Belajarlah
dari Konflik
B Josie Susilo Hardianto ;
Wartawan Kompas
|
KOMPAS,
24 Agustus 2014
Apakah
dunia masih dapat mengandalkan kemanusiaan manusia? Ketika kelompok militan Boko
Haram menculik lebih dari 200 gadis dari asrama mereka di Chibok, membawa
mereka ke hutan dan mengancam akan memperbudak mereka, dunia terperangah.
Perasaan
serupa kembali membuncah ketika media memberitakan jatuhnya pesawat milik
Malaysia Airlines dengan nomor penerbangan MH17 di wilayah Ukraina yang
tengah bergejolak. Semua penumpang dan awak yang berjumlah 298 orang itu
tewas. Sejumlah negara, seperti Amerika Serikat, menduga pesawat itu jatuh
setelah dihantam peluru kendali yang ditembakkan separatis pro Rusia.
Seiring
dengan itu, muncul berita tentang kebrutalan kelompok militan Negara Islam di
Irak dan Suriah yang mengejar komunitas minoritas Yazidi di Gunung Sinjar,
utara Irak. NIIS juga memenggal kepala James Foley, wartawan AS yang
sebelumnya diculik di Suriah. Serangan Israel yang menghancurkan bangunan
serta menewaskan ribuan warga Palestina dan belasan anggota misi PBB makin
menambah rasa pilu itu.
Serangan
terhadap sejumlah pasien di sebuah rumah sakit di Sudan Selatan membuat rasa
kemanusiaan makin terusik. ”Konflik ini telah mencapai tingkat mengerikan,
termasuk serangan pada fasilitas kesehatan,” kata Raphael Gorgeu, Kepala
Kelompok Dokter Lintas Batas (MSF) untuk Sudan Selatan, awal Juli.
Menurut
dia, serangan pada fasilitas dan sarana kesehatan itu tidak hanya melanggar
hukum internasional dan prinsip- prinsip kemanusiaan. Tindakan biadab itu
merupakan penghinaan pada martabat manusia. Pada bulan ini, enam pekerja
kemanusiaan tewas di tangan milisi yang berkeliaran di negara baru itu.
Perserikatan
Bangsa-Bangsa menyebutkan, selama tahun 2013, sebanyak 155 pekerja
kemanusiaan tewas, 171 orang luka-luka, dan 134 orang lainnya diculik. Jumlah
itu naik 66 persen dibandingkan dengan tahun 2012. Tahun ini jumlah itu
dikhawatirkan meningkat seiring konflik yang terus meluas di Irak, Suriah,
dan Sudan Selatan.
Dalam
delapan bulan terakhir, dunia sungguh dicengkeram angkara murka. Dalam
pernyataan yang ditandatangani bersama oleh Presiden Swiss Didier Burkhalter
dan Presiden Komite Palang Merah Internasional (ICRC) Peter Maurer menandai
peringatan 150 tahun Konvensi Geneva I ditegaskan pentingnya menjalankan
semua kesepakatan atas konvensi itu.
Konvensi
itu mengabadikan pemikiran bahwa dalam situasi perang sekalipun, ada
tingkatan tertentu dari kemanusiaan yang harus dipertahankan. ICRC menyerukan
agar prinsip-prinsip itu dipenuhi dengan lebih tegas saat ini. Hal itu karena
kini perang dan konflik bersenjata di dunia cenderung mengabaikan
prinsip-prinsip itu dan menyebabkan banyak warga sipil menanggung dampaknya,
bahkan menjadi sasaran.
Padahal,
belajar dari Perang Dunia II, Konvensi Geneva tahun 1949 menyepakati adanya
pelindungan menyeluruh untuk warga sipil, tentara yang terluka, dan tawanan
perang. Dasar hukum humaniter internasional itu kemudian dilengkapi dengan
tiga protokol tambahan pada tahun 1977 dan 2005.
Hukum
itu, termasuk larangan penggunaan senjata biologis, bom curah, dan ranjau
anti personel, telah menempatkan batasan yang kian tegas untuk melindungi
mereka yang paling rentan dari kebrutalan perang.
Menurut
Didier Burkhalter dan Peter Maurer, sebenarnya ada kemajuan atas implementasi
hukum itu, seperti pelatihan tentara dan penuntutan atas kejahatan perang,
terutama sejak pembentukan Mahkamah Kriminal Internasional (ICC). Namun, di
sisi lain setiap hari mereka juga menerima laporan memprihatinkan dari
seluruh dunia terkait pelanggaran serius atas prinsip-prinsip hukum
kemanusiaan. Ada banyak negara telah menandatangani konvensi itu dan
menyatakan menjamin penghormatan pada isi konvensi dalam segala situasi.
”Namun,
sejauh ini mereka gagal mengerahkan sumber daya yang diperlukan untuk
menepati janji mereka. Diakui sejak dilahirkan, hukum itu kekurangan
mekanisme untuk mendorong kepatuhan yang efektif. Ketidakberdayaan ini kerap berarti
kematian dan kehancuran bagi mereka yang terkena dampak perang,” tulis kedua
pemimpin itu.
Oleh
karena itu, perlu usaha terus-menerus untuk memperjuangkannya karena tidak
ada jaminan prinsip-prinsip yang ada dalam konvensi akan terus bertahan. Jika
suatu hak yang terus dilanggar tidak bisa memancing respons jelas, seiring
waktu, akan kehilangan validitasnya. Konsekuensinya bagi korban konflik
bersenjata semakin tidak bisa dibayangkan.
Tentu,
semua warga dunia tidak mau itu terjadi. Apalagi sejak diadopsinya konvensi
Geneva untuk pertama kali 150 tahun lalu, prinsip-prinsip hukum humaniter
internasional telah menjadi pilar utama tatanan hukum internasional. ”Patut
disadari, ketentuan-ketentuan yang ada di dalamnya sesungguhnya berfungsi
melindungi karakteristik terpenting kita sebagai manusia, yaitu kemanusiaan
manusia,” kata mereka dalam pernyataan yang dikirim kepada Kompas.
Melihat
itu, saat ini penting bagi semua negara membangun kesungguhan menciptakan
kerangka kelembagaan untuk memastikan aturan atau ketentuan dalam konvensi
itu dihormati dan dipatuhi. Tujuannya agar prinsip-prinsip kemanusiaan dapat
berfungsi secara efektif. Karena itu merupakan bagian dari cara manusia
berada. Bagian peradaban kita, manusia.... ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar