Senin, 25 Agustus 2014

Belajarlah dari Konflik

                                            Belajarlah dari Konflik

B Josie Susilo Hardianto  ;   Wartawan Kompas
KOMPAS, 24 Agustus 2014
                                                


Apakah dunia masih dapat mengandalkan kemanusiaan manusia? Ketika kelompok militan Boko Haram menculik lebih dari 200 gadis dari asrama mereka di Chibok, membawa mereka ke hutan dan mengancam akan memperbudak mereka, dunia terperangah.

Perasaan serupa kembali membuncah ketika media memberitakan jatuhnya pesawat milik Malaysia Airlines dengan nomor penerbangan MH17 di wilayah Ukraina yang tengah bergejolak. Semua penumpang dan awak yang berjumlah 298 orang itu tewas. Sejumlah negara, seperti Amerika Serikat, menduga pesawat itu jatuh setelah dihantam peluru kendali yang ditembakkan separatis pro Rusia.

Seiring dengan itu, muncul berita tentang kebrutalan kelompok militan Negara Islam di Irak dan Suriah yang mengejar komunitas minoritas Yazidi di Gunung Sinjar, utara Irak. NIIS juga memenggal kepala James Foley, wartawan AS yang sebelumnya diculik di Suriah. Serangan Israel yang menghancurkan bangunan serta menewaskan ribuan warga Palestina dan belasan anggota misi PBB makin menambah rasa pilu itu.

Serangan terhadap sejumlah pasien di sebuah rumah sakit di Sudan Selatan membuat rasa kemanusiaan makin terusik. ”Konflik ini telah mencapai tingkat mengerikan, termasuk serangan pada fasilitas kesehatan,” kata Raphael Gorgeu, Kepala Kelompok Dokter Lintas Batas (MSF) untuk Sudan Selatan, awal Juli.

Menurut dia, serangan pada fasilitas dan sarana kesehatan itu tidak hanya melanggar hukum internasional dan prinsip- prinsip kemanusiaan. Tindakan biadab itu merupakan penghinaan pada martabat manusia. Pada bulan ini, enam pekerja kemanusiaan tewas di tangan milisi yang berkeliaran di negara baru itu.

Perserikatan Bangsa-Bangsa menyebutkan, selama tahun 2013, sebanyak 155 pekerja kemanusiaan tewas, 171 orang luka-luka, dan 134 orang lainnya diculik. Jumlah itu naik 66 persen dibandingkan dengan tahun 2012. Tahun ini jumlah itu dikhawatirkan meningkat seiring konflik yang terus meluas di Irak, Suriah, dan Sudan Selatan.

Dalam delapan bulan terakhir, dunia sungguh dicengkeram angkara murka. Dalam pernyataan yang ditandatangani bersama oleh Presiden Swiss Didier Burkhalter dan Presiden Komite Palang Merah Internasional (ICRC) Peter Maurer menandai peringatan 150 tahun Konvensi Geneva I ditegaskan pentingnya menjalankan semua kesepakatan atas konvensi itu.

Konvensi itu mengabadikan pemikiran bahwa dalam situasi perang sekalipun, ada tingkatan tertentu dari kemanusiaan yang harus dipertahankan. ICRC menyerukan agar prinsip-prinsip itu dipenuhi dengan lebih tegas saat ini. Hal itu karena kini perang dan konflik bersenjata di dunia cenderung mengabaikan prinsip-prinsip itu dan menyebabkan banyak warga sipil menanggung dampaknya, bahkan menjadi sasaran.

Padahal, belajar dari Perang Dunia II, Konvensi Geneva tahun 1949 menyepakati adanya pelindungan menyeluruh untuk warga sipil, tentara yang terluka, dan tawanan perang. Dasar hukum humaniter internasional itu kemudian dilengkapi dengan tiga protokol tambahan pada tahun 1977 dan 2005.

Hukum itu, termasuk larangan penggunaan senjata biologis, bom curah, dan ranjau anti personel, telah menempatkan batasan yang kian tegas untuk melindungi mereka yang paling rentan dari kebrutalan perang.

Menurut Didier Burkhalter dan Peter Maurer, sebenarnya ada kemajuan atas implementasi hukum itu, seperti pelatihan tentara dan penuntutan atas kejahatan perang, terutama sejak pembentukan Mahkamah Kriminal Internasional (ICC). Namun, di sisi lain setiap hari mereka juga menerima laporan memprihatinkan dari seluruh dunia terkait pelanggaran serius atas prinsip-prinsip hukum kemanusiaan. Ada banyak negara telah menandatangani konvensi itu dan menyatakan menjamin penghormatan pada isi konvensi dalam segala situasi.

”Namun, sejauh ini mereka gagal mengerahkan sumber daya yang diperlukan untuk menepati janji mereka. Diakui sejak dilahirkan, hukum itu kekurangan mekanisme untuk mendorong kepatuhan yang efektif. Ketidakberdayaan ini kerap berarti kematian dan kehancuran bagi mereka yang terkena dampak perang,” tulis kedua pemimpin itu.

Oleh karena itu, perlu usaha terus-menerus untuk memperjuangkannya karena tidak ada jaminan prinsip-prinsip yang ada dalam konvensi akan terus bertahan. Jika suatu hak yang terus dilanggar tidak bisa memancing respons jelas, seiring waktu, akan kehilangan validitasnya. Konsekuensinya bagi korban konflik bersenjata semakin tidak bisa dibayangkan.

Tentu, semua warga dunia tidak mau itu terjadi. Apalagi sejak diadopsinya konvensi Geneva untuk pertama kali 150 tahun lalu, prinsip-prinsip hukum humaniter internasional telah menjadi pilar utama tatanan hukum internasional. ”Patut disadari, ketentuan-ketentuan yang ada di dalamnya sesungguhnya berfungsi melindungi karakteristik terpenting kita sebagai manusia, yaitu kemanusiaan manusia,” kata mereka dalam pernyataan yang dikirim kepada Kompas.

Melihat itu, saat ini penting bagi semua negara membangun kesungguhan menciptakan kerangka kelembagaan untuk memastikan aturan atau ketentuan dalam konvensi itu dihormati dan dipatuhi. Tujuannya agar prinsip-prinsip kemanusiaan dapat berfungsi secara efektif. Karena itu merupakan bagian dari cara manusia berada. Bagian peradaban kita, manusia....

Tidak ada komentar:

Posting Komentar