisihan hasil pemilu (Pasal 24C ayat 1).Maka apa pun upaya hukum yang
dilakukan pascaputusan MK jelas tidak memiliki dasar hukum.
Putusan MK akan
menjadi satu-satunya putusan terakhir yang memperkuat legitimasi hasil
pemilu. Maka siapa pun harus menerima dan melaksanakan putusan MK dengan
cara-cara yang konstitusional.
Parlemen (DPR dan DPD)
sebagai pengemban mandat dari rakyat juga harus tunduk dan patuh terhadap
putusan MK. Aksi-aksi politik yang `mubazir' sebaiknya dihindari agar publik
ikut belajar bagaimana cara menghargai prosesi demokrasi dan menghormati
hukum secara benar. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar