Pendidik
di Sarang Penyamun
Sidharta Susila ;
Pendidik di Muntilan,
Magelang
|
KOMPAS,
23 Agustus 2014
Pendidik itu lentera
kehidupan. Teladan hidupnya sering kali menjadi jalan sekaligus sarana
pendidikan.
Karakter, cara hidup,
dan kualitas moral menjadi prasyarat pendidik berkualitas. Pendidik sejati
menajamkan diri dengan mengokohkuatkan karakter dan kualitas moral dan
konsisten mengekspresikan dalam praksis. Pendidik yang menjalani hidup dalam
laku demikian menjadi inspirator kehidupan. Darinya memancar pesona
inspiratif yang mencerahkan liyan.
Pada pemahaman itu,
pendidik tak selalu identik dengan guru atau dosen. Pemuka masyarakat, tokoh
agama, atau pengasuh lembaga keagamaan sering kali menjadi inspirator yang
mendidik. Kita temukan pendidik yang demikian pada sosok Gus Dur, Ibu
Theresa, Gandhi, dan Nelson Mandela.
Karena cara dan
kualitas hidupnya itulah, meski tak pernah mengintensikan dirinya untuk
menggalang massa, para pendidik sering kali ”memiliki” massa.
Tak heran jika pada
perhelatan kampanye pemilu yang lalu banyak partai politik melibatkan para
pendidik. Ada yang dilibatkan tersirat dengan aneka aksi sowan. Ada juga yang
dilibatkan secara penuh dengan masuk jajaran tim pemenangan.
Sesungguhnya tak mudah
bagi pendidik untuk terlibat penuh dalam pertarungan perebutan kekuasaan atau
pemilu. Ia harus sungguh cermat memilah dan memilih partai politik atau calon
pemimpin yang hendak dilibati. Politik itu licin bahkan sering kali licik.
Tak heran jika sering
kali pendidik yang sudah telanjur terlibat dalam pusaran perebutan kekuasaan
mengalami konflik batin yang hebat. Kecenderungan disposisi batin yang telah
bertahun-tahun dibangun oleh orientasi nilai dan moral tiba-tiba bertabrakan
dengan kepentingan-kepentingan sesaat yang pekat dengan aneka pilihan
tindakan sesat.
Kampanye pemilu
presiden yang baru saja kita alami sesungguhnya bagi pendidik menjadi semesta
yang pekat laku sesat. Cara-cara kampanye yang kelam telah mencabik-cabik
tenunan para pendidik bercorak nilai-nilai harmoni, kebermartabatan hidup,
atau penghargaan hak asasi manusia.
Tak heran bila
sesungguhnya para pendidik yang menjadi bagian tim pemenangan partai politik
berkampanye kelam sedang mencabik-cabik kesejatian dirinya sendiri.
Ketercabikan jiwa para
pendidik yang terlibat dalam pusaran arus perebutan kekuasaan dengan cara
gelap terbaca pada wajah-wajah mereka yang tertayang di media cetak ataupun
elektronik. Sungguh kasihan mereka. Aura inspiratif yang kuat namun lembut
asertif tak lagi terpancar dari wajahnya. Wajah mereka pucat. Mereka telah
hanya menjadi alat politik, pengumpul suara penuntas kerontang dahaga
kekuasaan.
Pada kondisi ini,
pendidik seperti ada di sarang penyamun. Nurani, jati diri, dan jiwanya
disandera para penyamun politis.
Lewat laku
Sekali lagi, mendidik
tak harus lewat pengajaran. Mendidik bisa lewat laku, dengan pilihan hidup
dan cara hidup. Dan sering kali pertobatan menjadi jalan pendidikan yang luar
biasa.
Sejarah mencatat laku
tobat tokoh-tokoh besar menjadi inspirasi kehidupan sepanjang masa. Tobat
yang sering kali ditandai dengan membalik cara hidup dan menyetiai jalan lain
dimaknai sebagai konsistensi sikap manusia yang mengorientasikan pada
kebermartabatan hidup. Tokoh-tokoh seperti Siddharta Gautama, Sunan Kalijaga,
atau Paulus adalah guru kehidupan yang meniti jalan tobat.
Pilihan tobat memang
pertama-tama menyelamatkan jiwa pelakunya. Mengikuti gagasan Stephen R Covey,
laku tobat itu sesungguhnya jalan beroleh kemenangan pribadi untuk
selanjutnya mengunduh kemenangan publik. Kemenangan publik adalah episode
hidup yang menjadi inspirasi bagi liyan.
Para pendidik adalah
manusia lumrah. Tak heran jika mereka bisa kalah karena keliru memahami
masalah, lalu terjebak pada pusaran hidup yang pekat jahat oleh aksi penuh
hujat. Namun, ia bisa memilih jalan tobat.
Ya, jalan tobat itu
sebuah pilihan. Sering kali datang hanya sekali. Sekejap pula. Tak heran jika
tobat itu anugerah istimewa. Anugerah untuk beroleh kembali kebermartabatan jiwa.
Tobat itu laku
membalik arah peziarahan. Oleh kelompoknya yang sesat, orang yang bertobat
sering disebut pengkhianat. Nama baik, popularitas, bahkan keselamatan hidup
sering harus dipertaruhkan untuk pertobatan.
Itu sebabnya niat
bertobat sering membuat gamang. Dan pintu beroleh kembali jiwa mulia dan
bermartabat kian sekejap dan menyempit. Pendidik yang bertobat adalah
”pecundang” yang memilih kebermartabatan jiwa, yang kembali ke takdir jati
dirinya sebagai pendidik. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar