Sabtu, 23 Agustus 2014

Presidenku Rakyat Termiskin

                                   Presidenku Rakyat Termiskin

Samsudin Adlawi  ;   Wartawan Jawa Pos, Penulis buku Rakyat dan Sambal
JAWA POS, 22 Agustus 2014
                                                
                                                                                                                                   

TULISAN ini semacam surat terbuka. Surat untuk presiden terpilih: Joko Widodo alias Jokowi.

Pak Jokowi yang terhormat, selamat atas penabalan Bapak sebagai jawara Pilpres 2014 oleh KPU RI pada 22 Juli lalu. MK (Mahkamah Konstitusi) juga sudah memperkuatnya dengan menolak seluruh gugatan Prabowo-Hatta. Menjelang penahbisan presiden-wakil presiden Oktober mendatang, pasti kini Bapak sibuk memutar otak: mencari figur menteri dan pejabat setingkat menteri yang pas sebagai pembantu presiden. Dan saya yakin, Bapak sudah mendapat banyak informasi dari tim transisi. Juga dari banyak pihak, baik langsung maupun lewat sosmed. Tak terkecuali, masukan dari partai pengusung, tim sukses, maupun orang dekat Bapak sendiri.

Semua orang sudah tahu, selama kampanye pilpres Bapak didampingi orang-orang hebat. Ada pakar hukum, pendidikan, ekonomi, politik, tokoh spiritual, hingga pakar sosial kemasyarakatan. Sekarang pun mereka pasti tetap aktif menyokong masukan kepada Bapak. Masukan itu masuk ke bilik tim transisi. Diolah sampai matang. Naga-naganya, begitu dilantik kelak Bapak tinggal menerima paket komplet. Itu sebabnya, dalam surat ini saya tidak akan menggarami lautan, melainkan sekadar menyampaikan satu pesan singkat: mohon Bapak tetap berpijak ke bumi. Sebab, dari bumilah Bapak berasal. Bumi adalah ibu yang melahirkan rakyat.

Sebelum memenangi pilpres, Bapak adalah rakyat. Setelah memenangi pilpres, Bapak tetaplah rakyat. Dan, selamanya tetap harus menjadi rakyat. Bahkan, dengan status presiden yang segera Bapak sandang, sejatinya sejak saat itu Bapak akan terdegradasi. Bukan lagi rakyat biasa, tapi jadi rakyat termiskin. Lebih miskin daripada rakyat yang paling miskin sekalipun.

Orang paling miskin masih punya pakaian meski hanya satu setel. Tapi, tidak begitu halnya dengan seorang presiden dan pejabat negara lainnya. Pakaian, makan, kendaraan, dan segala kebutuhan pejabat negara ditanggung oleh negara yang notabene dibeli dengan uang rakyat. Tidak hanya ketika berkantor di Istana Negara, di rumah dinas pun semua kebutuhan pejabat negara dibiayai oleh negara. Kalau Bapak bepergian ke luar ibu kota dan luar negeri, Bapak tidak hanya menggunakan fasilitas dan akomodasi gratis.

Lebih dari itu, Bapak juga disangoni menggunakan uang rakyat. Dalam posisi seperti demikian, tidak selayaknya Bapak menyombongkan diri. Masak orang yang tidak punya apa-apa dan hidupnya dibiayai oleh negara masih berani membusungkan dada dan besar kepala. He he. Daripada sibuk membanggakan diri, lebih baik Bapak fokus mengurusi rakyat, fokus mengangkat harkat dan martabat bangsa, fokus memajukan negeri ini agar tidak minder terhadap negara lain.

Bapak Presiden pilihan 70 juta lebih rakyat, kalau ada orang menyangsikan apakah Bapak bisa memenuhi saran saya dalam surat ini, mohon Sampean jawab dengan tegas: ’’Saya pasti bisa’’. Memperhatikan keseharian Bapak selama ini, saya optimistis Bapak bisa. Kalaupun masih ragu, Bapak bisa belajar kepada Gus Dur. Pak Jokowi pasti ingat apa yang dilakukan presiden ke-4 RI itu sesaat setelah dilengserkan oleh MPR tiga belas tahun silam. Tepatnya, 23 Juli 2001. Itulah momentum yang tidak akan pernah dilupakan oleh seluruh rakyat Indonesia, bahkan dunia. Setelah ’’digulingkan dengan paksa’’ dari jabatannya oleh keputusan sidang istimewa MPR, pada pukul 20.50 WIB Gus Dur keluar menuju beranda Istana Merdeka hanya dengan mengenakan celana kolor, berkaus, dan bersandal jepit. Dituntun putrinya, Yenny Wahid, serta mantan asisten pribadinya, Zastrouw, Gus Dur melambaikan tangan kepada rakyat para pendukungnya yang histeris di depan Istana Negara.

Pelajaran yang bisa dipetik dari adegan menguras air mata itu adalah ini: Gus Dur ingin memberikan pesan bahwa setelah lengser dari presiden, dirinya terbebas dari predikat orang termiskin. Celana kolor, kaus, dan sandal jepit adalah simbol pakaian kebesaran orang miskin. Ketiganya, konon, sering dikenakan Gus Dur saat di rumah. Baik ketika santai maupun menerima tamu –tak peduli pejabat atau rakyat biasa. Gus Dur seolah ingin menegaskan, pakaian yang dimilikinya ya hanya celana kolor, kaus, dan sandal jepit. Selebihnya, jas dan pakaian kepresidenan merupakan milik negara. Sudah menjadi rahasia umum, semua pejabat negara –presiden sampai bupati/wakil bupati, DPR sampai DPRD kabupaten/kota– tidak hanya menerima gaji pokok yang nilainya sangat kecil.

Justru berbagai tunjangan yang diterimanya jauh lebih besar nilainya. Itemnya juga banyak sekali. Mulai tunjangan pakaian, makan sehari-sehari, hingga kesehatan. Selama menjabat, tanpa mengeluarkan uang pribadi sepeser pun, seorang presiden dan para pejabat negara sudah bisa hidup makmur. Namun, sejatinya, makin banyak tunjangan yang diterima makin menunjukkan status kepapaan seorang pejabat negara. Makin sempurna statusnya rakyat termiskin di negaranya. Tak terkecuali presiden baru kita: Jokowi.

Saya yakin, melihat penampilannya selama memimpin Solo dan Jakarta, Pak Jokowi akan ikhlas menjalani hidup sebagai orang termiskin di negeri ini selama lima tahun menjabat presiden: makan-minum, pakaian, transportasi, pengobatan, dan bepergian dibiayai oleh negara menggunakan uang rakyat. Selalu dijaga dan dikawal oleh pasukan elite yang dibayar dengan uang rakyat juga.

Selamat ’menikmati’ jadi rakyat termiskin, Pak Jokowi!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar