Senin, 25 Agustus 2014

Pendidik di Sarang Penyamun

                                   Pendidik di Sarang Penyamun

Sidharta Susila  ;   Pendidik di Muntilan, Magelang
KOMPAS, 23 Agustus 2014
                                                


Pendidik itu lentera kehidupan. Teladan hidupnya sering kali menjadi jalan sekaligus sarana pendidikan.

Karakter, cara hidup, dan kualitas moral menjadi prasyarat pendidik berkualitas. Pendidik sejati menajamkan diri dengan mengokohkuatkan karakter dan kualitas moral dan konsisten mengekspresikan dalam praksis. Pendidik yang menjalani hidup dalam laku demikian menjadi inspirator kehidupan. Darinya memancar pesona inspiratif yang mencerahkan liyan.

Pada pemahaman itu, pendidik tak selalu identik dengan guru atau dosen. Pemuka masyarakat, tokoh agama, atau pengasuh lembaga keagamaan sering kali menjadi inspirator yang mendidik. Kita temukan pendidik yang demikian pada sosok Gus Dur, Ibu Theresa, Gandhi, dan Nelson Mandela.

Karena cara dan kualitas hidupnya itulah, meski tak pernah mengintensikan dirinya untuk menggalang massa, para pendidik sering kali ”memiliki” massa.

Tak heran jika pada perhelatan kampanye pemilu yang lalu banyak partai politik melibatkan para pendidik. Ada yang dilibatkan tersirat dengan aneka aksi sowan. Ada juga yang dilibatkan secara penuh dengan masuk jajaran tim pemenangan.
Sesungguhnya tak mudah bagi pendidik untuk terlibat penuh dalam pertarungan perebutan kekuasaan atau pemilu. Ia harus sungguh cermat memilah dan memilih partai politik atau calon pemimpin yang hendak dilibati. Politik itu licin bahkan sering kali licik.

Tak heran jika sering kali pendidik yang sudah telanjur terlibat dalam pusaran perebutan kekuasaan mengalami konflik batin yang hebat. Kecenderungan disposisi batin yang telah bertahun-tahun dibangun oleh orientasi nilai dan moral tiba-tiba bertabrakan dengan kepentingan-kepentingan sesaat yang pekat dengan aneka pilihan tindakan sesat.

Kampanye pemilu presiden yang baru saja kita alami sesungguhnya bagi pendidik menjadi semesta yang pekat laku sesat. Cara-cara kampanye yang kelam telah mencabik-cabik tenunan para pendidik bercorak nilai-nilai harmoni, kebermartabatan hidup, atau penghargaan hak asasi manusia.

Tak heran bila sesungguhnya para pendidik yang menjadi bagian tim pemenangan partai politik berkampanye kelam sedang mencabik-cabik kesejatian dirinya sendiri.

Ketercabikan jiwa para pendidik yang terlibat dalam pusaran arus perebutan kekuasaan dengan cara gelap terbaca pada wajah-wajah mereka yang tertayang di media cetak ataupun elektronik. Sungguh kasihan mereka. Aura inspiratif yang kuat namun lembut asertif tak lagi terpancar dari wajahnya. Wajah mereka pucat. Mereka telah hanya menjadi alat politik, pengumpul suara penuntas kerontang dahaga kekuasaan.

Pada kondisi ini, pendidik seperti ada di sarang penyamun. Nurani, jati diri, dan jiwanya disandera para penyamun politis.

Lewat laku

Sekali lagi, mendidik tak harus lewat pengajaran. Mendidik bisa lewat laku, dengan pilihan hidup dan cara hidup. Dan sering kali pertobatan menjadi jalan pendidikan yang luar biasa.

Sejarah mencatat laku tobat tokoh-tokoh besar menjadi inspirasi kehidupan sepanjang masa. Tobat yang sering kali ditandai dengan membalik cara hidup dan menyetiai jalan lain dimaknai sebagai konsistensi sikap manusia yang mengorientasikan pada kebermartabatan hidup. Tokoh-tokoh seperti Siddharta Gautama, Sunan Kalijaga, atau Paulus adalah guru kehidupan yang meniti jalan tobat.

Pilihan tobat memang pertama-tama menyelamatkan jiwa pelakunya. Mengikuti gagasan Stephen R Covey, laku tobat itu sesungguhnya jalan beroleh kemenangan pribadi untuk selanjutnya mengunduh kemenangan publik. Kemenangan publik adalah episode hidup yang menjadi inspirasi bagi liyan.
Para pendidik adalah manusia lumrah. Tak heran jika mereka bisa kalah karena keliru memahami masalah, lalu terjebak pada pusaran hidup yang pekat jahat oleh aksi penuh hujat. Namun, ia bisa memilih jalan tobat.

Ya, jalan tobat itu sebuah pilihan. Sering kali datang hanya sekali. Sekejap pula. Tak heran jika tobat itu anugerah istimewa. Anugerah untuk beroleh kembali kebermartabatan jiwa.

Tobat itu laku membalik arah peziarahan. Oleh kelompoknya yang sesat, orang yang bertobat sering disebut pengkhianat. Nama baik, popularitas, bahkan keselamatan hidup sering harus dipertaruhkan untuk pertobatan.

Itu sebabnya niat bertobat sering membuat gamang. Dan pintu beroleh kembali jiwa mulia dan bermartabat kian sekejap dan menyempit. Pendidik yang bertobat adalah ”pecundang” yang memilih kebermartabatan jiwa, yang kembali ke takdir jati dirinya sebagai pendidik.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar