Presidenku
Rakyat Termiskin
Samsudin Adlawi ;
Wartawan Jawa Pos, Penulis buku Rakyat dan Sambal
|
JAWA
POS, 22 Agustus 2014
TULISAN ini semacam surat terbuka. Surat untuk presiden
terpilih: Joko Widodo alias Jokowi.
Pak Jokowi yang terhormat, selamat atas penabalan Bapak sebagai
jawara Pilpres 2014 oleh KPU RI pada 22 Juli lalu. MK (Mahkamah Konstitusi)
juga sudah memperkuatnya dengan menolak seluruh gugatan Prabowo-Hatta.
Menjelang penahbisan presiden-wakil presiden Oktober mendatang, pasti kini
Bapak sibuk memutar otak: mencari figur menteri dan pejabat setingkat menteri
yang pas sebagai pembantu presiden. Dan saya yakin, Bapak sudah mendapat
banyak informasi dari tim transisi. Juga dari banyak pihak, baik langsung
maupun lewat sosmed. Tak terkecuali, masukan dari partai pengusung, tim
sukses, maupun orang dekat Bapak sendiri.
Semua orang sudah tahu, selama kampanye pilpres Bapak didampingi
orang-orang hebat. Ada pakar hukum, pendidikan, ekonomi, politik, tokoh
spiritual, hingga pakar sosial kemasyarakatan. Sekarang pun mereka pasti
tetap aktif menyokong masukan kepada Bapak. Masukan itu masuk ke bilik tim
transisi. Diolah sampai matang. Naga-naganya, begitu dilantik kelak Bapak
tinggal menerima paket komplet. Itu sebabnya, dalam surat ini saya tidak akan
menggarami lautan, melainkan sekadar menyampaikan satu pesan singkat: mohon
Bapak tetap berpijak ke bumi. Sebab, dari bumilah Bapak berasal. Bumi adalah
ibu yang melahirkan rakyat.
Sebelum memenangi pilpres, Bapak adalah rakyat. Setelah
memenangi pilpres, Bapak tetaplah rakyat. Dan, selamanya tetap harus menjadi
rakyat. Bahkan, dengan status presiden yang segera Bapak sandang, sejatinya
sejak saat itu Bapak akan terdegradasi. Bukan lagi rakyat biasa, tapi jadi
rakyat termiskin. Lebih miskin daripada rakyat yang paling miskin sekalipun.
Orang paling miskin masih punya pakaian meski hanya satu setel.
Tapi, tidak begitu halnya dengan seorang presiden dan pejabat negara lainnya.
Pakaian, makan, kendaraan, dan segala kebutuhan pejabat negara ditanggung
oleh negara yang notabene dibeli dengan uang rakyat. Tidak hanya ketika
berkantor di Istana Negara, di rumah dinas pun semua kebutuhan pejabat negara
dibiayai oleh negara. Kalau Bapak bepergian ke luar ibu kota dan luar negeri,
Bapak tidak hanya menggunakan fasilitas dan akomodasi gratis.
Lebih dari itu, Bapak juga disangoni menggunakan uang rakyat.
Dalam posisi seperti demikian, tidak selayaknya Bapak menyombongkan diri.
Masak orang yang tidak punya apa-apa dan hidupnya dibiayai oleh negara masih
berani membusungkan dada dan besar kepala. He he. Daripada sibuk membanggakan
diri, lebih baik Bapak fokus mengurusi rakyat, fokus mengangkat harkat dan
martabat bangsa, fokus memajukan negeri ini agar tidak minder terhadap negara
lain.
Bapak Presiden pilihan 70 juta lebih rakyat, kalau ada orang
menyangsikan apakah Bapak bisa memenuhi saran saya dalam surat ini, mohon
Sampean jawab dengan tegas: ’’Saya pasti bisa’’. Memperhatikan keseharian
Bapak selama ini, saya optimistis Bapak bisa. Kalaupun masih ragu, Bapak bisa
belajar kepada Gus Dur. Pak Jokowi pasti ingat apa yang dilakukan presiden
ke-4 RI itu sesaat setelah dilengserkan oleh MPR tiga belas tahun silam.
Tepatnya, 23 Juli 2001. Itulah momentum yang tidak akan pernah dilupakan oleh
seluruh rakyat Indonesia, bahkan dunia. Setelah ’’digulingkan dengan paksa’’
dari jabatannya oleh keputusan sidang istimewa MPR, pada pukul 20.50 WIB Gus
Dur keluar menuju beranda Istana Merdeka hanya dengan mengenakan celana
kolor, berkaus, dan bersandal jepit. Dituntun putrinya, Yenny Wahid, serta
mantan asisten pribadinya, Zastrouw, Gus Dur melambaikan tangan kepada rakyat
para pendukungnya yang histeris di depan Istana Negara.
Pelajaran yang bisa dipetik dari adegan menguras air mata itu
adalah ini: Gus Dur ingin memberikan pesan bahwa setelah lengser dari
presiden, dirinya terbebas dari predikat orang termiskin. Celana kolor, kaus,
dan sandal jepit adalah simbol pakaian kebesaran orang miskin. Ketiganya,
konon, sering dikenakan Gus Dur saat di rumah. Baik ketika santai maupun
menerima tamu –tak peduli pejabat atau rakyat biasa. Gus Dur seolah ingin
menegaskan, pakaian yang dimilikinya ya hanya celana kolor, kaus, dan sandal
jepit. Selebihnya, jas dan pakaian kepresidenan merupakan milik negara. Sudah
menjadi rahasia umum, semua pejabat negara –presiden sampai bupati/wakil
bupati, DPR sampai DPRD kabupaten/kota– tidak hanya menerima gaji pokok yang
nilainya sangat kecil.
Justru berbagai tunjangan yang diterimanya jauh lebih besar
nilainya. Itemnya juga banyak sekali. Mulai tunjangan pakaian, makan
sehari-sehari, hingga kesehatan. Selama menjabat, tanpa mengeluarkan uang
pribadi sepeser pun, seorang presiden dan para pejabat negara sudah bisa
hidup makmur. Namun, sejatinya, makin banyak tunjangan yang diterima makin
menunjukkan status kepapaan seorang pejabat negara. Makin sempurna statusnya
rakyat termiskin di negaranya. Tak terkecuali presiden baru kita: Jokowi.
Saya yakin, melihat penampilannya selama memimpin Solo dan
Jakarta, Pak Jokowi akan ikhlas menjalani hidup sebagai orang termiskin di
negeri ini selama lima tahun menjabat presiden: makan-minum, pakaian,
transportasi, pengobatan, dan bepergian dibiayai oleh negara menggunakan uang
rakyat. Selalu dijaga dan dikawal oleh pasukan elite yang dibayar dengan uang
rakyat juga.
Selamat ’menikmati’ jadi
rakyat termiskin, Pak Jokowi! ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar