Presiden
Rakyat
Anonim ;
Kolumnis “Kredensial”
Kompas
|
KOMPAS,
24 Agustus 2014
Kairo,
Bangkok, dan Jakarta. Tiga kota, tiga cerita. Kairo adalah kota tertua.
Sejarah menceritakan, Kairo didirikan tahun 969 oleh Dinasti Fatimiyah di
bawah kepemimpinan Jenderal Gewhar al-Siqilli. Bangkok didirikan abad ke-15
oleh Wangsa Ayutthaya. Dan, Jakarta didirikan pada abad ke-16. Namun,
sebenarnya Jakarta sudah disebut-sebut sejak abad ke-4 sebagai bagian dari
Kerajaan Tarumanegara.
Sejarah
ketiga kota berbeda. Namun, cerita politik ketiganya tidak jauh berbeda.
Meskipun, untuk waktu sekarang ini, yang lebih mirip adalah Kairo dan
Bangkok. Penguasa Kairo (Mesir) saat ini adalah seorang pensiunan jenderal,
Abdel Fattah El-Sisi. Bangkok pun, demikian. Penguasa Bangkok (Thailand)
adalah Jenderal Prayuth Chan-ocha. Keduanya: El-Sisi dan Prayuth, sama-sama
menyingkirkan penguasa sipil.
Dalam
hal ini, Jakarta (Indonesia) berbeda. Di saat jalan militer ditempuh Thailand
dan Mesir, Indonesia memilih jalan rakyat, jalan sipil. Rakyat Indonesia
telah memilih seorang sipil, Joko Widodo, menjadi presiden.
Memang,
kekuasaan bisa saja diperoleh dengan kekerasan— Mesir dan Thailand—kemudian
hukum atau norma akan melegitimasi, sesudahnya. Hanya saja, kualitas
legitimasi itu berpengaruh terhadap ketulusan dukungan warga negara. El-Sisi
mengudeta Muhammad Mursi, kemudian menggelar pemilu untuk melegitimasi apa
yang telah ia lakukan. Begitu pula yang dilakukan Prayuth. Ia menyingkirkan
pemerintahan sipil Yingluck Shinawatra lewat kudeta tak berdarah 22 Mei
silam.
Itulah
politik, yang selalu berbicara soal kekuasaan. Hanya persoalannya adalah
apakah kekuasaan itu diraih lewat jalan kekerasan, kekuatan, atau tidak.
David Runciman dalam buku barunya, Politics, (2014), menulis politik
mensyaratkan sebuah kesepakatan kolektif soal penggunaan kekuatan. Karena ada
kesepakatan, maka kekuatan tidak selalu digunakan. Karena ada kekuatan, maka
kesepakatan tidak selalu cukup. Politik membutuhkan keduanya: kekuatan dan
kesepakatan. Begitu kata guru besar politik Universitas Cambridge, Inggris,
itu.
Apakah
yang dilakukan El-Sisi, menyingkirkan Mursi dengan kekuatan militer,
berdasarkan kesepakatan dengan rakyat Mesir? Ya dan tidak. Ada yang sepakat,
ada yang tidak. Apakah yang dilakukan Prayuth, menyingkirkan pemerintahan
sipil pimpinan Yingluck, juga mendapatkan dukungan dan tentangan dari rakyat
Thailand?
Memang,
politik riil adalah pertarungan kekuatan sehingga kecenderungannya
menghalalkan segala cara, seperti kata Niccolo Machiavelli. Namun, dalam
politik, betapa pun kerasnya pertarungan, masih ada kerinduan akan
keteraturan dan kedamaian. Kedua hal itu, menurut Haryatmoko (dalam Etika
Politik dan Kekuasaan), mengingatkan landasan hidup bersama: tindakan butuh
legitimasi, perlu persetujuan masyarakat, yang mengandaikan pembenaran
normatif (moral, agama, dan kebiasaan).
Jalan
itulah yang dipilih rakyat Indonesia. Joko Widodo, didampingi Jusuf Kalla,
dipilih rakyat menjadi presiden dan wakil presiden lewat pemilihan umum yang
demokratis. Dalam demokrasi masih ada kebebasan berpendapat, masih bisa
berharap kepada kebebasan melawan berbagai bentuk dominasi, melawan segala
bentuk pemaksaan dan tekanan.
Ini
kiranya yang membedakan secara fundamental antara Joko Widodo dengan El-Sisi
dan Prayuth Chan-ocha. Inilah pula yang menjadikan Joko Widodo sebagai
presiden rakyat! ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar