Senin, 25 Agustus 2014

Legitimasi Hasil Pemilu

                                            Legitimasi Hasil Pemilu

Reza Syawawi  ;   Researcher for Law and Policies
Transparency International Indonesia
MEDIA INDONESIA, 22 Agustus 2014
                                                


SETELAH penetapan Komisi Pemilihan Umum (KPU) atas Pre siden dan wakil presiden terpilih, muncul sinyalemen yang kurang elok dari koalisi pendukung pasangan calon nomor urut 1. Koalisi yang menyatakan diri sebagai koalisi permanen ini memberikan `perlawanan' politik atas hasil pemilu yang telah ditetapkan.

Seyogianya koalisi partai politik hanyalah instrumen konstitusional untuk mengusung calon presiden dan wakil presiden (Pasal 6A UUD 1945). Sebaliknya, koalisi bukanlah alat untuk menjegal atau merintangi presiden dan wakil presiden yang terpilih melalui proses yang konstitusional.

Menurut hukum, penetapan hasil pemilu oleh KPU pada 22 Juli 2014 adalah hal yang konstitusional sepanjang belum dibatalkan Mahkamah Konstitusi (MK). Manuver (koalisi) partai politik yang akan `melawan' putusan KPU atau pascaputusan MK melalui cara-cara politis adalah sesuatu hal yang justru tidak sejalan dengan semangat konstitusi.

Setidaknya ada 2 langkah politik yang mengemuka terkait hasil pemilu kali ini, pertama pembentukan panitia khusus (pansus) di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) terkait penyelenggaraan pemilu. Kedua, penolakan atas pelantikan presiden dan wakil presiden terpilih (Media Indonesia, 18/8). Tulisan ini akan sedikit mengurai kedua hal tersebut dalam konteks hukum dan konstitusi.

Pansus ilegal

Pembentukan pansus harus ditempatkan dalam kerangka dan porsi yang tepat menurut peraturan perundang-undangan. Pansus sebagai alat kelengkapan DPR harus digunakan untuk menjalankan fungsi pengawasan yang dimandatkan oleh konstitusi.

Dalam konteks pemilu, pembentukan pansus tidaklah mencerminkan pelaksanaan fungsi pengawasan DPR terhadap proses penyelenggaraan pemilu. Sebab menurut undang-undang, muara dari seluruh persoalan pemilu sudah sangat jelas dan tegas, baik itu pelanggaran pidana, administrasi, etik, hingga sengketa hasil pemilu.

Logika sederhananya adalah, jika seluruh proses penyelesaian pelanggaran pemilu telah diputuskan lembaga yang berwenang, pem bentukan pansus menjadi kehilangan relevansinya. Kesan yang muncul kemudian pembentukan pansus hanya menjadi aksi politik yang tidak perlu dan hanya sebagai cerminan atas ketidakpuasan terhadap hasil pemilu.

Kelompok yang menginisiasi pembentukan pansus sepertinya tidak memahami secara utuh regulasi pemilu, terutama yang terkait dengan tahapan dan penyelesaian pelanggaran pemilu. Jika seluruh tahapan telah selesai dan seluruh pelang garan (termasuk sengketa hasil) telah diputus lembaga yang berwenang, untuk apa lagi pansus dibentuk?

Parlemen bukanlah tempat untuk `mengadili' penyelenggara dan proses pemilu. Porsi parlemen untuk mengawasi penyelenggaraan pemilu seharusnya dilakukan hanya dalam tataran regulasi, seperti merumuskan undang-undang pemilu. Evaluasi atas kinerja kelembagaan dan personal penyelenggara pemilu sesungguhnya juga sudah disediakan pranata hukumnya oleh undang-undang.
Maka penulis berpendapat bahwa mekanisme pansus dalam konteks (pasca) pemilu bisa dikategorikan sebagai hal yang ilegal, bukan hanya karena mengambil alih kewenangan lembaga negara lain, tetapi juga karena tidak punya dasar hukum yang jelas.

Menjegal pelantikan

Pelantikan adalah tahapan terakhir dalam proses pemilu untuk memilih presiden dan wakil presiden. Menurut UUD 1945 pelantikan presiden dan wakil presiden menjadi bagian dari kewenangan yang dimiliki Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR), Pasal 3 ayat (2) UUD 1945.

Konstitusi sudah sangat jelas mengatur prosedur untuk melantik presiden dan wakil presiden.Menurut konstitusi, esensi dari pelantikan adalah pengambilan sumpah dan janji oleh presiden dan wakil presiden sebelum memangku jabatannya (Pasal 9 ayat 1).

Pengambilan sumpah dan janji tersebut dilakukan di hadapan forum MPR atau DPR yang khusus diadakan untuk itu. Namun, dalam hal MPR atau DPR tidak dapat melakukan sidang untuk melakukan pengambilan sumpah, hal pelantikan dapat dan cukup dilakukan di hadapan Pimpinan MPR dengan disaksikan Pimpinan Mahkamah Agung (Pasal 9 ayat 2).

Berdasarkan ketentuan di atas, hampir tidak ada ruang bagi anggota parlemen untuk melakukan `penjegalan' terhadap pelantikan tersebut.Sekalipun terjadi upaya oleh anggota parlemen koalisi untuk tidak menghadiri sidang dengan tujuan menggagalkan pelantikan, ini begitu mudah dimentahkan oleh Pasal 9 ayat (2) UUD 1945.

Legitimasi hasil pemilu

Dalam konteks hukum pemilu, putusan MK menjadi akhir dari proses konstitusional mengenai hasil pemilu. Tidak ada upaya hukum apapun yang bisa ditempuh untuk membatalkan atau mengoreksi putusan MK.

UUD 1945 secara jelas dan tegas menyebutkan bahwa MK mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final, salah satunya adalah putusan mengenai perselisihan hasil pemilu (Pasal 24C ayat 1).Maka apa pun upaya hukum yang dilakukan pascaputusan MK jelas tidak memiliki dasar hukum.
Putusan MK akan menjadi satu-satunya putusan terakhir yang memperkuat legitimasi hasil pemilu. Maka siapa pun harus menerima dan melaksanakan putusan MK dengan cara-cara yang konstitusional.

Parlemen (DPR dan DPD) sebagai pengemban mandat dari rakyat juga harus tunduk dan patuh terhadap putusan MK. Aksi-aksi politik yang `mubazir' sebaiknya dihindari agar publik ikut belajar bagaimana cara menghargai prosesi demokrasi dan menghormati hukum secara benar.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar