Belajar
Keluar dari Comfort Zone
Rhenald Kasali ;
Pendiri Rumah Perubahan @Rhenald_Kasali
|
JAWA
POS, 23 Agustus 2014
BELUM lama ini Menteri BUMN Dahlan Iskan menitipkan sekitar 200
tentara berpangkat kolonel kepada saya. Rupanya, Menteri Dahlan sangat peduli
terhadap orang-orang yang pernah berjasa mengawal negara itu.
Kepala Staf TNI Angkatan Darat (KSAD) yang ketika itu dijabat
Jenderal Moeldoko memberi tahu saya bahwa kolonel-kolonel tersebut adalah
para perwira pilihan yang telah diseleksi. Di antaranya adalah mantan
komandan area teruji, atase pertahanan, dan sebagian sudah ikut kursus di
Lemhanas atau Sesko TNI. Jadi, dari segi kompetensi dan karakter, mereka
merupakan orang-orang hebat. Seluruh kolonel itu tentu berharap naik pangkat
menjadi jenderal. Bukankah tinggal selangkah lagi?
Namun, sejarah berubah. Angkatan Darat bukan lagi penguasa
darat. Kalau dulu pada era Orde Baru mereka bisa dikaryakan di luar dinas
militer untuk menjadi bupati, wali kota, atau duduk di Fraksi ABRI di DPR,
kini tidak bisa lagi. Pada era demokrasi, semua posisi itu harus dipilih
rakyat.
Kini tinggallah para kolonel yang merana. Karirnya tinggal di
dunia militer. Jumlah jabatannya terbatas. Apa yang harus dilakukan?
KSAD Moeldoko dan Dahlan Iskan mengambil inisiatif.
Kolonel-kolonel tersebut dilatih ulang, dipersiapkan menghadapi medan yang
sama sekali baru. Bisa di BUMN, swasta, atau memulai usaha sendiri.
Galau
Hari pertama, ketika mereka mendapat arahan dari markas
besarnya, saya melihat sikap kesatria yang luar biasa. Selain disiplin, muka
mereka semua cerah dan tidak ada kata lain yang terucap selain siap.
Namun, esoknya, kegamangan mulai terungkap saat tahu bahwa
mereka harus ganti kuadran, meninggalkan profesi tentara. Begini sebagian
keluhan mereka.
’’Bapak tahu, kami ini 20 tahun tinggal di dalam panser?’’
Koleganya menimpali, ’’Kami ini 25 tahun membela negara!
Sekarang di mana negara?’’
Instruktur saya menjawab, ’’Benar! Membela negara itu baik dan
berjasa. Tapi, kini saatnya Anda membela diri sendiri. Sanggup?’’
Mereka mulai berpikir.
Yang ingin saya sampaikan sederhana saja. Betapa rumitnya bagi
kita yang sudah bertahun-tahun melakukan sesuatu yang rutin dan ternyata
harapan tidak sesuai dengan kenyataan untuk keluar. Keluar dari zona nyaman (comfort zone).
Saya tahu, kecepatan beradaptasi masing-masing perwira amat
beragam. Bagi yang cepat, mereka segera mendekati para narasumber agar bisa
bergabung sesuai dengan keahliannya. Namun, sampai hari terakhir, tidak
sedikit yang masih gamang dan menunggu instruksi lebih jauh.
Hal berbeda saya temukan ketika menghadapi ratusan wanita karir.
Kali ini saya diminta memberikan tip mengambil pensiun dini –yang saya ganti
dengan istilah karir kedua. Mereka sangat antusias. Jauh lebih siap.
Itulah bedanya pilihan karena dipaksa dengan yang sukarela.
Kelompok pertama pasti galau karena dipaksa ke luar. Pada kelompok kedua,
justru muncul kesadaran kuat untuk keluar dari zona nyaman itu.
Pengalaman dari Babson
Ketika diminta memimpin Podomoro
University, saya pun dikirim belajar ke Babson College di Amerika Serikat yang terkenal dengan pendidikan
kewirausahaannya. Selama seminggu saya berkeliling kampus dan berdialog
dengan profesor, peneliti, eksekutif, alumnus, donatur, serta para mahasiswa.
Bagaimana cara Babson College
melatih jiwa kewirausahaan?
Di sebuah kelas, seluruh mahasiswa diwajibkan mengikuti kegiatan
kesenian. Pilihannya beragam. Ada drama, menari, komedi, melukis, membuat patung,
musik, menyanyi, dan sebagainya. Masing-masing kelompok diberi instruktur dan
dalam tiga pekan ke depan harus tampil dalam sebuah festival. Hampir pasti,
mahasiswa penyuka musik akan memilih musik. Mereka yang suka drama akan
memilih seni drama dan seterusnya.
Apa yang dilakukan Babson
College? Karena tujuannya adalah melatih keluar dari zona nyaman, mereka
yang suka musik justru tidak boleh memilih musik. Begitu seterusnya.
Alhasil, seluruh mahasiswa protes. Mereka harus mencoba sesuatu
yang baru dan harus tampil hanya dalam waktu tiga minggu. Bagaimana mungkin?
Tapi, bukankah tujuan pendidikan adalah membangun manusia? Di antaranya,
manusia yang berani keluar dari zona nyaman.
Menurut hemat saya, kita sangat abai melatih hal tersebut.
Karena itu, setiap menghadapi perubahan, kita pun menjadi galak, marah,
resistan, menolak, dan ampun, main ancam dan bolak-balik berteriak seperti
orang gila. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar