Senin, 25 Agustus 2014

Presiden Rakyat

                                                       Presiden Rakyat

Anonim  ;   Kolumnis “Kredensial” Kompas
KOMPAS, 24 Agustus 2014
                                                


Kairo, Bangkok, dan Jakarta. Tiga kota, tiga cerita. Kairo adalah kota tertua. Sejarah menceritakan, Kairo didirikan tahun 969 oleh Dinasti Fatimiyah di bawah kepemimpinan Jenderal Gewhar al-Siqilli. Bangkok didirikan abad ke-15 oleh Wangsa Ayutthaya. Dan, Jakarta didirikan pada abad ke-16. Namun, sebenarnya Jakarta sudah disebut-sebut sejak abad ke-4 sebagai bagian dari Kerajaan Tarumanegara.

Sejarah ketiga kota berbeda. Namun, cerita politik ketiganya tidak jauh berbeda. Meskipun, untuk waktu sekarang ini, yang lebih mirip adalah Kairo dan Bangkok. Penguasa Kairo (Mesir) saat ini adalah seorang pensiunan jenderal, Abdel Fattah El-Sisi. Bangkok pun, demikian. Penguasa Bangkok (Thailand) adalah Jenderal Prayuth Chan-ocha. Keduanya: El-Sisi dan Prayuth, sama-sama menyingkirkan penguasa sipil.

Dalam hal ini, Jakarta (Indonesia) berbeda. Di saat jalan militer ditempuh Thailand dan Mesir, Indonesia memilih jalan rakyat, jalan sipil. Rakyat Indonesia telah memilih seorang sipil, Joko Widodo, menjadi presiden.

Memang, kekuasaan bisa saja diperoleh dengan kekerasan— Mesir dan Thailand—kemudian hukum atau norma akan melegitimasi, sesudahnya. Hanya saja, kualitas legitimasi itu berpengaruh terhadap ketulusan dukungan warga negara. El-Sisi mengudeta Muhammad Mursi, kemudian menggelar pemilu untuk melegitimasi apa yang telah ia lakukan. Begitu pula yang dilakukan Prayuth. Ia menyingkirkan pemerintahan sipil Yingluck Shinawatra lewat kudeta tak berdarah 22 Mei silam.

Itulah politik, yang selalu berbicara soal kekuasaan. Hanya persoalannya adalah apakah kekuasaan itu diraih lewat jalan kekerasan, kekuatan, atau tidak. David Runciman dalam buku barunya, Politics, (2014), menulis politik mensyaratkan sebuah kesepakatan kolektif soal penggunaan kekuatan. Karena ada kesepakatan, maka kekuatan tidak selalu digunakan. Karena ada kekuatan, maka kesepakatan tidak selalu cukup. Politik membutuhkan keduanya: kekuatan dan kesepakatan. Begitu kata guru besar politik Universitas Cambridge, Inggris, itu.

Apakah yang dilakukan El-Sisi, menyingkirkan Mursi dengan kekuatan militer, berdasarkan kesepakatan dengan rakyat Mesir? Ya dan tidak. Ada yang sepakat, ada yang tidak. Apakah yang dilakukan Prayuth, menyingkirkan pemerintahan sipil pimpinan Yingluck, juga mendapatkan dukungan dan tentangan dari rakyat Thailand?

Memang, politik riil adalah pertarungan kekuatan sehingga kecenderungannya menghalalkan segala cara, seperti kata Niccolo Machiavelli. Namun, dalam politik, betapa pun kerasnya pertarungan, masih ada kerinduan akan keteraturan dan kedamaian. Kedua hal itu, menurut Haryatmoko (dalam Etika Politik dan Kekuasaan), mengingatkan landasan hidup bersama: tindakan butuh legitimasi, perlu persetujuan masyarakat, yang mengandaikan pembenaran normatif (moral, agama, dan kebiasaan).

Jalan itulah yang dipilih rakyat Indonesia. Joko Widodo, didampingi Jusuf Kalla, dipilih rakyat menjadi presiden dan wakil presiden lewat pemilihan umum yang demokratis. Dalam demokrasi masih ada kebebasan berpendapat, masih bisa berharap kepada kebebasan melawan berbagai bentuk dominasi, melawan segala bentuk pemaksaan dan tekanan.

Ini kiranya yang membedakan secara fundamental antara Joko Widodo dengan El-Sisi dan Prayuth Chan-ocha. Inilah pula yang menjadikan Joko Widodo sebagai presiden rakyat!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar