Presiden
Pilihan Rakyat
Saldi Isra ;
Guru Besar Hukum Tata Negara dan Direktur Pusat Studi
Konstitusi Fakultas Hukum Universitas Andalas
|
KOMPAS,
23 Agustus 2014
PEMILIHAN Umum Presiden dan Wakil Presiden 2014 telah mencapai
tahap akhir. Dengan putusan Mahkamah Konstitusi, Joko Widodo dan Jusuf Kalla
sah secara konstitusional dilantik menjadi presiden-wakil presiden 2014-2019.
Penyelesaian sengketa di MK sebagaimana termaktub dalam Pasal
24C Ayat (1) UUD 1945 memang merupakan pemenuhan salah satu hak
konstitusional pasangan calon sebelum sampai tahapan pengucapan sumpah/janji
presiden dan wakil presiden terpilih.
Penggunaan hak konstitusional ke MK dimungkinkan dengan alasan
penetapan KPU merugikan pasangan calon tertentu. Dalam hal ini, Pasal 201
Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pilpres menyatakan, langkah
pengajuan keberatan ke MK hanya dapat dilakukan atas penetapan hasil
penghitungan suara yang memengaruhi penentuan terpilihnya pasangan calon.
Maka, Prabowo Subianto-Hatta Rajasa mengajukan perbedaan hasil penghitungan
versi mereka dengan rekapitulasi yang ditetapkan Komisi Pemilihan Umum (KPU).
Selamatkan hak pilih
Dalam batas penalaran yang wajar, berdasarkan rekapitulasi KPU
secara nasional, pasangan Prabowo-Hatta meraih 62.576.444 suara (46,85
persen) dan Jokowi-JK 70.997.833 suara (53,15 persen), hampir pasti tak mudah
mendalilkan
adanya kesalahan KPU dalam melakukan rekapitulasi. Karena itu,
dengan selisih 8.421.389 suara (6,30 persen), pasangan
ini memilih bangunan argumentasi lain, yaitu penyelenggaraan
pilpres penuh kecurangan dan pelanggaran yang bersifat terstruktur,
sistematis, dan masif (TSM).
Ibarat memilih strategi berbelok, dalam permohonannya, Prabowo-Hatta
dengan dalil TSM, misalnya, mempersoalkan jumlah daftar pemilih tetap (DPT)
yang berubah-ubah dan pemilih yang menggunakan KTP atau identitas
kependudukan lain dalam daftar pemilih khusus tambahan (DPKTb). Ihwal
argumentasi ini, pemohon mendalilkan bahwa DPKTb dengan jumlah yang sangat
tinggi telah merugikan pasangan nomor urut satu dan sebaliknya menguntungkan
pasangan Jokowi-JK.
Hak memilih dan dipilih (right to vote and right to be
candidate) merupakan hak dasar dalam hubungan penyelenggaraan negara. Posisi
itu menempatkan kedaulatan di tangan rakyat. Bahkan, Putusan MK No
102/PUU-VII/2009 tentang pengujian UU No 42/2008 menegaskan hak memilih
merupakan hak asasi dan hak konstitusional warga negara (constitutional
rights of citizen). Karena itu, penggunaanya tidak boleh dihambat/dihalangi
oleh berbagai ketentuan dan prosedur administratif yang dapat mempersulit
warga negara menggunakan hak pilihnya.
Dari segi waktu, Putusan MK No 102/PUU-VII/2009 digunakan untuk
menyelesaikan terancamnya penggunaan hak pilih warga negara yang tak
terdaftar dalam DPT pada Pilpres 2009. Karena itu pula, didalilkan putusan
tersebut tak dapat digunakan dalam Pilpres 2014.
Dengan kata lain, Putusan MK No 102/PUU-VII/2009 tak dapat
menjadi dasar untuk membenarkan tindakan KPU mengikutsertakan pemilih yang
tak terdaftar dalam DPT dengan menggunakan jalur DPKTb. Bahkan, ketika
persidangan di MK, ada pendapat yang mengatakan bahwa putusan itu hanya untuk
menampung kondisi khusus dalam Pilpres 2009.
Secara hukum, pandangan yang mempersoalkan keabsahan keberlakuan
Putusan MK No 102/PUU-VII/2009 tak dapat dibenarkan. Dalam posisi sebagai
putusan hakim, putusan itu sumber hukum yang memiliki kekuatan mengikat.
Karena telah mengubah substansi mengenai penggunaan hak pilih warga negara
dalam UU No 42/2008, Putusan MK No 102/PUU-VII/2009 dapat dikatakan memiliki
kekuatan mengikat layaknya substansi sebuah UU. Artinya, secara substansial,
semangat yang bermuara pada penyelamatan hak memilih warga negara tidak boleh
dikesampingkan dengan alasan apa pun.
Tak hanya itu, dari teori hukum, Putusan MK No 102/PUU-VII/2009
merupakan yurisprudensi yang mengikat bagi hakim dalam mengambil putusan
serupa. Bahkan, secara praktik dapat dibuktikan, substansi putusan ini telah
berulang kali dipakai ketika MK menyelesaikan sengketa pilkada. Kalau untuk
pilkada putusan ini tak pernah dipersoalkan, mengapa penolakan baru muncul
pada hasil rekapitulasi tahap akhir Pilpres 2014?
Tambah lagi, karena Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008 sampai
penyelenggaraan Pemilu 2014 tidak dilakukan perubahan, tak mungkin substansi
Putusan MK No 102/PUU-VII/2009 diadopsi dalam produk hukum berupa UU. Kondisi
ini jelas berbeda dengan Pileg 2014 yang mengadopsi semangat putusan ini ke
dalam UU No 8/2012 tentang Pemilu Anggota DPR, DPD, dan DPRD.
Maka, sebagai bagian dari upaya menyelamatkan hak memilih warga
negara, KPU telah menggunakan jalur DPKTb. Pertanyaannya: mengapa eksistensi
DPKTb tidak dipersoalkan di pileg?
Keabsahan peraturan KPU
Merujuk sistem peraturan perundang-undangan, peraturan KPU
sebagai salah satu produk hukum bersifat regeling dapat dilacak dalam Pasal 8
Ayat (1) UU No 12/2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.
Pasal 7 Ayat (1) UU No 12/2011 menyatakan, lembaga negara, badan, atau komisi
negara yang dibentuk dengan UU atau atas perintah UU dapat membuat produk
hukum yang bersifat pengaturan. Dengan dasar itu, KPU sebagai alat
kelengkapan negara yang dibentuk berdasar UU No 15/ 2011 tentang
Penyelenggara Pemilu juga berwenang menerbitkan sebuah produk hukum.
Karena tidak terjadi perubahan UU No 42/2008, sebagai
penyelenggara pemilu, KPU terikat keharusan menyelamatkan hak memilih warga
negara. Untuk alasan ini, KPU mengesahkan Peraturan No 9/2014 tentang
Pemungutan dan Penghitungan Suara dalam Pilpres 2014 (PKPU No 9/2014) yang
membenarkan kehadiran DPKTb. Sesuai Pasal 8 Ayat (2) UU No 12/2011, produk
hukum KPU diakui eksistensinya dan punya kekuatan hukum mengikat sepanjang
diperintahkan oleh peraturan yang lebih tinggi atau dibentuk berdasar
kewenangan yang dimiliki.
Berdasarkan hal itu, PKPU No 9/2014 dibuat untuk melaksanakan
Pasal 113 Ayat (6), Pasal 118 Ayat (3), Pasal 119 Ayat (3), Pasal 126 Ayat
(2), Pasal 127 Ayat (2), dan Pasal 135 Ayat (2) UU No 42/2008. Selain itu,
kehadiran peraturan dimaksud dibuat atas dasar kewenangan yang dimiliki KPU
sebagai penyelenggara pemilu, termasuk dalam penyelenggaraan Pilpres 2014.
Atas dasar itu, pandangan yang menyatakan keberadaan DPKTb sebagai
pelanggaran karena tak memiliki landasan hukum adalah keliru dan tak berdasar
hukum.
Atas dasar itu pula, kehadiran PKPU No 9/2014 dapat dikatakan
sebuah keniscayaan. Dalam posisi tak adanya perubahan atas UU No 42/2008,
peraturan ini pilihan atau langkah nyata untuk memastikan jaminan terhadap
hak pilih warga yang tak terdaftar dalam DPT. Karena posisi itu pula, sangat
tidak tepat menilai langkah KPU itu bentuk pelanggaran kode etik. Apabila
peraturan itu tak ada, justru KPU dapat diancam pelanggaran kode etik.
Berdasarkan bangunan argumentasi di atas, mempersoalkan
pemberian hak pilih menggunakan KTP atau pengenal lain dengan jalur DPKTb
sebagai pelanggaran yang bersifat TSM patut dipertanyakan motivasi yang
mengitarinya. Karena itu, MK harus paham dan mengerti betul pilihan strategi
yang digunakan dalam penyelesaian perselisihan hasil Pilpres 2014 ini. Dalam
hal ini, bukan tak mungkin memilih jalur ke MK sebagai jalan pintas memenangi
pilpres. Perlu dicatat, MK bukan tempat untuk menghadirkan presiden dan wakil
presiden yang bukan berasal dari pilihan mayoritas rakyat. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar